Chereads / Penyamar Dari Tanah Legendaris Mistik / Chapter 13 - Bayangan Kebenaran

Chapter 13 - Bayangan Kebenaran

Langkah mereka membawa keheningan yang menyesakkan saat kelompok itu menyusuri lorong batu yang membentang panjang di depan mereka. Dinding di sekitar mereka bercahaya redup dengan simbol-simbol hijau yang tampak berdenyut seperti jantung. Suara napas berat dan gemerisik kaki di atas salju beku menjadi satu-satunya hal yang menemani perjalanan mereka.

Sean berjalan paling depan, tubuhnya tegang. Setiap langkahnya terasa berat, bukan karena lelah fisik, tetapi oleh sesuatu yang lebih dalam. Energi yang memancar dari tempat ini seolah menggerogoti pikirannya, memunculkan bayangan-bayangan samar yang tak bisa ia pahami. Ia melihat kilasan dirinya berdiri di tengah aula besar, pilar bercahaya memancar di sekitarnya, dan suara gemuruh memanggil namanya.

"Sean," suara Nova memotong lamunannya, "kau yakin ini jalannya?"

Sean tidak menjawab langsung. Ia hanya mengangguk tanpa menoleh, matanya tetap terpaku ke depan. Lorong itu berakhir di sebuah ruangan besar yang dindingnya menjulang tinggi. Di tengah ruangan berdiri sebuah pilar besar, bercahaya hijau terang, simbol-simbolnya jauh lebih rumit daripada yang mereka lihat sebelumnya. Pilar itu tampak hidup, denyut cahayanya menyelaraskan diri dengan energi di ruangan.

Cino menghela napas panjang, meletakkan tangan di pinggangnya. "Ya ampun, tempat ini makin aneh saja. Kau tahu apa itu, Sean?"

Sean mendekati pilar itu perlahan, hampir seperti ia tertarik oleh kekuatan tak terlihat. Tangannya terulur, jari-jarinya hampir menyentuh permukaan pilar yang bercahaya. Namun, saat jarinya mendekat, gelombang energi menyentak tubuhnya, membuatnya mundur selangkah. Kilasan ingatan menyerang, lebih tajam dari sebelumnya.

Ia melihat dirinya memegang pedang bersinar, dikelilingi sosok-sosok yang berlutut dalam keheningan. Di belakang mereka, ada kehancuran besar, api yang melalap dunia, dan suara—suara itu lagi, memanggilnya, menyebutnya "Pengadil."

Sean menarik napas tajam, matanya membelalak. "Aku pernah di sini," gumamnya pelan, hampir tak terdengar.

"Apa maksudmu?" tanya Aisya, matanya penuh kekhawatiran. Ia melangkah mendekat, tetapi tetap menjaga jarak dari pilar itu.

Sean tidak menjawab langsung. Ia menatap teman-temannya, satu per satu. Wajah mereka menunjukkan campuran rasa penasaran, khawatir, dan kewaspadaan. "Aku tidak tahu pasti. Tapi tempat ini... ada hubungannya dengan masa laluku."

"Jadi kau akhirnya mengaku," Nova berkata dengan nada datar. "Kau tahu lebih banyak dari yang kau katakan."

"Bukan seperti itu," Sean membalas, suaranya rendah tetapi tegas. "Aku tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi. Setiap kali aku mencoba mengingat, itu seperti menatap cermin yang retak. Aku melihat potongan-potongan, tetapi tidak pernah utuh."

Cino melipat tangan di dadanya, mencoba mengurangi ketegangan. "Yah, kalau ini punya jawaban untukmu, kurasa kita semua ingin tahu juga. Terutama tentang apa yang kau sembunyikan."

Sean membuka mulut untuk menjawab, tetapi gemuruh besar menghentikannya. Tanah di bawah mereka bergetar, dan dinding-dinding ruangan mulai bersinar lebih terang. Dari ujung ruangan, sebuah pintu besar yang sebelumnya tersembunyi mulai terbuka perlahan, memperlihatkan lorong lain yang lebih gelap.

"Kau menyentuh sesuatu, Sean?" tanya Nova dengan waspada, tangannya sudah bersiap memanggil sihir.

"Aku tidak menyentuh apa pun," jawab Sean cepat, meskipun ia sendiri tidak yakin.

Dari lorong gelap itu, suara langkah berat bergema, seperti sesuatu yang besar dan penuh amarah mendekat. Cahaya merah mulai muncul di balik kegelapan, disertai suara mendesing yang menusuk telinga. Semua orang bersiap, jantung mereka berdegup kencang.

Makhluk itu muncul dari lorong, tubuhnya raksasa, lebih besar daripada penjaga yang mereka hadapi sebelumnya. Logam hitam menyelimuti tubuhnya, dengan mata merah menyala seperti bara api. Kedua lengannya membawa senjata besar yang tampak memancarkan energi biru terang.

"Baiklah, ini jelas bukan teman," gumam Cino sambil mengangkat pedangnya. "Siapa yang mau mulai?"

Makhluk itu tidak memberi mereka waktu untuk berdebat. Ia melompat maju dengan kecepatan mengejutkan, menyerang dengan senjata besar yang menghantam lantai, menciptakan gelombang kejut yang melemparkan semua orang ke belakang.

"Pecah!" teriak Sean, menggulingkan tubuhnya untuk menghindari serangan lanjutan. Ia menghunus pedangnya, menyerang ke arah sendi makhluk itu. Namun, bilah pedangnya hanya meninggalkan goresan kecil di lapisan logam yang tebal.

"Armor mereka lebih kuat!" seru Sean. "Cari titik lemah!"

Aisya meluncurkan gelombang energi hijau ke arah makhluk itu, mencoba melumpuhkannya. Untuk sesaat, makhluk itu terhenti, tetapi ia segera kembali bergerak, kali ini dengan lebih agresif.

Nova mengangkat tongkat sihirnya, menciptakan perisai pelindung saat makhluk itu meluncurkan proyektil energi biru ke arah mereka. Ledakan besar mengguncang ruangan, membuat dinding-dinding bergetar.

"Dia belajar dari kita!" seru Nova, matanya membelalak. "Mahluk yang terus menerus beradaptasi, Serangan kita hanya membuatnya lebih pintar!"

Sean menyipitkan mata, memperhatikan gerakan makhluk itu. Matanya beralih ke pilar yang masih bersinar di tengah ruangan. Ia menyadari sesuatu. "Energinya terhubung ke pilar itu!" katanya dengan suara tegas. "Kita harus memutuskan hubungan mereka!"

"Apa kau yakin itu ide yang bagus?" teriak Nova, mencoba mengalihkan perhatian makhluk itu dengan serangan sihir kecil.

"Tidak, tapi kita tidak punya pilihan lain!" balas Sean, berlari menuju pilar.

Makhluk itu berusaha mengejar, tetapi Cino dan Arisu melompat maju, menghalanginya dengan serangan fisik dan sihir. Sean mencapai pilar, merasakan gelombang energi yang kuat mengalir melalui tubuhnya. Kilasan ingatan kembali menyerangnya—keputusan besar, kehancuran, dan suara yang terus memanggilnya sebagai Pengadil.

"Apa pun ini," gumam Sean, "kau tidak akan mengendalikannya lagi."

Ia meletakkan tangannya di pilar, memfokuskan seluruh energinya. Cahaya hijau yang memancar dari pilar itu berubah menjadi lebih terang, hampir menyilaukan. Makhluk itu mengeluarkan raungan keras, tubuhnya mulai bergetar hebat.

"Sekarang, Aisya!" teriak Sean.

Aisya mengumpulkan seluruh energi ke pedangnya, mengayun dan meluncurkan serangan terakhir yang menghantam inti makhluk itu. Dalam ledakan besar, tubuh makhluk itu hancur menjadi serpihan logam yang berhamburan di seluruh ruangan.

Saat semuanya tenang, Sean berdiri di depan pilar, napasnya terengah-engah. Teman-temannya mendekat, wajah mereka penuh dengan pertanyaan yang belum terjawab.

"Jadi, apa yang sebenarnya terjadi?" tanya Nova, nadanya lebih lunak tetapi tetap ingin tahu.

Sean menatap pilar itu, lalu memandang teman-temannya. "Aku tidak tahu semua jawabannya," katanya pelan. "Tapi aku tahu ini baru permulaan. Jawaban yang kita cari ada di bawah sana."

Semua mata beralih ke lorong gelap di mana pintu besar kini terbuka sepenuhnya, memperlihatkan jalan menuju sesuatu yang lebih dalam dan lebih gelap. Mereka tahu, langkah berikutnya akan membawa mereka lebih dekat pada kebenaran—dan bahaya yang jauh lebih besar.

Di Ambang Keputusan

Keheningan menggantung di udara saat kelompok itu berdiri di depan lorong yang baru terbuka. Cahaya merah yang menyala dari dalam lorong menciptakan bayangan panjang di lantai, seolah-olah mengintip ke dunia yang jauh lebih dalam dan kelam. Energi di ruangan itu terasa berubah, lebih berat dan menekan, seperti ada sesuatu yang sadar akan kehadiran mereka.

Sean berdiri paling depan, napasnya terdengar teratur meskipun ada kegelisahan di matanya. Ia menatap lorong itu dengan intensitas yang sulit dijelaskan, seperti seorang pria yang menghadapi bayangan dirinya sendiri. Di belakangnya, teman-temannya saling bertukar pandang, masing-masing mencoba memahami apa yang baru saja terjadi.

"Apa yang kau lihat tadi?" tanya Nova, nadanya lebih tajam dari biasanya. Ia melangkah mendekat, tatapannya penuh dengan rasa ingin tahu dan sedikit kecurigaan. "Kau menyentuh pilar itu, dan kemudian makhluk itu kehilangan kendali. Apa hubungannya denganmu, Sean?"

Sean tidak langsung menjawab. Ia menarik napas dalam, matanya masih terpaku pada lorong gelap di depannya. "Aku tidak tahu semuanya," katanya akhirnya, suaranya rendah dan nyaris tenggelam di antara gema ruangan. "Tapi aku merasa tempat ini... terhubung denganku. Dengan sesuatu yang lebih besar dari apa yang aku ingat."

"Tempat ini terhubung denganmu?" Nova mengulang, suaranya terdengar skeptis. "Jangan coba mengelak, Sean. Kau tahu lebih banyak dari yang kau katakan."

"Nova, cukup," potong Aisya. Ia melangkah maju, berdiri di samping Sean. Wajahnya lembut tetapi tegas. "Dia tidak berbohong. Kita semua tahu bahwa Sean berbeda. Tapi dia juga mencari jawaban, sama seperti kita."

Cino tertawa kecil, mencoba meredakan ketegangan. "Kalau begitu, mari kita anggap ini bagian dari petualangan besar kita. Lagi pula, siapa yang tidak suka dengan sedikit misteri?"

Namun, Arisu tetap diam. Matanya menyapu ruangan, memeriksa setiap sudut dengan tatapan analitis. "Kita tidak bisa diam di sini terlalu lama," katanya akhirnya. "Apa pun yang ada di bawah sana, kita harus siap."

Mereka melangkah ke lorong itu satu per satu, menyusuri jalan yang gelap dan sempit. Dinding-dinding di sekitar mereka tampak berdenyut dengan cahaya merah, seperti napas dari makhluk raksasa yang sedang tidur. Setiap langkah mereka menggema, menciptakan suasana yang semakin mencekam.

Sean berjalan paling depan, tubuhnya tegak meskipun pikirannya penuh dengan kekacauan. Kilasan ingatan terus bermunculan di pikirannya—bayangan dirinya berdiri di tengah aula besar, suara yang memanggilnya sebagai Pengadil, dan kehancuran yang menyebar di belakangnya. Namun, ada sesuatu yang tidak ia mengerti, sesuatu yang terasa salah.

"Apa yang sebenarnya kau pikirkan, Sean?" tanya Aisya dengan lembut. Ia melangkah di sampingnya, matanya memandangnya dengan penuh perhatian.

Sean menggeleng pelan. "Aku tidak tahu, Aisya. Semuanya terasa... kabur. Seperti potongan teka-teki yang tidak cocok."

"Kalau begitu, kenapa kita ada di sini?" Nova memotong, suaranya penuh frustrasi. "Kau memimpin kita ke dalam tempat yang penuh bahaya, tetapi kau sendiri tidak tahu apa yang sedang kita hadapi!"

Sean berhenti, menoleh ke Nova. Tatapannya dingin tetapi tidak marah. "Karena aku merasa jawabannya ada di sini," katanya tegas. "Aku tahu itu tidak masuk akal. Tapi aku harus mencari tahu siapa aku sebenarnya."

Nova terdiam, tetapi sorot matanya menunjukkan bahwa ia masih tidak puas. Cino melangkah di antara mereka, menepuk bahu Nova dengan santai. "Hei, tenang saja. Kita sudah sampai sejauh ini, kan? Apa salahnya melangkah sedikit lebih jauh?"

Arisu, yang berjalan di belakang mereka, tiba-tiba berhenti. "Tunggu," katanya, suaranya rendah tetapi tajam. Ia menatap ke depan, matanya menyipit. "Ada sesuatu di sana."

Semua orang berhenti. Di ujung lorong, cahaya merah semakin terang, dan suara gemuruh perlahan mulai terdengar. Itu bukan langkah, tetapi sesuatu yang lebih besar, lebih berat. Sean menghunus pedangnya, matanya tetap terpaku ke depan.

"lagi" katanya pelan, "bersiap."

Lorong itu berakhir di sebuah ruangan besar yang dikelilingi pilar-pilar raksasa. Di tengah ruangan, ada lingkaran besar dengan simbol-simbol yang bercahaya merah. Energi di ruangan itu terasa hampir menyakitkan, seolah-olah setiap tarikan napas membawa beban yang tak terlihat.

Dari kegelapan di sisi lain ruangan, sebuah sosok besar muncul perlahan. Makhluk itu lebih besar dari yang mereka hadapi sebelumnya, dengan tubuh yang diselimuti logam hitam mengilap dan mata merah yang bersinar seperti api. Senjata besar tergantung di kedua tangannya, memancarkan energi biru yang berdenyut seperti jantung.

"penjaga yang berbeda lagi," gumam Cino, mengangkat pedangnya. "Apa rencananya, Sean?"

Sean tidak menjawab. Ia maju selangkah, pedangnya terangkat, matanya tetap fokus pada makhluk itu. "Tetap bergerak. Jangan biarkan dia mengunci kita."

Makhluk itu mengeluarkan suara gemuruh, lalu menyerang dengan kecepatan yang mengejutkan. Sean melompat ke samping, menghindari ayunan senjata raksasa itu yang menghantam lantai dengan kekuatan besar. Ledakan dari serangan itu membuat dinding-dinding ruangan bergetar.

Aisya melancarkan serangan sihir, gelombang energi hijau meluncur ke arah makhluk itu. Energi itu menghantam tubuhnya, tetapi hanya membuatnya terhuyung sejenak. Makhluk itu berbalik, mengarahkan senjatanya ke arah Aisya.

"Dia terlalu kuat!" teriak Nova, menciptakan penghalang sihir untuk melindungi Aisya.

Sean memperhatikan gerakan makhluk itu dengan cermat. Matanya menangkap simbol-simbol di lingkaran di lantai yang tampak berdenyut bersamaan dengan energi di tubuh makhluk itu. Ia menyadari sesuatu.

"Energinya terhubung ke lingkaran itu!" serunya. "Kita harus memutuskan hubungannya!"

"Apa kau yakin itu akan berhasil?" tanya Arisu, suaranya tetap tenang meskipun situasinya semakin berbahaya.

"Kita tidak punya pilihan lain!" balas Sean. "Aisya, Nova, fokus pada lingkaran itu! Aku akan mengalihkan perhatiannya!"

Tanpa menunggu jawaban, Sean melompat maju, menyerang makhluk itu dengan serangkaian tebasan cepat. Makhluk itu berbalik, mengarahkan seluruh perhatiannya pada Sean. Di belakangnya, Aisya dan Nova mulai melancarkan serangan ke lingkaran bercahaya di lantai.

Dengan serangan gabungan mereka, lingkaran itu akhirnya pecah, simbol-simbolnya lenyap dalam ledakan cahaya merah. Makhluk itu mengeluarkan raungan terakhir sebelum tubuhnya runtuh, menghantam lantai dengan suara yang menggema di seluruh ruangan.

Saat semuanya tenang, Sean berdiri di tengah ruangan, napasnya terengah-engah. Teman-temannya mendekat, wajah mereka dipenuhi kelelahan tetapi juga rasa lega.

"Kita berhasil," kata Aisya pelan, matanya menatap Sean dengan penuh rasa hormat.

Sean mengangguk, tetapi matanya tetap tertuju pada ujung ruangan. Sebuah pintu besar yang tersembunyi kini terbuka, memperlihatkan lorong lain yang lebih gelap dan lebih dalam.

"Ini belum selesai," katanya. "Apa pun yang ada di depan, kita harus menghadapinya."

Teman-temannya saling bertukar pandang, lalu mengangguk. Dengan langkah berat tetapi penuh tekad, mereka melanjutkan perjalanan ke dalam kegelapan, mengetahui bahwa jawaban yang mereka cari semakin dekat—dan bahaya yang mengintai jauh lebih besar dari apa yang pernah mereka hadapi.

Jejak yang Terlupakan

Langkah mereka bergema di lorong sempit yang tampak tak berujung. Dinding-dinding batu di sekelilingnya dingin dan lembap, dengan cahaya redup dari akar kristal bercahaya yang tumbuh di retakan. Udara di sini lebih berat, membawa aroma logam yang menyengat, seolah-olah tempat ini telah lama ditinggalkan oleh waktu, tetapi tetap hidup dengan cara yang tidak terlihat.

Sean berjalan di depan, langkahnya mantap meski pikirannya berkecamuk. Bayangan-bayangan dari masa lalu terus menyeruak dalam pikirannya. Potongan-potongan ingatan itu seperti teka-teki yang tak lengkap: suara, wajah-wajah tanpa nama, dan tempat-tempat yang terasa akrab meskipun ia tahu belum pernah melihatnya.

Aisya yang berada di belakangnya, memperhatikan keheningan Sean dengan cemas. Sesekali, ia ingin bertanya, tetapi sesuatu dalam tatapan Sean membuatnya menahan diri. Nova, di sisi lain, memandang sekeliling dengan kewaspadaan yang mencolok. Ia tidak lagi menyembunyikan keraguannya terhadap tempat ini—atau terhadap Sean.

"Jangan terlalu tegang, Nova," kata Cino dengan nada ringan, meskipun tangannya tetap siaga di gagang pedang. "Kalau kau terus melihat ke belakang seperti itu, kau mungkin menabrak sesuatu."

Nova menghela napas panjang, melirik Cino dengan ekspresi datar. "Bercandamu tidak membantu. Tempat ini seperti jebakan besar. Aku tidak suka hal yang tidak kuketahui."

"Bukan hanya kau," gumam Arisu dari belakang. Suaranya pelan, tetapi setiap kata membawa beban. "Lorong ini... terasa salah. Energi di sini sepertinya menolak kita."

Sean berhenti mendadak. Ia berdiri diam, menatap sesuatu di lantai. Semua mata tertuju padanya.

"Apa itu?" tanya Aisya, mendekat dengan hati-hati.

Sean berjongkok, jari-jarinya menyentuh jejak kecil yang tertinggal di debu. Bekas kaki manusia, lebih kecil dari kaki siapa pun di kelompok mereka. Ia mengusap bekas itu, merasakan sisa-sisa hangat yang hampir hilang.

"Seseorang ada di sini sebelum kita," katanya, suaranya hampir seperti bisikan.

"Bagaimana kau tahu?" Nova menatap jejak itu dengan alis terangkat. "Itu bisa saja dari waktu yang lama sekali."

Sean menggeleng. "Tidak. Energinya masih ada. Mereka baru saja lewat."

Mereka melanjutkan perjalanan, kini dengan langkah lebih waspada. Jejak itu memandu mereka ke sebuah ruangan besar yang dikelilingi oleh dinding penuh ukiran kuno. Cahaya dari kristal hijau yang tertanam di dinding menciptakan suasana yang memukau sekaligus menakutkan. Di tengah ruangan, ada meja batu besar yang dipenuhi dengan alat-alat logam yang tampak asing.

"Ini tempat apa?" tanya Cino, matanya menjelajahi ruangan dengan rasa ingin tahu yang waspada.

"Laboratorium," jawab Arisu dengan nada dingin. Ia mendekati meja batu itu, jari-jarinya menyentuh salah satu alat yang tertinggal. "Kekaisaran pernah mencoba mengembangkan teknologi di tempat seperti ini. Tapi aku tidak pernah mendengar tentang laboratorium yang tersembunyi sejauh ini di dalam gunung."

Nova mengambil salah satu alat kecil, memutarnya di tangannya dengan penuh perhatian. "Kalau ini milik kekaisaran, kenapa ditinggalkan? Dan siapa yang masih menggunakannya?"

Sean mendekati dinding, matanya tertarik pada ukiran yang lebih besar di tengah ruangan. Ukiran itu menggambarkan seekor ular raksasa yang melingkari dunia, mulutnya terbuka seolah-olah menelan sesuatu yang bercahaya. Di bawahnya, ada simbol yang terasa begitu akrab, meskipun Sean tidak tahu kenapa.

"Jormungand," gumamnya tanpa sadar.

Aisya menoleh padanya. "Apa kau mengatakan sesuatu?"

Sean tidak menjawab. Ingatannya menyerang lagi—dirinya berdiri di tempat ini, tetapi tidak sendiri. Di sisinya, ada seorang wanita dengan mata penuh keyakinan dan senyum yang meluluhkan. Isla. Mereka berbicara, tetapi kata-katanya tidak jelas, hanya gema samar yang meninggalkan rasa kehilangan.

"Sean," suara Aisya menariknya kembali ke kenyataan. Ia menoleh, menyadari bahwa semua orang menatapnya. "Kau baik-baik saja?"

Sean mengangguk pelan, meskipun hatinya terasa berat. "Kita harus terus bergerak. Tempat ini menyimpan sesuatu yang penting."

Saat mereka bersiap untuk melanjutkan, suara langkah kaki terdengar dari lorong yang berlawanan. Mereka semua membeku, tangan siap di senjata masing-masing. Bayangan muncul di pintu masuk, dan sekelompok makhluk logam melangkah masuk. Tidak seperti makhluk sebelumnya, yang satu ini lebih ramping tetapi bergerak dengan keanggunan mematikan. Mata mereka bersinar dengan cahaya merah terang.

"Mereka menemukan kita," kata Arisu, menarik senjatanya.

Makhluk itu tidak memberi mereka waktu untuk berdebat. Dengan kecepatan luar biasa, mereka melompat maju, menyerang dengan bilah tajam yang muncul dari lengan mereka. Sean mengangkat pedangnya, menahan serangan pertama yang hampir memotongnya.

"Aisya, Nova! Serang dengan sihir!" teriaknya sambil mendorong makhluk itu mundur.

Aisya mengangkat pedangnya, meluncurkan gelombang energi hijau yang menghantam salah satu makhluk itu, membuatnya terhuyung. Namun, yang lain bergerak lebih cepat, menyerang dari berbagai arah.

Cino melompat ke tengah pertempuran, pedangnya berkilat saat ia menebas salah satu makhluk. "Mereka terlalu cepat! Fokus pada satu dulu!"

Sean mengangguk, menyerang makhluk yang sama dengan Cino. Dengan serangan gabungan, mereka berhasil menghancurkannya menjadi serpihan logam. Namun, dua makhluk lain menyerang Aisya dan Nova, memaksa mereka untuk bertahan dengan penghalang sihir.

"Kita tidak bisa terus seperti ini!" teriak Nova, wajahnya pucat saat ia mencoba mempertahankan penghalangnya.

Sean memindai ruangan, mencari sesuatu yang bisa membantu. Matanya tertuju pada ukiran ular di dinding dan simbol di bawahnya. Ia merasakan sesuatu—sebuah koneksi yang tidak bisa dijelaskan. Tanpa berpikir panjang, ia berlari ke arah ukiran itu, mengangkat tangannya untuk menyentuh simbol di bawahnya.

"Apa yang kau lakukan?!" teriak Nova.

Sean tidak menjawab. Saat tangannya menyentuh simbol itu, cahaya hijau terang memenuhi ruangan, membutakan semua orang. Energi mengalir melalui tubuhnya, membuatnya merasa seperti terhubung dengan sesuatu yang jauh lebih besar. Makhluk-makhluk itu terhenti, tubuh mereka gemetar seolah-olah melawan kendali yang tak terlihat.

"Sekarang!" seru Sean. "Hancurkan mereka!"

Dengan serangan terakhir dari Aisya, Nova, dan Cino, makhluk-makhluk itu runtuh, tubuh mereka hancur menjadi puing-puing logam yang berserakan di lantai. Cahaya hijau memudar, dan Sean jatuh berlutut, napasnya terengah-engah.

Aisya berlari mendekatinya, matanya penuh kekhawatiran. "Sean, apa yang terjadi padamu?"

Sean menggeleng, mencoba mengatur napasnya. "Aku... tidak tahu. Tapi tempat ini... aku yakin kita sudah dekat."

Mereka semua terdiam, memandang simbol ular di dinding yang masih bersinar samar. Mereka tahu bahwa apa pun yang menunggu mereka di depan, itu akan mengubah segalanya.