Langkah kaki Arka dan Sari terasa berat saat mereka menyusuri jalan setapak yang penuh dengan dedaunan kering. Udara yang biasanya segar di hutan itu kini berubah menekan, seperti ada sesuatu yang tidak kasat mata mengintai setiap gerakan mereka. Pohon-pohon di sekitar terlihat seperti menunduk ke arah mereka, ranting-rantingnya bergerak pelan seakan ditiup angin yang tak terdengar.
"Hutan ini..." gumam Sari, memegang bola kristalnya erat-erat. "Ada sesuatu yang berbeda. Rasanya... seperti bernapas, tapi juga mati."
Arka melirik ke sekeliling, belatinya tergenggam erat. "Aku juga merasakannya. Sejak simbol itu, semuanya jadi salah."
Dedaunan yang kering hancur di bawah kaki mereka, menghasilkan suara yang memecah keheningan. Di kejauhan, samar-samar terdengar suara gemuruh, seperti langkah sesuatu yang besar.
"Kita harus terus bergerak," kata Arka akhirnya. "Diam terlalu lama di tempat ini bukan ide yang bagus."
Sari mengangguk, meskipun ia tidak bisa menutupi rasa takut di wajahnya. Mereka melangkah lebih dalam ke hutan, tetapi setiap langkah membuat suasana semakin berat.
Di tengah perjalanan, mereka tiba di sebuah pohon raksasa yang mati. Batangnya yang besar dan berlubang terlihat seperti telah terbakar dari dalam, tetapi anehnya, tidak ada bekas api di sekitarnya. Di salah satu sisi batangnya, ada ukiran simbol yang sama dengan yang mereka temukan di dekat gua.
"Simbol itu lagi," gumam Sari, mendekati pohon dengan hati-hati.
Bola kristalnya mulai bersinar lebih terang ketika ia mendekat. Pola di pohon itu terlihat lebih rumit dibandingkan yang mereka lihat sebelumnya, dengan cabang-cabang garis yang mengarah ke segala arah seperti akar.
"Apa kau pikir ini hanya ukiran?" tanya Arka, berdiri beberapa langkah di belakang Sari.
Sari menggeleng, matanya terpaku pada simbol itu. "Tidak. Ini lebih dari sekadar ukiran. Pola ini... seperti peta. Tapi bukan peta tempat, lebih seperti peta energi. Lihat bagaimana garis-garis ini berkumpul di satu titik?"
Ia menunjuk ke tengah simbol, di mana ada lingkaran kecil yang memancarkan cahaya samar.
"Mungkin ini mengarah ke sesuatu. Sesuatu di pusat hutan ini," lanjutnya.
Arka mengernyit. "Dan aku yakin apa pun itu, bukan hal yang ingin kita temui."
Sari menoleh padanya, ragu-ragu. "Tapi kita tidak punya pilihan lain, kan? Kalau kita tidak tahu apa yang terjadi di sini, bagaimana kita bisa bertahan di dunia ini?"
Arka diam sejenak, lalu mendesah panjang. "Baiklah. Tapi kita harus tetap waspada."
Saat mereka melanjutkan perjalanan, suasana semakin sunyi. Bahkan suara burung atau serangga pun tidak terdengar lagi.
"Arka..." Sari memulai, suaranya pelan. "Menurutmu... apa yang sebenarnya terjadi pada tubuhmu? Regenerasi itu... tidak normal."
Arka terdiam sejenak, matanya menatap jalan setapak di depannya. "Aku tidak tahu. Tapi aku merasa... ada batasnya. Rasanya seperti tubuhku dipaksa untuk sembuh, tapi itu meninggalkan sesuatu. Seperti luka yang tidak terlihat."
Sari mengangguk, meskipun ia tidak sepenuhnya mengerti. "Aku juga merasa seperti itu dengan sihirku. Setiap kali aku menggunakannya, aku merasa seperti mengambil sesuatu dari dalam diriku. Seolah-olah kekuatanku... memakan diriku sendiri."
Arka berhenti dan menoleh ke arahnya. "Hei, kau tidak sendirian dalam hal ini. Apa pun yang kita hadapi, kita akan menghadapinya bersama. Oke?"
Sari tersenyum tipis, meskipun rasa khawatir masih ada di matanya. "Ya. Bersama."
Langit mulai gelap saat mereka mencapai tebing kecil yang terlihat cukup aman untuk dijadikan tempat berlindung sementara. Sari menyalakan bola kristalnya, cahaya lembutnya memantulkan bayangan panjang di dinding tebing.
Namun, suasana menjadi tegang ketika mereka mendengar suara langkah kecil di sekitar mereka. Arka segera berdiri, belatinya siap di tangan, sementara Sari memperbesar cahaya bola kristalnya untuk menerangi area sekitar. Suara langkah kecil itu semakin jelas, seperti kuku keras yang menghantam batuan kasar. Dari bayangan di pinggir cahaya, sosok makhluk kecil mulai muncul, tubuhnya menyeret ranting dan daun kering yang menutupi tanah.
Makhluk itu tidak lebih besar dari seekor anjing besar, tetapi tubuhnya diselimuti sisik hitam yang berkilauan dengan garis-garis merah bercahaya di sekujur tubuhnya. Matanya memancarkan cahaya kuning menyala, menatap langsung ke arah Arka dan Sari.
"Apa itu...?" bisik Sari, memegang bola kristalnya lebih erat.
Arka tidak menjawab. Matanya tidak pernah lepas dari makhluk itu, tangannya menggenggam belati hitamnya dengan erat. Makhluk itu tidak menyerang, tetapi juga tidak mundur.
"Dia tidak terlihat ingin menyerang kita," lanjut Sari, suaranya rendah tetapi tegang.
Makhluk itu mengeluarkan suara mendesis, seperti perpaduan antara suara ular dan kucing yang terganggu. Kemudian, perlahan-lahan, ia mundur ke dalam bayang-bayang hutan, tetapi matanya tetap terpaku pada mereka sampai akhirnya lenyap sepenuhnya.
"Kenapa dia pergi?" tanya Sari.
Arka menghela napas, sedikit mengendurkan posisi bertahannya. "Mungkin dia hanya pengintai. Atau... mungkin dia menunggu sesuatu."
Mereka berdua terdiam, hanya suara napas mereka yang terdengar di antara kesunyian hutan.
Setelah memastikan area di sekitar mereka aman, Arka dan Sari memutuskan untuk beristirahat di bawah tebing kecil itu. Namun, rasa tenang itu tidak berlangsung lama. Saat Sari mencoba tidur, Arka memperhatikan sesuatu yang aneh di dekat tebing.
Ada ukiran lain di salah satu dinding tebing itu. Ukiran tersebut menyerupai simbol yang mereka temukan sebelumnya, tetapi kali ini, pola garisnya lebih rumit, dengan banyak cabang yang saling terhubung membentuk lingkaran besar.
Arka mengamati simbol itu dengan penuh perhatian, matanya menyipit. Ia merasa ada sesuatu yang salah dengan simbol tersebut.
"Sari," panggilnya pelan.
Sari, yang hanya setengah terjaga, bangkit perlahan dan mendekat. Begitu melihat simbol itu, bola kristalnya langsung bersinar lebih terang.
"Simbol ini... lebih besar. Dan energinya lebih kuat," gumam Sari sambil memegang bola kristalnya. "Ini bukan sekadar simbol. Ini seperti... portal, atau pusat energi."
Arka mundur satu langkah. "Kau pikir itu terhubung dengan makhluk yang kita lihat tadi?"
Sari mengangguk pelan. "Mungkin saja. Aku rasa makhluk itu bukan hanya pengintai. Dia... seperti penjaga, atau pelindung sesuatu di balik simbol ini."
Mereka memutuskan untuk tidak menyentuh simbol itu, setidaknya untuk saat ini. Namun, sebelum mereka sempat beristirahat kembali, suara gemuruh dari kejauhan kembali terdengar. Kali ini, suara itu lebih keras, lebih berat, seolah sesuatu yang besar sedang bergerak dengan cepat ke arah mereka.
Arka langsung berdiri, tangannya menggenggam belati hitamnya erat. "Dia kembali," gumamnya, matanya tajam memandang ke arah hutan yang gelap.
Sari berdiri di sampingnya, bola kristalnya bersinar terang di tangannya. "Makhluk yang tadi, atau sesuatu yang lebih besar?"
Gemuruh itu semakin dekat, dan tanah di bawah mereka mulai bergetar.
"Apa pun itu," kata Arka dengan nada tegas, "kita harus siap."
Cahaya mata merah mulai terlihat dari dalam bayangan hutan, diikuti oleh suara napas berat dan langkah besar yang mendekat. Mereka tahu bahwa ancaman ini bukan lagi sekadar ujian kecil, tetapi awal dari sesuatu yang jauh lebih besar.