Sinar lembut dari pohon bercahaya menyelimuti mereka, memberikan rasa tenang yang hampir melupakan teror malam sebelumnya. Arka memegang belati hitam kecil itu dengan kedua tangannya, mempelajari bilahnya yang tajam namun ringan. Cahaya biru di ujungnya seolah berdenyut lembut, seperti napas.
Di sisi lain, Sari memandangi bola kristal di tangannya. Energi hangat yang berputar di dalamnya terasa mengalir ke tubuhnya, seakan berbicara dalam bahasa yang tidak bisa ia pahami.
"Apa yang sebenarnya kau berikan kepada kami?" tanya Arka, masih menatap belati itu dengan serius.
Makhluk itu melangkah mendekat, tongkat bercahayanya menyentuh tanah dengan lembut. "Belati itu, Arka, bukan hanya senjata. Ia adalah perpanjangan dari Essentiamu, energi yang mengalir dalam dirimu. Dengan itu, kau akan belajar mengalirkan kekuatanmu melalui senjata, memperkuat seranganmu, dan melindungi dirimu sendiri."
Arka mengerutkan kening, mencoba merasakan apa yang dimaksud. Tetapi sejauh ini, belati itu hanya terasa seperti senjata biasa.
Makhluk itu melirik ke arah Sari, yang masih memandangi bola kristalnya dengan rasa penasaran. "Dan kau, Sari. Bola kristal itu adalah jangkar. Ia akan membantumu memahami mana yang mengalir di sekitarmu, dan juga di dalam dirimu. Energi itu, ketika dikendalikan, bisa menjadi alat yang jauh lebih kuat daripada senjata apa pun."
Sari memiringkan kepala, matanya bersinar dengan rasa ingin tahu. "Jadi ini semacam penguat?"
Makhluk itu tersenyum tipis. "Lebih dari itu. Ia adalah pintu menuju potensi sejati."
Pagi berikutnya, pelatihan dimulai. Makhluk itu membawa mereka ke lapangan terbuka yang dikelilingi oleh pohon-pohon bercahaya. Udara di sana terasa lebih berat, seolah-olah energi dunia ini memusatkan dirinya di tempat itu.
"Kita akan memulai dengan dasar-dasar," kata makhluk itu. "Energi dunia ini, Essentia untuk Arka dan mana untuk Sari, adalah inti dari segala sesuatu. Tanpa memahaminya, kalian tidak akan bertahan."
Makhluk itu menatap Arka terlebih dahulu. "Kau akan belajar memanggil Essentia birumu. Ia adalah energi stabil yang melindungi tubuhmu dan memperkuat seranganmu. Pejamkan matamu dan fokuslah pada napasmu. Rasakan energi itu mengalir melalui tubuhmu."
Arka memejamkan mata, menarik napas panjang. Pada awalnya, hanya keheningan yang ia rasakan. Tetapi perlahan, sesuatu yang hangat mulai mengalir di dalam tubuhnya, seperti aliran sungai yang lembut.
Ketika ia membuka matanya, cahaya biru mulai muncul, menyelimuti tubuhnya seperti kabut tipis. Sari yang menyaksikan dari jauh tersenyum kecil.
"Itu luar biasa, Arka!" serunya dengan nada kagum.
Makhluk itu mengangguk. "Bagus. Sekarang gunakan itu."
Arka memegang belatinya dengan erat, mencoba memfokuskan energi biru itu ke senjatanya. Dengan satu gerakan cepat, ia menghantam batu besar di depannya. Batu itu retak, tetapi tidak pecah sepenuhnya.
Arka terhuyung mundur, napasnya terengah-engah. "Aku belum bisa… memusatkan energinya."
Makhluk itu mendekatinya, menatapnya dengan tajam. "Essentia bukan hanya tentang kekuatan. Ia adalah tentang kendali. Kau harus belajar mengalirkan energimu dengan seimbang."
Sementara itu, Sari duduk bersila di bawah pohon bercahaya, memegang bola kristalnya. Ia memejamkan mata, mencoba merasakan mana di sekitarnya seperti yang diperintahkan makhluk itu.
"Mana adalah energi yang hidup," jelas makhluk itu. "Kau tidak bisa memaksanya. Kau hanya bisa menyelaraskan dirimu dengannya."
Sari mencoba memusatkan pikirannya pada bola kristal di tangannya. Perlahan, bola itu mulai bersinar lebih terang, dan sebuah lingkaran kecil air muncul di atasnya, berputar lembut seperti pusaran.
"Aku berhasil!" serunya, matanya bersinar dengan rasa bangga.
Makhluk itu mengangguk dengan senyum tipis. "Langkah pertama selalu yang paling sulit. Tetapi ini baru permulaan."
Sari mencoba menciptakan sesuatu yang lebih besar, tetapi lingkaran air itu tiba-tiba memudar, lenyap begitu saja. Ia menghela napas panjang, merasa kecewa.
Makhluk itu menepuk bahunya dengan lembut. "Mana adalah cerminan dari pikiranmu. Jika kau ragu, ia akan lenyap. Fokuslah pada tujuanmu, bukan pada ketakutanmu."
Sari mengangguk perlahan, mencoba lagi dengan tekad yang baru.
Setelah beberapa hari pelatihan, makhluk itu memutuskan bahwa Arka siap untuk tahap berikutnya.
"Essentia merah adalah kekuatan mentah," jelasnya. "Ia memberimu kekuatan besar, tetapi dengan risiko besar. Jika kau kehilangan kendali, ia akan menghancurkanmu lebih cepat daripada musuhmu."
Arka menarik napas panjang, tubuhnya terasa tegang. Ia tahu bahwa ini akan jauh lebih sulit daripada Essentia biru.
"Aku siap," katanya dengan nada tegas, meskipun ada keraguan di matanya.
Makhluk itu mengangkat tongkatnya, memancarkan cahaya merah terang. "Gunakan emosimu, tetapi jangan biarkan mereka menguasaimu."
Arka memejamkan mata, mencoba memanggil energi yang lebih kuat. Cahaya biru di tubuhnya perlahan berubah menjadi merah yang menyala seperti api. Tubuhnya terasa panas, seperti terbakar dari dalam, tetapi ia bertahan.
Dengan satu gerakan cepat, ia menghantam batu besar di depannya. Batu itu hancur menjadi serpihan kecil, tetapi tubuh Arka langsung jatuh ke tanah, gemetar hebat.
Makhluk itu mendekatinya, menatapnya dengan tajam. "Essentia merah membutuhkan lebih dari kekuatan. Ia membutuhkan kendali penuh atas dirimu sendiri. Jangan memaksakan dirimu terlalu cepat."
Malam itu, mereka duduk di sekitar api unggun kecil, mencoba memulihkan diri setelah pelatihan yang melelahkan. Cahaya api berpadu dengan kilauan pohon bercahaya, menciptakan suasana yang hangat dan menenangkan.
"Arka," kata Sari tiba-tiba, memecah keheningan. "Apa kau merasa dunia ini… terlalu sulit untuk kita?"
Arka menatap api dengan tatapan kosong. "Ya. Tapi aku tidak akan menyerah. Aku tidak bisa."
Sari tersenyum kecil, meskipun ada kesedihan di matanya. "Aku tahu. Dan aku juga tidak akan membiarkan kita berhenti."