Suara gemuruh semakin mendekat, seperti derap langkah yang mengguncang tanah. Arka berdiri di depan Sari, belatinya tergenggam erat, sementara bola kristal Sari bersinar lembut di tangannya, memberikan pencahayaan yang cukup untuk melihat sekeliling.
"Dia kembali," gumam Arka, matanya terpaku pada bayangan besar yang mulai muncul dari balik pepohonan.
Sari melangkah mundur setengah langkah, tubuhnya tegang. "Arka... itu lebih besar dari sebelumnya..."
Dari kegelapan, makhluk itu akhirnya terlihat sepenuhnya. Tubuhnya menjulang setinggi dua kali manusia dewasa, dengan sisik hitam pekat yang tampak memantulkan cahaya bola kristal Sari. Garis-garis merah di tubuhnya bersinar seperti aliran lava, dan setiap gerakannya memancarkan aura yang menekan.
Kepalanya memiliki dua tanduk melengkung yang menyerupai akar pohon tua, tetapi dengan ujung yang tajam. Matanya merah menyala, memandang langsung ke arah Arka dan Sari dengan kebencian yang nyata.
Makhluk itu mengeluarkan raungan keras, napasnya menghembuskan udara panas yang terasa sampai ke wajah mereka.
"Sari, tetap di belakangku!" seru Arka, kakinya memasang kuda-kuda untuk bersiap menghadapi serangan. Makhluk itu bergerak cepat, cakarnya menghantam tanah hanya beberapa meter dari mereka, menciptakan retakan besar di tanah yang hampir membuat mereka terjatuh.
Arka melompat maju, belatinya menyala dengan cahaya biru dari Essentia yang mengalir melalui tubuhnya. Dengan gerakan cepat, ia menyerang sisi tubuh makhluk itu, mencoba menusuk salah satu garis merah yang bersinar.
Namun, makhluk itu berputar dengan gerakan yang tak terduga, menggunakan ekornya untuk menyerang balik. Arka berhasil menghindar dengan melompat mundur, tetapi serangan itu cukup kuat untuk membuat tanah di sekitarnya bergetar.
"Arka, hati-hati! Dia lebih cepat dari yang kukira!" teriak Sari, mencoba tetap fokus pada bola kristalnya.
. Sari mulai membentuk lingkaran sihir di udara, menggabungkan elemen angin dan tanah untuk menciptakan penghalang di sekitar mereka. Namun, energi yang keluar dari makhluk itu terasa seperti melawan sihirnya, membuat penghalangnya retak sebelum selesai terbentuk.
"Sial, ini lebih kuat dari sihirku yang biasa!" keluh Sari.
"Kita harus mencari celah!" jawab Arka sambil menyerang lagi, kali ini mencoba mengenai kaki depan makhluk itu.
Makhluk itu meraung marah saat belati Arka berhasil melukai salah satu garis merah di kakinya. Namun, sebelum Arka bisa melanjutkan serangannya, makhluk itu membalas dengan cakarnya, menghantam tubuh Arka dan membuatnya terlempar beberapa meter ke belakang.
Arka terkapar di tanah, darah mengalir dari luka di lengannya. Napasnya berat, tetapi ia berusaha bangkit meskipun tubuhnya terasa seperti terbakar.
Essentia biru yang biasanya menyelimuti tubuhnya mulai berubah. Cahaya biru itu meredup, digantikan oleh kilatan merah yang berdenyut di sekujur tubuhnya. Arka merasakan panas yang menyiksa, tetapi bersamaan dengan itu, kekuatan besar mengalir melalui otot-ototnya.
"Apa ini...?" gumamnya sambil menggenggam belatinya lebih erat.
Sari, yang melihat perubahan itu, terkejut. "Arka, kau... apa yang terjadi dengan Essentia-mu?"
Arka tidak menjawab. Ia melangkah maju, tubuhnya kini diselimuti aura merah yang memancar dari dalam. Dengan kekuatan baru itu, ia menyerang makhluk besar di depannya, setiap pukulan dan tebasannya meninggalkan bekas luka yang lebih dalam dari sebelumnya.
Namun, kekuatan itu datang dengan harga. Napas Arka semakin berat, dan setiap gerakan membuat tubuhnya terasa seperti retak dari dalam.
"Aku harus mengakhiri ini cepat..." pikir Arka, menyerang lagi dengan tebasan yang mengarah ke leher makhluk itu.
Sementara itu, Sari, yang melihat kondisi Arka yang semakin melemah, tahu bahwa ia harus melakukan sesuatu. Bola kristalnya bersinar terang di tangannya, dan ia mulai membentuk sihir yang belum pernah ia coba sebelumnya.
"Baiklah... mari kita lihat apakah ini berhasil," gumam Sari, tangannya bergerak cepat membentuk pola di udara.
Menggabungkan elemen angin dan tanah, ia menciptakan tombak besar yang tampak terbuat dari batu tajam tetapi bergerak dengan kecepatan angin. Tombak itu melayang di udara, berputar dengan cepat sebelum meluncur ke arah makhluk besar tersebut.
Tombak itu menghantam tubuh makhluk, menciptakan ledakan kecil yang membuat makhluk itu mundur beberapa langkah. Garis merah di tubuhnya tampak redup, tetapi makhluk itu belum sepenuhnya tumbang.
"Arka! Sekarang!" teriak Sari.
Arka, dengan sisa kekuatannya, melompat tinggi dan menusukkan belatinya langsung ke leher makhluk itu, tepat di salah satu titik merah yang bersinar paling terang. Makhluk itu mengeluarkan raungan terakhir sebelum akhirnya jatuh ke tanah, tubuhnya menghantam dengan suara keras yang mengguncang tanah di sekitar mereka.
Arka terjatuh ke lututnya, napasnya terengah-engah. Essentia merah yang menyelimuti tubuhnya perlahan memudar, meninggalkan rasa sakit yang menjalar di seluruh tubuhnya.
Sari berlari menghampirinya, wajahnya penuh kekhawatiran. "Arka! Kau baik-baik saja?"
Arka mengangguk pelan, meskipun rasa sakit jelas terlihat di wajahnya. "Aku... aku baik-baik saja. Tapi makhluk itu... apa sebenarnya dia?"
Mereka berdua memandang tubuh besar makhluk yang kini tak bergerak. Namun, sebelum mereka bisa mendekat, simbol di dinding tebing mulai bersinar terang, dan energi gelap tampak keluar dari tubuh makhluk itu, menghilang ke dalam simbol.
"Simbol itu... ini semua terhubung," gumam Sari, mencoba menganalisis situasinya.
"Kalau begitu, kita harus cari tahu apa arti semua ini," kata Arka, meskipun tubuhnya terlihat masih lemah.
Mereka tahu bahwa meskipun mereka berhasil selamat, ini hanyalah awal dari perjalanan yang jauh lebih berbahaya.