Arka menggeram sambil menggenggam belati hitam di tangannya. Cahaya biru di ujung bilahnya semakin berdenyut, seakan merespons detak jantungnya yang memburu. Di depannya, Ghormas berdiri tegap, napas panasnya menghembus dari rahang besar yang dipenuhi taring tajam. Mata merah menyala makhluk itu menatap langsung ke arah Arka, penuh kebencian.
"Sari, tetap di tempatmu!" seru Arka tanpa menoleh, tubuhnya bersiap dalam posisi bertahan.
Sari berjongkok di belakang batu besar, bola kristalnya berkilauan dengan mana yang terus berkumpul. Kabut tipis yang ia ciptakan mulai membalut medan, tetapi ia tahu itu belum cukup untuk benar-benar menghalangi penglihatan Ghormas.
Ghormas melompat dengan kecepatan yang tidak terduga untuk makhluk sebesar itu. Tubuhnya yang besar menghantam tanah, menciptakan gelombang kejut yang memaksa Arka melompat mundur. Cakarnya menghantam tanah basah, menciptakan jejak dalam yang tampak seperti parit kecil.
"Arka, hati-hati!" teriak Sari.
Arka mendarat dengan kaki stabil, matanya tak lepas dari makhluk itu. "Aku tahu!" Dengan langkah cepat, ia berlari ke sisi kiri Ghormas, mencoba menyerangnya dari samping. Belati hitam di tangannya bersinar lebih terang saat ia mengayunkannya ke arah kaki depan makhluk itu.
Namun, Ghormas bergerak dengan refleks luar biasa. Ia mengangkat cakarnya dan menghantamkan sisi tubuhnya ke arah Arka, membuat pria itu terlempar ke udara sebelum menghantam tanah keras.
Arka merasakan rasa sakit menjalar di seluruh tubuhnya. Ia menggertakkan gigi, mencoba bangkit meski napasnya terasa berat.
"Arka, jangan paksakan dirimu!" seru Sari, suaranya terdengar gemetar.
Arka memandang Sari sekilas, matanya menunjukkan tekad yang tidak tergoyahkan. "Kita tidak punya pilihan. Kabutmu belum cukup tebal untuk mengaburkan pandangan makhluk itu. Aku harus membuatnya sibuk."
Sari mengepalkan bola kristalnya lebih erat, berusaha memusatkan mananya. Ia menarik napas panjang, mencoba menenangkan diri di tengah tekanan besar ini.
"Baik, aku akan mempercepat pembentukan kabut," gumamnya pada diri sendiri. Tangan kirinya mulai bergerak membentuk pola-pola di udara, dan kabut perlahan-lahan semakin padat.
Sementara itu, Arka kembali melompat ke arah Ghormas, kali ini menyerang bagian belakang tubuh makhluk itu. Dengan gerakan cepat, ia mengayunkan belatinya ke arah ekor Ghormas, berhasil membuat luka kecil yang memancarkan cairan hitam pekat.
Ghormas mengaum keras, tubuhnya berputar dengan gerakan cepat. Ekor besarnya menghantam tanah, hampir mengenai Arka yang berhasil menghindar dengan melompat mundur.
"Itu dia, Sari! Kabutnya sudah mulai bekerja!" seru Arka sambil melirik ke arah medan yang kini diselimuti kabut tebal.
Namun, sebelum mereka bisa merayakan kemajuan kecil itu, Ghormas mengamuk. Dengan raungan keras, makhluk itu mengangkat tubuhnya ke atas, menghantamkan cakarnya ke tanah dengan kekuatan besar. Gelombang udara yang dihasilkan membuat kabut Sari terpecah sementara, mengungkap posisi mereka.
Arka tidak sempat menghindar ketika cakar besar Ghormas menghantam tubuhnya, membuatnya terlempar ke batu besar di belakang. Tubuhnya menghantam keras, dan darah segar mengalir dari sudut bibirnya.
"Arka!" Sari berteriak, matanya melebar saat melihat tubuh Arka yang terkapar.
Panik, Sari mencoba berdiri, tetapi tubuhnya gemetar. "Tidak… aku tidak bisa kehilangan dia!" pikirnya. Bola kristalnya mulai bersinar lebih terang, dan energi di dalamnya mulai berputar dengan kecepatan yang belum pernah ia lihat sebelumnya.
Dengan tangan yang gemetar, Sari mengangkat bola itu ke udara. Ia memejamkan mata, memusatkan seluruh mananya ke dalamnya. Energi panas mulai mengalir keluar, menciptakan lingkaran kecil di sekitar bola.
"Kumohon… kumohon berhasil…" bisiknya.
Tiba-tiba, ledakan energi keluar dari bola kristal, menciptakan lingkaran sihir besar di tanah. Dari lingkaran itu, percikan api dan aliran angin bertabrakan, menciptakan badai kecil yang menyelimuti Ghormas. Makhluk itu meraung, tubuhnya terhuyung oleh kekuatan yang tak ia duga.
Arka, yang perlahan sadar dari pingsannya, melihat badai kecil yang diciptakan Sari. Dengan napas tersengal, ia berusaha bangkit meski rasa sakit menjalar di sekujur tubuhnya.
"Sari… kau berhasil…" gumamnya sambil menggenggam belatinya dengan erat.
Dengan kekuatan yang tersisa, Arka berlari ke arah Ghormas yang kini terjebak dalam badai. Ia melompat tinggi, mengarahkan belatinya ke bagian leher makhluk itu yang terluka.
"Akhiri ini!" teriaknya sambil menusukkan belatinya dengan kekuatan penuh.
Belati itu menembus sisik keras Ghormas, menciptakan luka besar yang membuat makhluk itu mengaum kesakitan. Tubuhnya mulai melemah, dan akhirnya ia terjatuh ke tanah. Namun, meskipun terluka parah, Ghormas masih mampu berdiri.
Dengan langkah tertatih-tatih, makhluk itu mengeluarkan raungan keras, yang terasa seperti panggilan. Suara itu menggema ke seluruh hutan, sebelum Ghormas melarikan diri ke kegelapan.
Arka jatuh berlutut, napasnya berat. Darah mengalir dari luka-lukanya, tetapi ia tersenyum tipis saat melihat Sari yang kini berdiri dengan mata lelah, tetapi penuh kepuasan.
"Kau hebat, Sari," katanya dengan suara pelan.
Sari berlari ke arahnya, memeriksa luka-lukanya. "Jangan bicara. Kita harus mencari tempat untuk memulihkan diri."
Mereka berdua tahu bahwa meskipun mereka berhasil selamat, ini hanyalah awal dari tantangan yang jauh lebih besar. Raungan Ghormas tadi seolah menjadi pertanda bahwa ancaman yang lebih gelap sedang mendekat.