Chapter 18 - Haytya

Setelah cahaya yang terang benderang itu mengitari Aerth, perlahan setiap gambaran dari isi dunia itu mulai muncul lagi dalam kontras yang jelas, tapi kali ini semuanya terlihat berbeda, perang yang tadinya berkecamuk di proyeksi tiba-tiba menghilang, bahkan semua orang menghilang, menyisakan struktur geografi sempurna, hamparan rumput yang luas, pepohonan, sungai yang kembali mengalirkan air yang jernih dan udara yang nampak bersih.Isla melangkah mundur perlahan, dengan gerakan patah-patah, gemetar, gugup, dan panik. Kakinya nyaris tersandung akar pohon yang mencuat diantara lantai, membuat beberapa pealatan ringkih di bawahnya berdesir bertabrakan seperti panci yang jatuh. Pandangannya terpaku pada sosok Sean, matanya dipenuhi rasa penasaran yang bercampur dengan sedikit ketakutan. Cahaya matahari yang menerobos celah ruangan menerangi wajah Sean, namun baginya kali ini, sorot mata pria itu terlalu sulit dibaca.

"A, apa yang terjadi?" dengan suara gemetar Isla menyuarakannya "Sean, siapa kamu sebenarnya?" suara Isla pecah di udara, nyaris seperti bisikan tertahan.

Sean menatapnya dengan tenang, seolah pertanyaan itu sudah ia tunggu sejak jauh-jauh hari. Ia menarik napas dalam, pandangannya melayang ke kejauhan, seperti sedang memanggil kembali ingatan yang lama terkubur.

"Asalku dari tempat yang mungkin sulit kamu bayangkan," kata Sean akhirnya. Suaranya rendah, hampir berbisik, namun setiap katanya penuh makna. "Tempat itu… tempat yang selalu kusebut sebagai tanah air adalah keajaiban yang terselubung dari dunia ini. Sebuah tempat yang menyediakan segalanya."

Isla menahan napas. Tubuhnya yang semula tegang perlahan dan perlahan mulai melunak, tapi rasa ingin tahunya semakin membara seperti kucing yang akan segera mati jika tidak diberi makan. Mulutnya diam seribu bahasa, tidak berkata apa-apa, hanya menatap Sean dan hanya Sean yang terpantul di pupil matanya yang melebar gemetar, ia menanti jawaban dengan waswas dan ancang-ancang antisipasi.

"Tempat itu berada di puncak tertinggi sebuah lembah yang tersembunyi," Sean mulai bercerita. "Tanah airku atau yang sering di sebut orang sana juga dengan nama Haytya. Langit di sana selalu cerah, dengan warna biru yang begitu jernih seolah dunia baru saja diciptakan. Awan-awan putih menggantung rendah, melayang seperti kapas raksasa yang bisa kau sentuh jika berdiri di bukit tertinggi, bulan purnama yang begitu sempurna juga selalu menggantung siang hari di tepi cakrawalanya."

Sean menggeser langkah, mendekati Isla, tetapi tetap menjaga jarak agar tidak membuatnya merasa terancam. Ia melanjutkan dengan suara yang lebih lembut. "Di Haytya, bunga-bunga bermekaran sepanjang tahun. Mawar berwarna ungu muda muda dengan embun jiwa membuatnya terlihat sangat segar, lili emas yang berkilauan, dan bunga liar yang menyala seperti permata menghiasi setiap sudut. Angin membawa aroma manis yang tak pernah berubah, seperti campuran madu, melati, dan sedikit wangi segar embun pagi."

Isla terdiam, terpaku pada kisah Sean yang membuat tempat itu terasa begitu nyata dalam pikirannya.

"Ada sungai kristal yang mengalir tenang di tengah lembah itu," lanjut Sean. "Airnya sebening kaca, memantulkan cahaya matahari sehingga permukaannya berkilauan seperti berlian, terlbeih rasa sungainya lebih manis dari madu, dan lebih enak dari arak manapun. Jika kau merendam tanganmu di sana, kau akan merasa seolah dunia sedang memelukmu dengan kelembutan yang tak tergambarkan."

Sean berhenti sejenak, membiarkan kata-katanya menggantung di udara. Mata Isla melebar penggambaran itu benar-benar dibayangkannya, sampai ketika menyadari bahwa ia nyaris lupa bernapas.

"Dan langit malam di Haytya," Sean melanjutkan dengan nada yang penuh rasa kagum. "Langitnya benar-benar lebih luas dan dipenuhi bintang yang lebih banyak dari yang pernah kau lihat di dunia ini. Mereka bersinar terang, membentuk pola-pola yang hanya bisa diartikan oleh mereka yang mengerti bahasa alam. Dan di tengah malam, cahaya hijau dan biru muda aurora akan menari di atas cakrawala, seolah-olah tuhan sedang melukis ketidak terbatasan sebuah makna keindahan."

Isla menelan ludah, dadanya terasa sesak oleh bayangan tempat yang begitu indah, namun juga terasa begitu jauh dan tidak nyata. "Bagaimana bisa ada tempat seperti itu? Mengapa… mengapa aku tidak pernah mendengarnya?" tanyanya dengan suara serak.

Sean tersenyum kecil, tapi senyumnya itu lebih menyerupai ekspresi melankolis. "Karena Haytya tidak untuk semua orang. Tempat itu tersembunyi, terlindungi dari orang-orang berdosa. Tidak semua orang dapat menemukannya, Isla, dan bahkan jika mereka menemukannya-" Sean terdiam sejenak, "Siapapun yang berhasil masuk kesana, segala keinginan duniawinya akan terkabul tanpa batas, Tempat segala kenikmatan berada[walau orang asli sana tidak terlalu memilki keinginan(batin Sean)]" 

Isla merasakan hawa dingin berhembus menjalar di kulitnya meskipun sinar matahari masih menerpa wajahnya. Ada sesuatu dalam nada Sean yang membuatnya merasa tempat itu tidak hanya indah, tapi juga menyimpan misteri besar.

"Kau berasal dari sana?" bisik Isla, matanya mencari-cari kebenaran di wajah Sean.

Sean tidak langsung menjawab. Ia menatap Isla dengan pandangan yang penuh beban, seolah mencoba memutuskan seberapa banyak yang bisa ia ungkapkan. Akhirnya, ia hanya berkata, "Ya, aku berasal dari sana. Tapi sekarang aku di sini, di dunia ini, dan alasanku ada di sini… masih belum selesai."

"Alasanmu?" Isla menggigit bibir, jantung berdegub kencang gugup bercampur rasa ingin tahu. "Apa yang kau cari?"

Sean tidak menjawab langsung, tetapi pandangan matanya yang redup mengisyaratkan bahwa jawabannya lebih rumit daripada yang bisa ia ungkapkan saat ini. Ia hanya berkata pelan, "Menegakkan kebenaran."

Mendengar hal itu Isla terdiam dalam jeda, seolah sedang mencerna dan mengelola segala informasi, "tanah mu itu... benar-benar terdengar seperti... legenda..." ucap nya masih terkaku

"legenda mistis, tanah mistis legendaris..." sambung Isla mengangkat wajahnya dan menatap mantap Sean

"woow julukan yang bagus, kupikir kau akan menyebutnya sebagai sesuatu yang lain tadi." balas Sean dengan wajah menyeringai. Sean kemudian menatap Isla dengan pandangan yang lebih serius. "Tapi ini baru awal. Jika kau ingin tahu lebih banyak, kau harus bersiap. Cerita ini belum selesai, Isla. Kita baru memulai perjalanan yang sesungguhnya."