Arka terbangun dengan nafas terengah-engah, tubuhnya terasa kaku dan perih. Kegelapan menyelimuti gua kecil tempat mereka berlindung, hanya diterangi oleh sinar lemah bola kristal milik Sari yang diletakkan di sebuah celah batu. Udara di dalam gua lembap, dingin, dan diselimuti aroma lumut yang basah.
"Kau sudah bangun," suara Sari yang lembut terdengar, membuat Arka menoleh.
Sari duduk bersandar pada dinding gua, rambutnya terlihat kusut, tetapi sorot matanya menunjukkan kelelahan bercampur rasa lega. Ia memegang bola kristalnya, mengelus permukaannya seperti seseorang yang mencoba menenangkan dirinya sendiri.
"Apa yang terjadi?" Arka bertanya pelan, suaranya serak. Ia berusaha bangkit, tetapi tubuhnya terasa terlalu berat.
"Kau jatuh pingsan setelah pertarungan. Luka-lukamu cukup parah, tetapi... semuanya sudah sembuh," jawab Sari, sedikit ragu. "Itu terjadi begitu cepat. Luka-luka di tubuhmu... hanya menghilang begitu saja."
Arka mengamati tubuhnya. Memar dan luka robek yang ia ingat dengan jelas kini hanya meninggalkan bekas samar, seolah-olah waktu telah mempercepat penyembuhannya.
"Apa ini...?" gumam Arka.
Sari menggeleng, mencoba memahami situasinya sendiri. "Aku tidak tahu. Tapi ini mungkin salah satu kemampuanmu yang belum kita pahami."
Arka tertawa kecil meski tubuhnya masih terasa berat. "Ya, setidaknya aku tidak mati."
"Arka!" Sari memotongnya, nadanya penuh kekhawatiran. "Jangan bercanda soal itu. Aku benar-benar berpikir kau..."
Kalimatnya terhenti. Sari memejamkan matanya, mencoba menahan emosi yang muncul tiba-tiba.
Arka mendekat dan duduk di sampingnya. "Hei, aku masih di sini, kan? Kau melakukan yang terbaik. Tanpa sihirmu, aku tidak mungkin selamat."
Sari memandangnya dengan mata yang sedikit berkaca-kaca, tetapi ia tidak mengatakan apa-apa.
Setelah beberapa jam beristirahat, Arka merasa cukup kuat untuk berdiri. Mereka memutuskan untuk keluar dari gua, mencari air bersih dan makanan, tetapi sesuatu di luar langsung menarik perhatian mereka.
Jejak kaki besar yang ditinggalkan Ghormas terlihat jelas di tanah basah. Bekas cakarnya menciptakan lubang besar yang membuat tanah terlihat seperti baru saja dihancurkan. Namun, lebih dari itu, ada sesuatu yang lebih aneh: lingkaran simbol aneh yang terbakar di sebuah batu besar tak jauh dari gua.
"Apa itu?" tanya Sari, matanya menatap simbol itu dengan cermat.
Arka mendekat, tetapi berhenti beberapa langkah dari batu tersebut. "Aku tidak tahu... tapi ada sesuatu yang salah dengan itu."
Simbol itu adalah lingkaran dengan tiga garis bercabang yang tampak seperti akar pohon, tetapi ada energi gelap yang tampak berdenyut dari dalamnya. Udara di sekitar batu terasa lebih berat, seperti menekan dada mereka.
Sari mendekat perlahan, bola kristalnya mulai bersinar lebih terang saat ia mendekati simbol tersebut. "Ini bukan sekadar tanda biasa. Energinya... sangat asing, tapi juga... stabil. Seperti dirancang untuk sesuatu."
"Jauhi itu," kata Arka dengan nada mendesak. "Aku tidak suka rasanya."
"Tunggu," potong Sari. Ia berlutut di depan batu itu, mencoba menganalisis pola simbol dengan seksama. "Ini mungkin petunjuk. Sesuatu yang bisa menjelaskan kenapa Ghormas mengejar kita."
Namun, saat Sari meneliti simbol itu lebih jauh, tubuh Arka terasa semakin tegang. Ada sesuatu di udara yang membuatnya ingin menyeret Sari menjauh.
"Sari, aku serius. Jangan terlalu dekat," kata Arka dengan nada yang lebih keras.
Sari menghela napas, lalu mundur perlahan. "Baik, tapi kita harus ingat lokasi ini. Aku yakin simbol ini memiliki hubungan dengan apa pun yang terjadi di dunia ini."
Arka mengangguk, meski masih merasa tidak nyaman. "Kita harus pergi dari sini. Hutan ini tidak lagi aman."
Saat mereka melanjutkan perjalanan, suasana hutan terasa berbeda. Pohon-pohon besar yang sebelumnya terlihat kokoh kini mulai layu, dengan dedaunan yang mengering meskipun tanahnya basah. Udara yang dulu segar kini terasa berat, diselimuti bau busuk yang samar.
"Arka, lihat itu," bisik Sari sambil menunjuk ke depan.
Seekor makhluk kecil dengan tubuh seperti kadal besar muncul dari balik semak-semak. Sisiknya terlihat hitam pekat dengan garis-garis merah yang berdenyut, seperti urat darah yang mencuat dari tubuhnya.
Makhluk itu menatap mereka dengan mata kuning bercahaya, tetapi alih-alih menyerang, ia hanya berdiri diam, memperhatikan dengan waspada.
"Makhluk korosi..." gumam Arka sambil meraih belatinya.
Namun, sebelum Arka sempat bergerak, makhluk itu mengeluarkan suara aneh, seperti gabungan dari desisan dan raungan kecil, lalu berlari menjauh ke dalam bayang-bayang hutan.
"Kenapa dia tidak menyerang?" tanya Arka, kebingungan.
Sari menggeleng. "Mungkin dia hanya pengintai. Atau mungkin korosi belum sepenuhnya menguasai makhluk itu."
Keduanya melanjutkan perjalanan dengan hati-hati, tetapi rasa tegang tetap menyelimuti mereka.
Ketika matahari mulai tenggelam di balik cakrawala, mereka memutuskan untuk berhenti di sebuah celah besar antara dua batu tinggi. Tempat itu cukup aman untuk dijadikan tempat beristirahat sementara.
Namun, saat mereka bersiap untuk beristirahat, suara gemuruh samar terdengar dari kejauhan. Arka segera berdiri, tubuhnya tegang.
"Apa itu?" tanya Sari, suaranya pelan tetapi jelas penuh kecemasan.
Arka mengencangkan pegangan pada belatinya. "Entah apa itu, tapi aku yakin... kita tidak sendirian."
Mereka berdiri diam selama beberapa saat, mendengarkan suara gemuruh yang semakin jelas. Itu seperti langkah-langkah berat yang mengguncang tanah, tetapi suaranya masih cukup jauh.
Sari memandang Arka, matanya penuh ketakutan tetapi juga tekad. "Kita harus bersiap untuk apa pun yang akan datang."
Arka mengangguk. "Kali ini, kita akan lebih siap."