Langit Aerth memancarkan warna kemerahan, seperti kobaran api yang menyebar di cakrawala. Warna itu bukan sekadar fenomena alam; ia seperti peringatan yang diteriakkan dunia, menggema di setiap sudut. Reruntuhan kepala jormungand di bawahnya berdiri diam, menyimpan sejarah yang terlupakan. Puing-puing dinding yang runtuh mencerminkan cahaya merah langit, menambah kesan suram yang membalut suasana. Di tengahnya, Sean berdiri dengan sarung tangan Obelisk melingkar di tangan kanannya, menjadi pusat dari segala ketegangan yang dirasakan di udara.
Energi dari sarung tangan itu mengalir dalam pola garis bercahaya biru dan asap hitam pekat di atas permukaannya, menyala terang redup seolah sarung tangan itu memiliki denyut kehidupan sendiri. Ketika Sean menggenggam tangannya, suara dengung pelan terdengar, menggema seperti nada rendah lonceng yang membuat udara di sekitarnya bergetar. Bau logam terbakar samar menguar dari sarung tangan itu, bercampur dengan aroma debu dari reruntuhan.
Namun, dalam benaknya, Sean menyeringai kecil. Dia memahami mekanisme sarung tangan itu lebih dari yang dia tunjukkan meskipun semakin lama ia mengaktifkannya semakin menyakitkan bagian dalam saung tangan itu mencengkram dan membakar. "Dari dalam teksturmu benar-benar seperti puding ya tapi kadang terasa seperti batu bara aktif yang membara" pikirnya sambil menekan sebuah pola kecil di permukaan sarung tangan, mengontrol aliran energi yang keluar. Tapi dia tak ingin teman-temannya tahu. "Ah, prosedur itu..." siba-tiba benak Sean "lebih baik mereka mengira aku hanya anak malang yang menemukan mainan baru."
"Sean kau baik-baik saja" teriak Cino.
Di kejauhan, Aisya berdiri, terombang-ambing antara ingin mendekat atau tetap menjaga jarak. Rambutnya berkibar terkena angin kering yang membawa serpihan debu dan es. Wajahnya tampak cemas tak karuan akan kemampuan Sean untuk menggunakan sarung tangan itu. "Sean?" tanyanya dengan nada cemas, hampir tenggelam oleh gemuruh halus yang berasal dari sarung tangan.
Sean menoleh perlahan dengan wajahnya yang memimik bingung. "Aku tidak tau, Aisya. Tapi aku merasa... ini bukan hanya alat. Ini seperti bagian dari sesuatu yang lebih besar." Ia mengangkat tangannya, mengamati sarung tangan itu dengan seksama, meski dalam hati ia hampir tertawa melihat ekspresi Aisya. "Energinya berbicara padaku. Tapi aku belum mengerti apa yang dia inginkan."
Nova, sang Elf, melangkah maju dengan langkah anggun yang nyaris tanpa suara. Matanya mengamati sarung tangan di tangan Sean dengan sorot penasaran. "Aku pernah mendengar guruku, Isla, bercerita tentang sebuah tanah legenda yang hanya diketahui sedikit Elf. Manusia bahkan tidak pernah mendengar kisah ini," katanya dengan nada rendah, seperti sedang mengingat sesuatu yang penting.
"Tanah itu, menurut Isla, adalah tempat yang sangat sempurna—langitnya selalu jernih dengan warna biru lembut, airnya memancarkan cahaya perak, dan bunga-bunga bermekaran sepanjang tahun, memancarkan aroma manis yang tidak pernah ditemukan di tempat lain. Tempat itu penuh dengan energi yang melampaui pemahaman kita, seolah setiap jengkal tanahnya memiliki kehidupan sendiri. Isla menggambarkan sebuah lembah di tengah pegunungan yang mengapung, dikelilingi oleh air terjun bercahaya. "Di lembah itu," riwayat Isla dalam cerita Nova, "aku melihat sebuah menara berlapis emas yang memantulkan sinar seperti mentari pagi. Di dalamnya, terdapat ruangan penuh artefak, masing-masing memancarkan energi yang sangat besar, seolah mereka memiliki jiwa."
Nova menatap Sean dengan sorot mata yang tajam. "Kuduga, salah satunya adalah sarung tangan yang memiliki pola cahaya seperti milikmu, Sean."
Sean tersenyum kecil, menahan sesuatu dalam benaknya. "Kau benar, Nova. Tapi aku tidak akan mengatakannya sekarang," pikirnya sambil memasang wajah penuh keraguan. "Aku tidak tahu pasti, tapi aku merasa sarung tangan ini... tidak asing" katanya dengan nada yang tenang.
Dia menatap Sean dengan ekspresi penuh kehati-hatian. "Aku tidak tahu pasti apakah ini artefak yang sama, tapi jika iya, maka Isla mungkin tahu sesuatu tentang asal-usulnya. Kita harus menemukan cara untuk menghubunginya, atau setidaknya mencari jejak yang pernah dia tinggalkan."
Cino, yang berdiri dengan tegap di atas balok reruntuhan, memegang pedangnya dengan sikap tegas dan penuh wibawa. "Jika bukan manusia, siapa yang seharusnya memakainya?" katanya dengan nada tenang namun penuh keyakinan, sorot matanya memperlihatkan kharisma seorang pemimpin yang selalu berpikir jauh ke depan.
Sean menghela napas panjang dengan gaya dramatis. "Aku tidak punya pilihan, Cino. Jika kita tidak menggunakan apa yang kita punya, kita tidak akan pernah menghentikan mecha-mecha itu terus menerus menggunakan energi Obelisk." Sarung tangan itu mulai bersinar terang saat ia mengepalkan tangannya dan saring tangan itu merespon dengan memadat dan mencengkram erat tangan Sean, meski denan wajah sedikit tertekan ia menciptakan aliran energi yang membuat tanah di bawahnya bergetar.
Dalam hati "lumayan menyakitkan juga."
"Sean! Hati-hati!" seru Aisya, melangkah mundur dengan cepat. "Energi itu bisa menghancurkan segalanya jika kau tidak mengendalikannya!"
Nova segera melafalkan mantra pelindung, suaranya lembut namun tegas. Sebuah lingkaran sihir muncul di udara, memancarkan cahaya emas yang meredam energi liar dari sarung tangan itu. "Kendalikan emosimu, Sean! Sarung tangan itu merespon perasaanmu. Semakin kau tidak stabil, semakin besar ia akan mengambil kendali dan menyakitimu."
Sean memejamkan mata, berusaha menenangkan dirinya, meski sebenarnya dia mengontrol semuanya dengan presisi. Energi liar itu perlahan mereda, meski masih terasa mengalir deras seperti arus sungai yang tak berhenti. Nafasnya perlahan kembali teratur. "Baik," ujarnya. "Aku akan belajar mengendalikannya. Tapi aku butuh kalian semua. Kita harus bekerja bersama untuk mencari tahu cara menggunakan ini dengan benar."
sementara sedari tadi Arisu terus menatap Sean dengan dingin dan penuh curiga dari kejauhan, wajahnya seperti melihat jutaan raksasa mecha yang sangat kuat terkompres menjadi sekecil sarung tangan dan dapat digunakan oleh manusia biasa. perasaan tidak karuan menyelimputinya takjub, takut, atau was-was, semua itu membingungkan Arisu.
Perpustakaan Archaia
Nova mengangguk, matanya penuh keyakinan. "Jika kau ingin memahami sarung tangan itu, Perpustakaan Archaia dalam legenda Elf lokasinya berada di sekitar gurun pasir timur tengah tempat yang tidak tersentuh oleh Party barat walau secara geografis sangat dekat dengan mereka. Di sana ada catatan kuno tentang artefak kuno dan penjelasan energi sejenis. Tapi perjalanan itu tidak akan mudah. Kita harus melewati hamparan gurun pasir yang sangat luas dan wilayah para bandit."
Cino berdiri, menyandang pedangnya "Mengetahui cara kerja benda ini memang penting" ujar Cino "Tapi kita terlalu lama meninggalkan regu Healer EstoMido dan Nusa, di kekaisaran utara" lanjutnya
Aisya, meski masih terlihat cemas, tersenyum tipis. "Betul ada baiknya kita kembali dulu, kita tidak tau persis sejauh apa sudah mecha-mecha itu menghancurkan kota. Tapi Sean, sebelum kembali, berjanjilah untuk tidak memaksakan diri. Jika sesuatu terasa salah, kau harus memberitahu kami."
Sean mengangguk dengan dramatis, sambil menyelipkan senyum kecil. "Tenang saja, aku tidak akan melakukan sesuatu yang berbahaya Aisya."
"lebih mudah jika kita menemui Isla" bisik Nova dengan suara kecil
Go Back
Meninggalkan reruntuhan kepala Jormungand, mereka mulai menuruni puncak gunung. Cino berjalan di depan dengan tongkat dan jubah tahan dingin dia menerobos es-es yang masih putih gemilang di baluri cahaya jingga dari matahari yang terbenam, Sean tangannya sesekali mengepal untuk merasakan tekanan panas dan aliran energi dari sarung tangan. Di belakangnya, Nova terus melafalkan mantra pelindung, menciptakan kehangatan di tengah udara dingin. Angin menerpa wajah mereka, membawa suara-suara samar seperti bisikan dari masa lalu."Kalian tahu," kata Cino, memecah keheningan. "Aku heran bagaimana kita sampai sejauh ini tanpa ada yang terluka parah. Rasanya seperti kita dilindungi oleh sesuatu."
Nova menjawab tanpa menoleh. "Ya tentu saja, Cino, kau tidak menyadari ya sihir Aisya yang selalu aktif melinduni kita."
Tawa kecil terdengar dari Aisya, meski tangannya tetap siaga di gagang pedang. Sean hanya tersenyum kecil sambil melirik sarung tangan di tangannya sambil berjalan dengan langkah santai menuju ke ibu kota kekaisaran, memeriksa kota porak poranda, dengan searangan The Despot yang sangat besar mengarah ke kaisaran Utara dan sudah mengepung wilayah party Timur. kekacauan yang meluas sedang menanti mereka ditambah sisa-sisa mecha yang masih mungkin bersembunyi disuatu tempat mempelajari dan menyusun rencana baru untuk menyerang. Apakah Utara dan Timur akan runtuh? bagaimana cara Sean menggunakan sarung tangan itu yang terus-menerus meremukkan dan membakar tangannya setiap kali digunakan? masih banyak hal tersembunyi di Kekasiaran utara yang terkubur dibawah salju, Sean dan kawan-kawan hanya menunggu sampai saat itu tiba atau menghancurkannya sebelum api terlalu besar.