Angin malam berhembus pelan, membawa aroma tumbuhan bercahaya yang mengelilingi mereka. Namun, keheningan malam itu tiba-tiba pecah oleh suara gemerisik dari arah semak-semak di kejauhan.
Arka, yang tadinya duduk dengan tombak kayu di tangan, segera bangkit berdiri. Tubuhnya tegak, dan matanya yang tajam menatap arah suara itu tanpa berkedip. Jari-jarinya menggenggam erat tongkat runcingnya, siap menghadapi apa pun yang mendekat.
Di belakangnya, Sari memegang salah satu akar pohon besar yang menjadi tempat mereka berlindung. Tubuhnya kaku, dan ia mencoba meredam rasa panik yang mulai menjalari pikirannya.
"Arka…" bisiknya, suaranya nyaris tak terdengar.
Arka mengangkat tangan untuk memberi isyarat agar Sari tetap diam. Ia bergerak perlahan ke depan, memastikan langkahnya tidak menimbulkan suara. Semak-semak di kejauhan bergoyang lebih keras, disertai suara gemuruh ringan seperti sesuatu yang besar bergerak.
Dari balik bayang-bayang, sesosok makhluk besar perlahan muncul. Tubuhnya tegap, dengan bulu kasar yang bercahaya redup di bawah sinar bulan. Matanya merah menyala, menatap mereka dengan pandangan tajam penuh ancaman.
Sari menahan napas, matanya melebar. Tubuhnya mundur selangkah, tetapi kakinya tersangkut pada akar pohon yang melintang. Ia nyaris terjatuh, tetapi segera menahan tubuhnya dengan tangan.
"Makhluk apa itu?" bisik Sari, suaranya dipenuhi ketakutan.
Arka tidak menjawab. Tubuhnya tetap diam, tetapi matanya bergerak cepat, memeriksa setiap gerakan makhluk itu. Ia tahu satu gerakan salah bisa menjadi akhir bagi mereka berdua.
Makhluk itu menggeram rendah, suaranya berat seperti batu besar yang bergesekan. Tubuhnya lebih besar dari seekor beruang, dengan cakar panjang yang berkilauan tajam di bawah sinar bulan.
Arka mengangkat tongkat kayunya, meskipun ia tahu itu mungkin tidak cukup untuk melukai makhluk sebesar itu.
Namun, sebelum makhluk itu melangkah lebih dekat, ia tiba-tiba berhenti. Matanya yang merah menatap mereka selama beberapa detik, lalu perlahan ia berbalik. Dengan langkah berat, makhluk itu berjalan menjauh, meninggalkan jejak kaki dalam di tanah lembut.
Arka menurunkan tongkatnya perlahan, napasnya terdengar berat.
"Kenapa dia pergi?" tanya Sari, masih dengan suara bergetar.
"Mungkin dia hanya… mengawasi. Tapi kita tidak aman di sini," jawab Arka, matanya masih memperhatikan arah makhluk itu menghilang.
Setelah memastikan bahwa makhluk itu tidak akan kembali, Arka kembali ke tempat perlindungan mereka di bawah pohon besar. Api kecil yang ia buat semalam hampir padam, tetapi ia segera menambahkan beberapa ranting untuk menyalakannya lagi.
Sari duduk bersandar pada akar pohon, memeluk lututnya. Wajahnya masih menunjukkan ketakutan, meskipun ia mencoba untuk tetap tenang.
"Itu terlalu dekat," katanya pelan.
Arka mengangguk tanpa menjawab. Ia duduk di dekat api, tetapi matanya tetap memandang ke arah hutan. Tombak kayunya tergeletak di sampingnya, siap digunakan kapan saja.
"Apa menurutmu dia akan kembali?" tanya Sari.
Arka menggeleng. "Tidak tahu. Tapi kita harus berjaga-jaga."
Sari memandang ke arahnya, memperhatikan bagaimana Arka tetap tenang meskipun situasinya jelas menegangkan. Ia tahu, pria itu sudah terbiasa dengan kondisi seperti ini.
Kehidupan di Bumi sebelum kiamat memaksa mereka untuk terus berjaga, tidur dalam ketegangan, dan selalu siap menghadapi ancaman. Arka sudah tidur di tempat yang jauh lebih buruk daripada akar pohon ini: atap mobil tua, sudut bangunan yang hampir runtuh, bahkan di tengah reruntuhan kota yang penuh dengan makhluk buas.
"Kau akan berjaga semalaman?" tanya Sari, suaranya lebih lembut sekarang.
"Tidurlah. Aku akan memastikan kau aman," jawab Arka sederhana, sambil menambahkan ranting lain ke api.
Sari ingin protes, tetapi ia tahu itu tidak akan mengubah pendirian Arka. Akhirnya, ia membaringkan dirinya di antara akar-akar pohon, mencoba memejamkan mata meskipun rasa takut masih menyelimuti hatinya.
Ketika fajar datang, cahaya dari dua matahari menyinari padang rumput yang terbentang di depan mereka. Langit berwarna jingga keemasan, memberikan kehangatan yang aneh tetapi menenangkan.
Arka membuka matanya yang berat, meskipun ia hanya sempat tidur beberapa jam. Ia bangkit perlahan, merenggangkan tubuhnya yang kaku. Rasa sakit dan nyeri di tubuhnya adalah hal biasa. Kehidupan keras di Bumi telah mengajarkan tubuhnya untuk bertahan dalam kondisi apa pun.
Ia menoleh ke arah Sari, yang masih terlelap dengan posisi meringkuk. Wajahnya terlihat lebih damai sekarang, tanpa ketegangan yang biasanya ia lihat.
Arka berjalan menjauh dari tempat mereka bermalam, menuju sungai kecil yang mengalir jernih di dekat hutan. Ia mencuci wajahnya dengan air dingin, membiarkan kesegarannya mengusir rasa kantuk yang tersisa.
"Setidaknya di sini ada air bersih," pikirnya, mengingat bagaimana mereka harus mencari air di reruntuhan kota, sering kali hanya mendapatkan genangan yang keruh.
Ketika ia kembali, Sari sudah bangun. Ia duduk bersandar pada akar pohon, mengusap wajahnya dengan kedua tangan.
"Pagi?" tanya Arka sambil menaruh beberapa buah yang ia temukan semalam di dekatnya.
Sari mengangguk pelan, lalu mengambil salah satu buah itu. "Terima kasih."
Setelah makan, mereka memutuskan untuk melanjutkan perjalanan, menjauh dari tempat mereka bermalam.
Di sepanjang perjalanan, mereka menemukan jejak-jejak besar di tanah, seperti bekas langkah kaki makhluk yang sangat besar. Arka berjongkok, memeriksa salah satu jejak itu dengan cermat.
"Ini pasti makhluk semalam," katanya.
Sari berdiri di belakangnya, tubuhnya tegang. "Apa menurutmu dia akan kembali mencari kita?"
"Tidak tahu. Tapi aku rasa dia tidak sendirian."
Sari terdiam, membayangkan makhluk lain yang mungkin lebih besar dan lebih berbahaya.
"Kita harus tetap bergerak. Kalau terus diam di satu tempat, kita hanya akan jadi sasaran," kata Arka sambil berdiri.
Mereka melanjutkan perjalanan, mengikuti aliran sungai kecil yang mengalir ke arah hutan yang lebih dalam.
Di tepi sungai, mereka menemukan sesuatu yang aneh. Seekor makhluk kecil dengan tubuh seperti tikus, tetapi memiliki bulu bercahaya dan ekor panjang, sedang minum air dari sungai.
Arka mengangkat tangannya, memberi isyarat agar Sari berhenti. "Tunggu. Jangan bergerak."
Sari memandang makhluk itu dengan rasa ingin tahu. "Dia tidak terlihat berbahaya," katanya pelan.
Makhluk itu menoleh ke arah mereka, matanya yang besar memandang dengan rasa ingin tahu. Namun, sebelum mereka sempat mendekat, makhluk itu mengeluarkan suara kecil seperti peringatan, lalu melompat pergi dengan cepat.
"Kenapa dia lari?" tanya Sari.
Arka mengerutkan alisnya. "Mungkin dia tahu sesuatu yang kita tidak tahu."
Ketika makhluk kecil itu menghilang, suara gemerisik lain terdengar dari semak-semak yang lebih jauh. Namun, kali ini, suara itu diikuti oleh gemuruh berat yang membuat tanah di bawah kaki mereka bergetar pelan.
Arka segera memegang tongkat runcingnya lebih erat. Tubuhnya yang tadinya rileks kembali tegang, seperti busur yang siap dilepaskan. Ia mengamati arah suara itu dengan penuh perhatian.
Sari melangkah mundur, tubuhnya menempel pada pohon besar di dekatnya. "Arka… suara itu… semakin dekat."
Arka mengangguk tanpa menoleh. "Tetap di belakangku. Kalau sesuatu muncul, lari ke arah sungai. Aku akan menahannya."
"Kau tidak bisa melawan sendirian!" protes Sari, meskipun suaranya bergetar.
"Aku tidak punya pilihan." Arka menoleh sebentar, menatapnya dengan mata penuh tekad. "Percayalah padaku."
Suara itu semakin keras. Pohon-pohon di kejauhan bergoyang, dan sesuatu yang besar mulai terlihat di antara pepohonan. Bayangan itu perlahan muncul, dan akhirnya mereka bisa melihat makhluk itu sepenuhnya.
Makhluk itu sangat besar, dengan tubuh seperti campuran serigala dan reptil. Sisiknya berwarna abu-abu gelap, memantulkan kilauan samar di bawah sinar matahari. Cakarnya panjang dan tajam, dan taringnya yang besar tampak seperti bisa merobek apa saja.
Matanya berwarna merah menyala, seperti makhluk yang mereka lihat semalam, tetapi ini jauh lebih besar dan lebih mengancam.
Sari memegang dadanya, mencoba menenangkan napasnya yang semakin berat. "Apa yang kita lakukan? Kita tidak mungkin bisa melawannya."
Arka tidak menjawab. Ia melangkah maju perlahan, memastikan makhluk itu hanya memusatkan perhatian padanya. "Lari ke sungai, Sari. Sekarang."
Sari ragu sejenak, tetapi akhirnya ia berlari menuju sungai, meskipun matanya terus melihat ke arah Arka.
Makhluk itu menggeram rendah, matanya tajam memperhatikan setiap gerakan Arka. Ia perlahan menundukkan tubuhnya, bersiap untuk menyerang.
Arka berdiri di tempatnya, kakinya membuka sedikit untuk menjaga keseimbangan. Tongkat kayunya dipegang dengan kedua tangan, ujungnya diarahkan ke dada makhluk itu.
"Ayo, kalau kau mau bertarung, datanglah," gumam Arka, meskipun napasnya mulai berat.
Makhluk itu melompat dengan kecepatan luar biasa, cakar depannya meluncur langsung ke arah Arka. Pria itu melompat ke samping, menghindari serangan pertama, tetapi tanah tempat ia berdiri sebelumnya hancur lebur oleh cakaran makhluk itu.
Arka membalas dengan cepat, menusukkan tongkatnya ke sisi tubuh makhluk itu. Namun, sisiknya terlalu keras, dan tongkat itu hanya memantul tanpa meninggalkan luka.
Makhluk itu berbalik, ekornya yang panjang menyapu ke arah Arka. Ia mencoba menghindar, tetapi ekor itu menghantam lengannya, membuatnya terlempar ke tanah.
Rasa sakit menjalar di tubuhnya, tetapi Arka memaksa dirinya untuk bangkit. Ia tahu, jika ia berhenti sekarang, itu akan menjadi akhir baginya dan Sari.
"Tubuh ini… bukan tubuh lama," pikirnya, mengingat kekuatan aneh yang ia rasakan sejak tiba di dunia ini. Ia mengepalkan tangan, mencoba mengumpulkan kekuatannya.
Makhluk itu menyerang lagi, cakarnya meluncur ke arah kepala Arka. Dengan refleks yang tajam, ia menunduk dan mengayunkan tongkatnya ke kaki makhluk itu. Kali ini, serangannya mengenai bagian yang lebih lunak, membuat makhluk itu menggeram kesakitan.
Namun, serangan itu tidak cukup untuk menghentikannya. Makhluk itu berbalik lagi, rahangnya yang besar terbuka, siap mencabik Arka.
Sari, yang bersembunyi di balik pohon di dekat sungai, menyaksikan semuanya dengan mata terbelalak. Tubuhnya gemetar, dan ia merasa tidak berdaya melihat Arka yang terus bertarung dengan makhluk besar itu.
"Aku harus membantu…" pikirnya, tetapi tubuhnya tidak mau bergerak.
Ketika makhluk itu melompat ke arah Arka lagi, pria itu mencoba menghindar, tetapi cakarnya berhasil mengenai bahunya. Darah segar mengalir, membasahi tanah di bawahnya.
"Arka!" teriak Sari tanpa sadar, suaranya penuh kepanikan.
Arka terhuyung, tetapi ia tetap berdiri. Matanya tetap fokus pada makhluk itu, meskipun tubuhnya sudah di ambang batas.
Makhluk itu kembali menyerang, kali ini dengan lebih ganas. Arka tahu ia tidak bisa bertahan lebih lama lagi.
Namun, saat ia hampir terpojok, sesuatu yang aneh terjadi. Angin di sekitar mereka mulai berputar, dan udara terasa lebih berat.
Sari, yang berdiri di kejauhan, merasakan sesuatu yang aneh di tubuhnya. Tangan kanannya mulai terasa hangat, dan cahaya lembut muncul di sekitarnya.
"Apa… ini?" bisiknya, matanya menatap tangannya sendiri dengan kaget.
Makhluk itu berhenti sejenak, seperti merasakan perubahan di udara. Matanya yang merah menoleh ke arah Sari, yang sekarang berdiri dengan tangan bercahaya.
Sari tidak tahu apa yang sedang terjadi, tetapi ia merasakan dorongan yang kuat di dalam dirinya. Semua rasa takut, putus asa, dan kemarahan berubah menjadi kekuatan yang tidak ia pahami.
Ia mengangkat tangannya secara naluriah, dan dari tangannya, muncul semburan angin yang kuat. Gelombang angin itu meluncur dengan kecepatan tinggi, menghantam tubuh makhluk besar itu dan mendorongnya mundur beberapa meter.
Makhluk itu menggeram keras, tetapi serangan itu cukup untuk membuatnya ragu. Ia berdiri di tempatnya selama beberapa detik, sebelum akhirnya memutuskan untuk mundur. Dengan langkah berat, makhluk itu berjalan menjauh, meninggalkan mereka berdua.
Arka terjatuh ke tanah, napasnya terengah-engah. Tubuhnya penuh luka, dan darah mengalir dari bahunya.
Sari berlari ke arahnya, air mata mengalir di pipinya. "Arka! Kau baik-baik saja?"
Arka tersenyum lemah, meskipun wajahnya menunjukkan rasa sakit. "Aku… masih hidup. Itu sudah cukup."
Sari memeluknya erat, meskipun tubuhnya masih gemetar. "Aku pikir aku akan kehilanganmu…"
Arka menepuk punggungnya pelan, mencoba menenangkannya. "Kau menyelamatkan kita. Aku tidak tahu bagaimana, tapi… terima kasih."
Sari mengangguk, meskipun ia sendiri tidak yakin apa yang baru saja terjadi.
Mereka kembali ke tempat perlindungan mereka di bawah pohon besar. Sari membantu membalut luka-luka Arka dengan potongan kain dari bajunya, meskipun ia masih tidak berhenti memikirkan apa yang baru saja terjadi.
Arka akhirnya tertidur karena kelelahan, tetapi Sari tetap terjaga. Ia duduk di dekat api kecil, menatap tangan kanannya yang tadi mengeluarkan cahaya.
"Apa ini? Dari mana kekuatan ini berasal?" pikirnya.
Di kejauhan, suara angin berhembus lembut, membawa aroma tumbuhan bercahaya. Dunia ini masih penuh misteri, dan mereka baru saja memulai langkah pertama mereka di dalamnya.