Chereads / Petualangan di Anuraya / Chapter 1 - LANGIT YANG RETAK

Petualangan di Anuraya

🇮🇩Oniria
  • 7
    chs / week
  • --
    NOT RATINGS
  • 66
    Views
Synopsis

Chapter 1 - LANGIT YANG RETAK

Langit di atas Bumi tidak lagi memantulkan warna biru yang menenangkan. Sebuah retakan besar membelah cakrawala, memancarkan cahaya keunguan seperti luka terbuka yang menjalar perlahan, mengancam menelan segalanya.

Di bawahnya, kota-kota besar yang dulunya menjadi simbol kemegahan peradaban kini berubah menjadi tumpukan puing. Jalanan dipenuhi reruntuhan, udara sesak dengan debu, dan suara gemuruh bangunan yang runtuh terus menggema.

Seseorang berlari melintasi jalanan itu, menghindari runtuhan yang jatuh di sekitarnya. Tubuhnya yang kekar bergerak gesit, meskipun wajahnya menunjukkan kelelahan yang mendalam. Ia berhenti sejenak, menoleh ke belakang, memandang seorang wanita yang mencoba mengikutinya dengan napas terengah-engah.

"Arka, tunggu! Aku tidak bisa…" suara wanita itu terhenti oleh batuk, paru-parunya dipenuhi debu dari runtuhan.

Arka berbalik, matanya yang tajam memandang wanita itu dengan cemas. "Kau harus terus bergerak, Sari. Kita tidak punya waktu!"

Sari, yang rambutnya terurai acak-acakan, mencoba mengatur napasnya. "Arka… apa gunanya?" tanyanya pelan, matanya melirik ke arah langit yang terus retak. "Semua ini sudah berakhir."

Arka mengerutkan alisnya. Ia meraih bahu Sari dengan kedua tangannya, menatapnya dengan tegas. "Kalau memang ini akhirnya, maka kita harus berjuang sampai detik terakhir. Kau tidak sendiri, mengerti?"

Sari terdiam, matanya yang kelelahan menatap mata Arka yang penuh dengan tekad. Ia mengangguk pelan, meskipun tubuhnya terasa seperti ingin menyerah.

"Ayo," kata Arka, menariknya untuk kembali berlari.

Langkah mereka membawa mereka ke sebuah dataran terbuka, tempat reruntuhan gedung pencakar langit menjulang seperti tengkorak yang hancur. Di atas mereka, cahaya keunguan mulai menyebar dari retakan langit, memancarkan kilatan petir yang menghancurkan apa saja yang disentuhnya.

Sari terhenti, matanya terpaku pada retakan yang semakin membesar. Suara gemuruh terdengar semakin keras, seperti ratusan suara kaca yang pecah secara bersamaan.

"Arka… itu…" bisiknya, suaranya gemetar.

Arka menoleh ke atas dan melihat cahaya keemasan yang mulai keluar dari retakan itu. Ia menggertakkan giginya, tahu bahwa tidak ada tempat untuk bersembunyi.

"Sari, sini!" katanya, menarik Sari ke dalam pelukannya.

Cahaya itu semakin terang, menyilaukan mata mereka. Arka mencoba melindungi Sari dengan tubuhnya, tetapi tidak ada yang bisa menghentikan gelombang energi yang datang. Dalam hitungan detik, dunia mereka berubah menjadi putih terang, menyapu semua yang ada di sekitarnya.

Tidak ada lagi suara. Tidak ada lagi Bumi.

Ketika Arka membuka matanya, hal pertama yang ia rasakan adalah udara yang berbeda. Udara itu segar, seperti aroma hutan di pagi hari, tetapi lebih berat. Ia berbaring di atas hamparan rumput lembut yang bercahaya samar dalam warna hijau kebiruan.

Ia duduk perlahan, memeriksa tubuhnya yang terasa aneh tetapi utuh. Ketika ia memandang sekeliling, pandangannya disambut oleh padang luas yang dipenuhi tumbuhan bercahaya, seolah dunia ini tidak mengenal gelap.

Langit di atas mereka memiliki dua matahari: satu besar dan keemasan, sementara yang lainnya lebih kecil dengan warna jingga.

Arka bangkit berdiri, mencoba memahami di mana mereka berada. "Apa ini…?" gumamnya.

"Arka?" suara lemah Sari terdengar dari belakangnya.

Ia segera berbalik dan melihat Sari terbaring di dekatnya, matanya setengah terbuka. Arka berlutut di sisinya, membantu Sari duduk.

"Kau baik-baik saja?" tanyanya.

Sari mengangguk lemah, meskipun wajahnya masih menunjukkan kebingungan. "Di mana kita? Apa… yang terjadi?"

Arka menggeleng, matanya menyapu sekeliling. "Aku tidak tahu. Tapi ini jelas bukan Bumi."

Sari menatap langit, matanya melebar saat ia melihat kedua matahari yang menggantung di cakrawala. "Ini… bukan nyata."

"Tapi kita ada di sini," jawab Arka dengan nada datar. "Kita harus mencari tahu apa yang terjadi dan bagaimana kita bisa bertahan."

Saat mereka berjalan menyusuri padang itu, Arka mulai merasakan sesuatu yang aneh. Tubuhnya terasa lebih ringan tetapi juga lebih kuat, seperti gravitasi dunia ini lebih kecil.

Ia mengepalkan tangan, dan otot-ototnya merespons dengan kekuatan yang mengejutkan. "Tubuhku… ini tidak seperti sebelumnya," katanya pelan.

Sari memandangnya dengan alis terangkat. "Apa maksudmu?"

Arka menunduk, mencoba memahami apa yang ia rasakan. "Aku merasa lebih kuat. Entah bagaimana, tubuhku terasa… berbeda."

Sari merasakan hal yang sama, meskipun ia belum berani mengatakannya. Ketika ia mengangkat tangannya untuk menyentuh daun bercahaya di dekatnya, ia merasakan energi halus yang bergetar di ujung jari-jarinya.

Namun, Sari memilih diam, tidak ingin membahas sesuatu yang belum ia pahami.

Setelah beberapa jam berjalan tanpa arah, Arka dan Sari menemukan tempat berlindung di bawah pohon besar yang akarnya menjalar seperti gua kecil.

Malam mulai tiba, tetapi dunia ini tetap bercahaya. Dua bulan besar muncul di langit, menggantikan matahari. Salah satu bulan memancarkan warna biru lembut, sementara yang lainnya berwarna perak terang.

Arka menyalakan api kecil menggunakan ranting-ranting kering yang mereka temukan. Ia duduk di dekat api, sementara Sari bersandar pada akar pohon dengan tubuh yang lelah.

"Kau pikir… ada orang lain di sini?" tanya Sari pelan.

Arka menatap api, wajahnya serius. "Mungkin. Tapi kita tidak bisa mengandalkan itu. Kita harus bertahan sendiri, setidaknya untuk sekarang."

Sari tidak menjawab, tetapi matanya tetap terbuka, menatap langit yang asing dengan perasaan takut sekaligus kagum.

Di kejauhan, suara samar terdengar—seperti gemerisik di antara semak-semak. Arka segera berdiri, memegang tongkat kayu yang ia runcingkan sebelumnya.

"Ada sesuatu," bisiknya.

Sari memandangnya dengan mata melebar, tetapi tidak berkata apa-apa. Mereka berdua memandang ke arah suara itu, menunggu dalam keheningan.

Dan dunia ini mulai menunjukkan rahasianya.