Langit Timur memancarkan rona merah kelam. Rembulan pucat bersembunyi di balik asap tebal yang membumbung tinggi, seperti tirai kematian yang menyelimuti kerajaan terakhir Timur. Sean berdiri diam, mengamati reruntuhan gerbang besar yang kini hancur menjadi tumpukan puing. Bau anyir darah bercampur debu dan abu menyergap hidungnya, memaksa pikirannya kembali pada masa-masa ketika gerbang itu berdiri gagah, simbol keagungan yang tak tergoyahkan.
"Kita terlambat," desis Sean, suaranya lebih seperti bisikan. Tangannya menggenggam gagang pedang begitu erat hingga buku-bukunya memutih. Ia tidak mengalihkan pandangannya dari kehancuran di depan, seolah-olah memaksa dirinya untuk menerima kenyataan ini.
Cino, berdiri di sampingnya, menarik napas panjang, mencoba menahan gemuruh emosinya. "Kerajaan ini… jika jatuh, maka tamatlah kita. Tidak ada lagi tempat untuk bertahan." Ia menunjuk istana di kejauhan, yang dikepung pasukan Barat seperti sarang lebah yang bergemuruh.
Di belakang mereka, Arisu melangkah maju. Topi Breton hitamnya sedikit miring, dan bekas luka di pipinya memerah dalam cahaya rembulan. Ia menyipitkan matanya ke arah reruntuhan. "Mereka pasti tahu ini benteng terakhir kita. Mereka tidak akan berhenti sampai semuanya rata dengan tanah."
Kilauan armor pasukan Barat terlihat seperti aliran sungai logam yang mengalir ke setiap sudut kota. Di atas bukit kecil, sosok Euro terlihat tegak di atas kudanya yang hitam pekat, wajahnya seperti pahatan dingin tanpa emosi. Tatapan itu menusuk Sean, membawa kilatan memori yang sudah berusaha ia kubur — pertarungan mereka sebelumnya, di mana Euro menghina setiap usaha Sean untuk melawan.
"Kita harus bertindak sekarang," suara EstoMido memecah keheningan. Tangannya menggenggam tombak besar yang sudah ternoda darah. "Jika kita menunggu lebih lama, mereka tidak akan menyisakan apa pun untuk kita."
"Tapi menyerang langsung itu bunuh diri," Arisu menyela, matanya tetap fokus pada pergerakan musuh. "Mereka punya keunggulan jumlah. Kita harus pintar."
Sean mengalihkan pandangannya ke arah reruntuhan. Ia mengingat sesuatu. "Ada jalur bawah tanah. Dulunya digunakan untuk evakuasi. Jika jalur itu belum ditemukan, kita bisa masuk ke istana dari sana."
Cino mengangguk. "Baik. Kalau begitu, kita bergerak sekarang. Nova, siapkan regu healer untuk berjaga di belakang. Kita mungkin akan membutuhkan mereka."
Dari arah belakang, gemuruh berat terdengar, disusul cahaya merah menyala yang membelah malam. Sean menoleh cepat, matanya menyipit saat ia melihat bayangan besar muncul di atas bukit kecil. Mesin-mesin raksasa berbentuk humanoid dengan lapisan baja hitam bergerak mendekat, kaki mereka menghentak tanah dengan kekuatan yang membuat bumi bergetar.
"Mecha," desis Arisu, suaranya penuh ketegangan. Bekas luka di pipinya tampak lebih mencolok dalam cahaya yang memantul dari baja musuh. "Mereka membawa mecha ke medan ini? Itu bukan sesuatu yang biasa mereka gunakan di perbatasan."
EstoMido menggenggam tombaknya lebih erat, matanya memperhitungkan jarak. "Kalau begitu kita harus bergerak cepat. Jika kita terjebak di sini, mereka akan menghancurkan kita bahkan sebelum kita mencapai garis depan."
Cino mengangguk cepat, wajahnya tetap tenang meskipun ketegangan terlihat jelas di matanya. "Nova, pastikan regu healer tetap di belakang. Sean, kita harus membuka jalan ke barisan utama musuh sebelum mereka mengepung kita sepenuhnya."
Sean mengangguk, tetapi pikirannya tertuju pada sarung tangan Obelisk yang ia kenakan di tangan kirinya. Kekuatan besar yang tersembunyi di dalamnya seperti berdenyut, memanggil untuk digunakan. Namun, ia tahu risiko yang menyertainya — kekuatan itu hanya bisa digunakan sekali sebelum tubuhnya melemah parah. Pilihan sulit itu menghantamnya.
Saat mecha mendekat, Sean mengangkat sarung tangan Obelisk ke udara, cahaya biru menyala dari rune yang terukir di permukaannya. "Mundur!" teriaknya kepada yang lain. Arisu dan EstoMido segera melompat ke samping.
Dengan satu gerakan, Sean menghantamkan tinju bersarung itu ke tanah. Sebuah gelombang energi besar menyebar, menghancurkan mecha terdekat dan melemparkan sisanya mundur. Ledakan itu menggetarkan bumi, menciptakan lubang besar di tengah medan perang.
Namun, efeknya segera terasa. Sean jatuh berlutut, mencengkeram lengannya yang kini berdenyut hebat dengan rasa sakit. Sarung tangan itu tampak pudar, kehilangan cahayanya.
"Sean!" Cino berteriak, berlari menghampirinya.
"Aku tidak apa-apa," gumam Sean, meskipun keringat dingin membasahi dahinya. "Aku tidak bisa menggunakannya lagi untuk sementara waktu. Kita harus cepat… serang mereka sekarang sebelum mereka bangkit lagi."
Denting pertama terdengar saat EstoMido melompat ke depan, tombaknya menghantam perisai energi salah satu mecha. Kilatan api membumbung ke udara, membuat bayangan besar mecha itu terlihat semakin mengancam. Sean dan Arisu bergerak cepat di kedua sisinya, menebas kaki-kaki baja dengan serangan presisi, mencoba menciptakan celah untuk meloloskan diri.
"Jangan berhenti bergerak!" teriak Cino, suaranya memecah kekacauan. "Tujuan kita ada di depan. Jangan biarkan mereka memancing kita bertarung terlalu lama di sini!"
"Aku pernah lewat sini dulu," Sean berbisik, suaranya terdengar serak. "Waktu itu… saat Barat pertama kali menyerang. Aku lari untuk menyelamatkan diri."
Arisu berjalan di belakangnya, melirik dinding-dinding sempit itu dengan waspada. "Jalur seperti ini mudah dijebak. Kau yakin mereka tidak tahu?"
Sean menghentikan langkahnya sejenak. Ia menoleh, menatap lurus ke arah Arisu. Matanya menyiratkan kelelahan yang dalam, tetapi juga tekad. "Aku tidak yakin," jawabnya, jujur. "Tapi jika kita terus berdiri di luar, kita tidak akan punya peluang sama sekali."
Langkah mereka dilanjutkan, tetapi ketegangan semakin tebal. Suara langkah kaki berat tiba-tiba terdengar dari atas. EstoMido memberi isyarat agar mereka berhenti. Semua menahan napas, mendengar dengan saksama. Suara itu semakin mendekat, diikuti oleh suara tawa kecil yang dingin.
"Mereka tahu kita di sini," bisik Arisu, suaranya hampir tak terdengar. Tangannya meraih gagang pedangnya, siap bertarung.
"Bersiaplah," ujar Cino pelan, tetapi nada suaranya penuh perintah.
Tiba-tiba, pintu jebakan di ujung lorong terbuka. Cahaya terang menyilaukan mata mereka, dan prajurit Barat melompat masuk dengan senjata terhunus. Sean bergerak cepat, pedangnya beradu dengan pisau musuh dalam dentingan keras. EstoMido segera maju, tombaknya berputar seperti badai, menghalau beberapa musuh sekaligus. Di belakang, Nova memimpin para healer untuk merawat yang terluka tanpa menunda sesaat pun.
"Mereka terlalu banyak!" seru Arisu, suaranya mulai menunjukkan nada marah.
"Kita tidak punya pilihan untuk mundur!" balas Sean, menggertakkan giginya saat pedangnya menghantam tameng musuh. Darah menetes dari luka di lengannya, tetapi ia tidak peduli. Ia bertarung dengan intensitas yang hanya dimiliki seseorang yang tahu bahwa ia tidak bisa kalah.
Di tengah hiruk pikuk itu, suara tawa dingin menggema, membuat semuanya berhenti sejenak. Euro muncul di pintu jebakan, wajahnya dihiasi senyum tipis yang penuh ejekan. "Kau selalu membuat segalanya lebih menarik, Sean," ujarnya, seperti sedang menyapa teman lama.
Sean membeku sesaat. Kenangan menghantamnya seperti gelombang — penghinaan Euro, kekalahan terakhirnya. Tetapi kali ini, matanya tidak lagi dipenuhi keraguan. Ia mengangkat pedangnya, menunjuk langsung ke arah Euro. "Aku tidak akan membiarkanmu menang lagi."
Euro melangkah turun perlahan, pedangnya berkilauan di bawah cahaya obor. "Ayo, tunjukkan padaku apa yang telah kau pelajari. Aku harap kau lebih baik dari sebelumnya."
Denting pedang mereka memecah udara, memenuhi lorong sempit dengan suara perang pribadi yang intens. Sean menahan setiap serangan Euro dengan susah payah, tetapi ia tidak mundur. Wajah Aisya melintas dalam pikirannya, menguatkan tekadnya.
Di belakang, Cino memimpin kelompok lainnya lebih dalam ke lorong. "Kita harus maju! Sean, kami akan menunggumu di aula utama!" teriaknya.
Sean hanya mengangguk sekilas. Matanya tidak pernah lepas dari Euro. "Kali ini, aku akan menghentikanmu."
Euro tersenyum lebar, tatapannya seperti pisau tajam. "Kita lihat siapa yang akan berdiri di akhir, Sean."