Chereads / Petualangan di Anuraya / Chapter 7 - Peringatan dari bayang bayang

Chapter 7 - Peringatan dari bayang bayang

Cahaya lembut dari pohon bercahaya menyelimuti lapangan kecil, menciptakan suasana damai setelah hari-hari pelatihan yang melelahkan. Suara dedaunan yang digoyang angin malam mengiringi napas berat Arka, yang duduk bersandar di batu besar sambil memutar belati hitam di tangannya. Cahaya biru lembut di ujung belati itu berdenyut seperti detak jantung, seolah berusaha menyelaraskan dirinya dengan pemiliknya.

Di seberangnya, Sari memegang bola kristal, matanya terpaku pada cahaya berputar di dalamnya. Setiap putaran energi itu terasa seperti dialog diam-diam yang mengajaknya memahami kekuatan yang belum sepenuhnya ia kuasai.

"Arka," suara Sari memecah keheningan. "Kau pikir... kita sudah cukup kuat untuk bertahan di dunia ini?"

Arka mendongak, matanya menerawang. "Aku tidak tahu. Tapi aku rasa tidak ada pilihan lain, kan? Kita tidak bisa berhenti hanya karena ragu."

Sari tersenyum kecil, meski ada kelelahan di wajahnya. "Aku harap kekuatan kita cukup. Dunia ini... seperti teka-teki yang sulit dipecahkan."

Namun, sebelum Arka bisa menjawab, udara di sekitar mereka tiba-tiba berubah. Angin berhenti, dan keheningan yang aneh menyelimuti. Sebuah aroma tajam bercampur dengan bau tanah basah tercium, membuat kedua manusia itu langsung siaga.

"Kau merasakannya?" tanya Arka sambil menggenggam belatinya lebih erat.

Sari mengangguk, bola kristalnya bersinar lebih terang. "Ada sesuatu yang mendekat..."

Langkah tenang namun berat terdengar dari balik pepohonan. Sosok tinggi berselimut cahaya perlahan muncul dari bayang-bayang, tongkat bercahayanya menyentuh tanah dengan lembut.

Makhluk mistis itu kembali.

"Kalian sudah belajar cukup banyak," katanya dengan suara bergema. "Tapi waktu kita telah habis. Aku harus pergi."

Sari berdiri dengan tergesa, matanya melebar. "Apa maksudmu? Kau tidak bisa meninggalkan kami sekarang! Kami masih butuh bantuanmu!"

Makhluk itu menatapnya, sorot matanya penuh ketenangan, tetapi ada sesuatu yang dingin di balik tatapan itu. "Kesiapan kalian tidak ditentukan olehku, Sari. Dunia ini akan terus menguji kalian, dengan atau tanpa bantuanku."

Arka melangkah maju, rahangnya mengeras. "Jika kau pergi, setidaknya beritahu kami apa yang harus kami lakukan."

Makhluk itu mengangguk perlahan, tongkatnya bersinar lebih terang. "Aku akan memberitahumu satu hal terakhir. Makhluk besar yang pernah mengejar kalian... dia tidak pernah pergi. Dia telah mengawasi kalian dari bayang-bayang. Dan dia akan segera datang."

Jantung Sari berdetak lebih cepat. "Kapan dia akan datang?"

"Segera," jawab makhluk itu, suaranya tenang tetapi penuh ketegasan. "Makhluk itu adalah ujian pertama kalian yang sesungguhnya. Jika kalian tidak siap, perjalanan kalian akan berakhir di sini."

Sari menelan ludah, tangannya gemetar. Namun, Arka hanya mengepalkan tangannya lebih erat, ekspresinya berubah tajam. "Kami tidak akan kalah. Kami akan bertahan."

Makhluk itu tersenyum tipis. "Kalian punya potensi, tetapi ingatlah ini: kekuatan kalian hanyalah alat. Kehendak kalianlah yang menentukan hasilnya."

Dengan itu, cahaya di tubuhnya perlahan memudar, dan ia menghilang seperti bayangan yang ditelan malam.

Keheningan yang menyelimuti setelah kepergian makhluk itu terasa menekan. Arka dan Sari berdiri di tempat mereka, napas mereka tertahan sejenak.

"Apa yang harus kita lakukan sekarang?" tanya Sari, suaranya bergetar sedikit.

Arka menarik napas panjang, matanya menyapu lingkungan sekitar. "Kita harus bersiap. Makhluk itu tidak akan memberimu peringatan jika ancaman ini kecil. Kita harus menghadapinya, apa pun yang terjadi."

Namun, bahkan sebelum mereka bergerak, tanda-tanda kehadiran makhluk besar mulai terlihat. Jejak kaki besar yang menekan tanah basah, ranting pohon yang patah dengan bekas cakaran besar, dan suara geraman samar dari kejauhan membuat darah mereka berdesir.

Sari menggenggam bola kristalnya lebih erat. "Arka... dia sudah dekat."

"Kita butuh rencana," jawab Arka, nadanya tegas meski matanya penuh kewaspadaan.

Mereka mendekati sebuah batu besar yang cukup tinggi untuk dijadikan perlindungan sementara. Sari duduk bersandar pada batu, mencoba mengatur napasnya yang tidak beraturan.

"Aku punya ide," katanya akhirnya. "Aku bisa menciptakan kabut untuk mengaburkan pandangan makhluk itu. Tapi aku butuh waktu untuk memusatkan mana."

Arka mengangguk, mengencangkan genggamannya pada belati hitam. "Kalau begitu, aku akan memancing perhatiannya. Pastikan kau berhasil sebelum dia mendekat terlalu jauh."

Sari menatapnya ragu. "Arka, ini terlalu berisiko. Jika aku gagal..."

"Kau tidak akan gagal," potong Arka, suaranya penuh keyakinan. "Aku percaya padamu. Fokus saja pada kabut itu. Aku akan mengurus sisanya."

Langkah berat terdengar semakin jelas, diiringi dengan suara gemuruh yang membuat tanah bergetar. Dari balik bayang-bayang pohon, sosok besar itu muncul.

Tubuhnya diselimuti sisik hitam mengilap, setiap gerakannya memancarkan kekuatan mentah. Matanya bersinar merah seperti bara api, dan napas panas yang keluar dari rahangnya terdengar seperti desisan uap.

"Itu dia," bisik Sari, tubuhnya kaku.

Arka maju beberapa langkah, tubuhnya tegak meski makhluk itu menjulang di depannya. "Sari, cepat!" serunya tanpa menoleh.

Sari memejamkan mata, bola kristalnya mulai bersinar lebih terang. Kabut tipis mulai terbentuk di sekitar mereka, tetapi masih belum cukup untuk menutupi medan sepenuhnya.

Ghormas mengeluarkan raungan keras, cakarnya menghantam tanah, meninggalkan jejak dalam di tanah basah. Ia mulai mendekat dengan langkah-langkah besar, matanya tertuju langsung pada Arka.

Arka melompat ke samping ketika Ghormas mencoba menerkamnya, tubuhnya hampir terhempas oleh gelombang udara yang dihasilkan dari serangan itu. Ia berguling di tanah, lalu berdiri kembali dengan napas yang memburu.

"Sari, aku butuh kabut itu sekarang!" teriaknya.

Sari menggigit bibirnya, berjuang keras untuk memusatkan mananya. Kabut mulai menebal, tetapi tekanan situasi membuat konsentrasinya goyah. Ghormas berhenti sejenak, menatap mereka dengan tatapan penuh kebencian. Kemudian, tanpa peringatan, ia melompat dengan kekuatan penuh, cakar-cakarnya terulur ke arah mereka.