Chapter 14 - Obelisk

Kabut tebal dan kering menggantung di udara, es-es menempel di wajah dan mencair mereka seperti kain basah. Bau tanah basah dan es menusuk hidung, sementara jarak pandang mereka terbatas hanya beberapa meter ke depan. Bayangan-bayangan aneh menari di tepi penglihatan, membuat setiap langkah terasa waspada. Lorong panjang yang mereka lewati kini berakhir di sebuah pintu besar yang terbuat dari logam hitam pekat. Cahaya merah berdenyut dari celah pintu, memantulkan bayangan yang lebih mengerikan pada dinding batu di sekitar mereka. Energi berat mengalir di udara, membuat setiap napas terasa lebih sulit, seolah ada beban tak kasat mata yang menekan dada mereka.

Sean berdiri diam di depan pintu itu, tangannya menggenggam pedang dengan erat hingga buku-buku jarinya memutih. Ia mencoba mengatur pikirannya yang kacau, tetapi bayangan-bayangan dari ingatan yang tak utuh terus menghantamnya, kilasan wajah Isla, kehancuran yang pernah ia saksikan, dan sesuatu yang terasa begitu nyata di tengah absurditas. Ia merasakan kehadiran yang kuat di balik pintu itu, sebuah kehadiran yang mengancam dan memanggil dalam waktu yang bersamaan.

"Kau merasa sesuatu, bukan?" tanya Aisya, berdiri di sisinya. Suaranya lembut, tetapi penuh perhatian.

Sean mengangguk pelan. "Aku merasa... ini bukan hanya pintu. Ada sesuatu di baliknya. Sesuatu yang sedang menunggu."

Nova mendekat, matanya menyipit saat menatap pintu itu. "Kau tahu apa yang ada di sana, Sean?"

"Aku tidak tahu," jawab Sean jujur. "Tapi aku tahu kita harus masuk."

"Dan kalau itu jebakan?" Nova menantang, nadanya tajam.

"Kalau kita tidak masuk, kita tidak akan pernah tahu," balas Sean, suaranya tegas tetapi tenang.

Cino mendekat dengan langkah ringan, pedangnya terhunus, memantulkan cahaya merah redup. "Baiklah, aku ikut. Apa pun yang ada di balik pintu ini, kita hadapi bersama."

"Jangan ceroboh," kata Arisu, matanya tetap fokus pada simbol-simbol rumit yang menghiasi pintu itu. "Ini bukan sekadar pintu biasa. Energi yang mengalir di sini terasa seperti penahan. Seperti sesuatu yang tidak seharusnya dilepaskan."

Sean mengulurkan tangan, menyentuh permukaan logam yang dingin dan terasa bergetar halus. Cahaya merah dari celah pintu tiba-tiba menjadi lebih terang, hampir menyilaukan. Gema rendah bergema di lorong, seperti suara gong raksasa yang dipukul dari dalam perut bumi.

"Bersiaplah," kata Sean, menarik napas dalam. Ia mendorong pintu itu perlahan, dan suara derit logam yang berat dan berkarat memenuhi udara, bercampur dengan suara gemuruh yang semakin mendekat dari belakang mereka.

Namun sebelum pintu itu terbuka sepenuhnya, suara langkah berat dan gemuruh menggema dari belakang mereka, mengguncang tanah di bawah kaki mereka. Sean berbalik, matanya langsung menangkap siluet pasukan The Depost yang mendekat dengan kecepatan tinggi. Di antara mereka, golem-golem kecil yang terlihat seperti tiruan mecha utara tetapi lebih kecil dan tampak mematikan, dengan duri serta bagian-bagian tajam di tubuhnya, melangkah dengan presisi menakutkan, suara kaki-kaki logam mereka berdentuman di batu.

"Mereka menyusul!" teriak Cino, mengangkat pedangnya. "Bersiap untuk bertempur!"

Nova melangkah mundur, tongkat sihirnya sudah bersinar dengan energi biru pucat. "Kita harus menahan mereka di sini. Kalau tidak, mereka akan menyerbu ke dalam."

Sean mengangguk, matanya menyala dengan tekad. "Aisya, Nova, fokus pada penghalang. Arisu, Cino, dengan aku."

Pertempuran pecah seketika. Salah satu golem, dengan duri-duri tajam mencuat dari bahunya, meluncur ke arah Sean dengan kecepatan yang mengejutkan. Sean menangkis serangan itu dengan pedangnya, suara logam beradu nyaring memecah keheningan. Namun, sebelum ia sempat membalas, dua golem lain melompat dari balik reruntuhan, cakar-cakar mereka terhunus. Sean melompat mundur, menghindari serangan itu dengan susah payah. Setiap kali satu golem tumbang oleh tebasan Cino yang cepat, dua lagi muncul dari kegelapan, seolah tak ada habisnya. Suara dentuman logam dan teriakan bercampur dengan bau ozon dari energi sihir yang dilepaskan Nova dan Aisya. Golem-golem itu bergerak dengan kecepatan dan koordinasi yang mencengangkan, menyerang tanpa henti. Arisu dengan gesit memutar pedangnya, menciptakan pusaran cahaya yang membelokkan serangan-serangan itu. Sementara itu, Aisya dan Nova bekerja sama, menciptakan perisai energi hijau yang berdenyut-denyut, melindungi mereka dari serangan proyektil yang diluncurkan oleh beberapa golem dari kejauhan.

Dengan susah payah, mereka berhasil mendorong pintu logam itu hingga terbuka cukup lebar untuk mereka lewati. Sean memerintahkan Cino dan Arisu untuk menutup pintu secepatnya, menghalangi pasukan The Depost yang masih berupaya menerobos masuk. 

Mereka terhuyung-huyung memasuki ruangan besar yang terbuka di depan mereka, terasa seperti dunia lain. Lantai dan dindingnya terbuat dari logam hitam, tetapi di tengahnya berdiri sebuah benda besar menyerupai obelisk. Energi bercahaya merah mengalir dari retakan di obelisk itu, membentuk lingkaran simbolik di lantai di bawahnya. Aroma logam dan ozon bercampur dengan keheningan yang tiba-tiba, kontras dengan hiruk pikuk pertempuran di luar.

Namun, pemandangan yang langsung menarik perhatian mereka adalah AstaLia. Ia tidak hanya berdiri di sana; ia berdiri dengan satu kaki di atas mayat salah satu anak buahnya sendiri, matanya berbinar gila saat ia menatap obelisk. Beberapa anak buahnya yang lain berdiri di sekitarnya dengan ekspresi takut dan hormat yang bercampur aduk. Noda darah terlihat di pipinya, dan senyumnya bukan senyum biasa, melainkan seringai lebar yang memperlihatkan deretan giginya yang putih dan tajam, seperti predator yang siap menerkam.

"Terlambat," katanya dengan nada tenang yang menakutkan, menjilat darah di pipinya dengan gerakan yang lambat dan disengaja. "Kami sudah di sini."

"AstaLia," Sean mendesis, mengangkat pedangnya sedikit. Ia merasakan hawa dingin merayap di tulang punggungnya, bukan karena udara di ruangan itu, tetapi karena aura yang dipancarkan wanita di depannya. "Apa yang kau lakukan?"AstaLia tertawa pelan, suara yang terdengar seperti gesekan logam berkarat. Ia melompat turun dari mayat itu dengan gerakan ringan, seolah tidak ada beban sama sekali di hatinya. "Sama seperti kalian," balasnya. Matanya berkilat-kilat liar. "Mencari kebenaran. Kunci untuk membuka potensi yang tersembunyi dalam diri manusia. Dengan ini," ia menunjuk obelisk dengan jari yang berlumuran darah, "kami bisa melampaui batasan kami dan menciptakan dunia yang baru. Dunia yang pantas untukku pimpin."

Nova menatap obelisk itu, matanya menyipit. "Apa ini... dari setiap jenis artefak sihir dan jenis kekuatan sihir, tidak pernah disebut benda apa ini?"

AstaLia tersenyum tipis, senyum yang lebih mirip seringai mengejek. "Sumber dari semua yang Mecha-mecha besar diluar sana, ini lebih dari Atherium. dan sebentar lagi semua ini akan menjadi Teknologi kami, kekuatan kami. Kunci untuk membuka potensi yang tersembunyi dalam diri manusia. Dengan ini, kami bisa melampaui batasan kami kemudian menguasai dan menciptakan dunia yang baru. Dunia yang akan tunduk padaku(diam-diam Astalia mencoba menghianati The Depost). Tetapi bahkan aku tidak bisa menyentuhnya. Dan sudahlah pasti orang-orang dungu seperti kalian juga tidak akan bisa." Ia mengusap darah di jarinya ke bajunya, meninggalkan noda merah yang mengerikan.

Sean menatap benda itu dengan mata yang penuh rasa ingin tahu. Langkahnya mendekat perlahan, melewati AstaLia tanpa rasa takut. Ia mengulurkan tangannya, tetapi sebelum ia menyentuhnya, AstaLia berbicara lagi.

"Bodoh sekali, kami sudah mencoba segala cara," katanya, nadanya terdengar hampir kesal, tetapi matanya tetap menunjukkan kegilaan yang tersembunyi. "Kekuatan terbesar kami tidak cukup. Benda itu terbungkus oleh sesuatu yang melampaui dunia ini. Sihir, teknologi, aku tidak tahu. Tapi aku akan memecahkannya, bahkan jika aku harus membunuh setiap orang di ruangan ini untuk melakukannya."

Sean mengulurkan tangannya lebih jauh, menyentuh permukaan obelisk yang dingin dan bertekstur aneh. Tiba-tiba, energi besar mengalir melalui tubuhnya, membuatnya tersentak. Kilatan cahaya putih dan biru memenuhi ruangan, membuat semua orang menutup mata. Dalam cahaya itu, Sean melihat kilasan ingatan yang begitu nyata. Ia berdiri di tempat ini sebelumnya, memegang senjata yang bersinar terang. Suara bergema di pikirannya, suara wanita yang familier namun asing, mengatakan: "Art of Judgment."

Dalam sekilatan cahaya Aisya langsung teringat mimpinya kembali, mimpi yang menunjukan siluet pemuda dan artefak itu, benar-benar persis dengan yang dilihatnya sekarang, Sean adalah pemuda itu sangat nyata seolah Aisya benar-benar terjebak dalam Dejavu. 

Ketika cahaya itu mereda, Sean menarik tangannya, tubuhnya gemetar dan napasnya tersengal. Ia menatap AstaLia dan yang lain, wajahnya penuh kebingungan tetapi juga kepastian yang dingin. "Benda ini…" katanya pelan, suaranya bergetar karena kekuatan yang baru saja mengalirinya. "Ini bukan sekadar teknologi atau sihir. Ini adalah salah satu dari tujuh perangkat Art of Judgment. Alat untuk… mengatur segala dunia."

Nova sang Elf terbelalak mendengar hal itu, seolah memang ada legenda dari tanah elf sendiri yang menyinggung hal itu, keberadaannya bagai legenda dalam legenda bahkan grand grand maseternya Isla yang tahu segalanya hampir tidak pernah mengajarkan hal itu.

Seketika mata AstaLia melebar, bukan hanya karena terkejut, melainkan karena hasrat yang membara. Seringai mengerikan kembali terukir di wajahnya. Ia melompat ke arah Sean dengan kecepatan yang mencengangkan, sebuah belati tiba-tiba muncul di tangannya. Ia berteriak dengan suara melengking, "Kalau begitu, aku akan mengambilnya darimu!"

Refleks Sean bekerja tanpa sadar. Obelisk, yang sebelumnya tak tergoyahkan, kini terangkat dari lantai dengan mudah oleh Sean, seolah benda itu ringan seperti bulu. Energi yang terpancar dari benda itu berubah menjadi gelombang kejut yang melesat ke segala arah, menghancurkan lingkaran simbolik di lantai dan membuat pasukan AstaLia terhuyung mundur. Beberapa dari mereka terlempar menabrak dinding dengan suara keras, tulang mereka remuk.

Energi itu perlahan melayang ke dada Sean dan struktur obelisk berubah perlahan seperti cairan yang membungkus badan Sean kemudian bersatu menjadi armor bercahaya kebiruan di dadanya dan sekujur tubuhnya dialiri kumparan energi bercahaya yang besar dan membara seperti api yang di selimuti gas.

"Ini kekuatannya," kata Sean pelan, tetapi suaranya terdengar seperti menggema di seluruh ruangan, dipenuhi kekuatan yang baru ditemukannya. Dengan obelisk di dadanya, ia mengarahkan ujung jari telunjuknya yang bersarung armor ke pasukan AstaLia yang mulai bangkit kembali. AstaLia sendiri terdorong mundur oleh gelombang kejut pertama, tetapi ia segera bangkit kembali, matanya dipenuhi amarah dan kegilaan.

Gelombang energi meledakkan cahaya sihir obelisk di jari sean, menghantam pasukan The Depost dengan kekuatan dahsyat. Makhluk-makhluk mecha mereka hancur berkeping-keping, dan para prajurit terlempar seperti daun kering di tengah badai. AstaLia berteriak frustrasi, mencoba memberikan perintah kepada pasukannya yang panik, tetapi suaranya tenggelam dalam ledakan dan teriakan.

Melihat kekacauan yang terjadi, AstaLia menggeram, matanya tertuju pada Sean dengan kebencian yang mendalam. Ia menyeringai, menunjukkan giginya yang berlumuran darah salah satu prajuritnya yang terkena pecahan mecha. "Ini belum berakhir," desisnya sebelum berbalik dan melarikan diri bersama sisa pasukannya, meninggalkan ruangan dalam keadaan porak-poranda.

Sean menurunkan obelisk, napasnya berat. Namun, alih-alih melepaskannya, ia memejamkan mata, membiarkan energi dari benda itu mengalir melalui tubuhnya. Dengan satu tarikan napas dalam, obelisk itu kembali ke bentuk asalnya kemudian mulai menyusut, cahaya di permukaannya berkedip perlahan seperti napas yang teratur. Dalam beberapa detik, benda itu mengecil dan berubah mentuk kembali menyelimuti tanga Sean, dan menjadi sarung tangannya.

Ia membuka matanya dan menatap sarung tangan obelisk, lalu menggenggam tangannya dengan erat. Teman-temannya terdiam, menatapnya dengan ekspresi tercengang.

"Kau… mengecilkannya?" bisik Aisya, suaranya penuh ketidakpercayaan.

Sean mengangguk, meskipun ekspresinya tetap penuh kehati-hatian. "Ini belum selesai," katanya pelan, mengangkat pandangannya ke arah pintu yang mulai bergetar kembali oleh serangan dari luar. "Tapi untuk saat ini, kita harus pergi."

Dengan cepat, mereka mulai mundur, meninggalkan ruangan itu di belakang. Tetapi Sean tahu, apa yang baru saja mereka temukan akan mengubah segalanya. Kilasan ingatan tentang dirinya dan Isla, sang elf yang pernah dekat dengannya, mulai terungkap di benaknya. Gambarannya kabur, tetapi cukup untuk membangkitkan rasa kehilangan dan keakraban yang mendalam. Meski dihantui oleh potongan memori itu, Sean memilih diam, merahasiakannya dari yang lain. Ini adalah sesuatu yang harus ia pahami sendiri.