Kabut turun semakin tebal, menyelimuti gunung dalam lapisan putih yang nyaris tak tembus pandang. Langkah kelompok Sean melambat dan semakin lambat, setiap gerakan terasa seperti melawan sesuatu yang lebih dari sekadar salju. Udara dingin menggigit kulit mereka, tetapi ada sesuatu yang lebih menusuk daripada angin—kehadiran tak terlihat yang menyelinap di sekitar mereka.
Sean memimpin di depan, tubuhnya tegak dan langkahnya mantap. Namun, matanya memindai setiap sudut, mencari tanda bahaya yang mungkin mengintai. Nova sang Elf berjalan beberapa langkah di belakangnya, pandangannya tak pernah lepas dari punggung Sean. Rasa frustrasi bercampur curiga menyelimuti pikirannya, tetapi ia tetap diam, menunggu saat yang tepat untuk bicara.
"Berhenti," kata Sean tiba-tiba, mengangkat tangannya. Langkah mereka terhenti, dan semua telinga terjaga oleh keheningan yang aneh.
"Apa yang kau lihat?" bisik Cino, tangannya sudah di gagang pedangnya.
Sean tidak menjawab. Ia hanya memfokuskan pandangannya ke depan, ke jalur yang hampir tertutup kabut. Sesuatu terasa salah, tetapi ia tidak bisa menjelaskan apa itu.
Aisya mendekat, suaranya lembut tetapi penuh kehati-hatian. "Sean?"
"Jejak," katanya akhirnya. Ia menunjuk ke tanah di depan mereka. Dalam lapisan salju yang tebal, ada jejak kaki besar, lebih besar dari ukuran manusia mana pun yang pernah mereka temui. Bekas cakar panjang tercetak jelas, menggali salju hingga ke tanah.
Nova mengerutkan kening, mendekat untuk melihat lebih dekat. "Apa yang membuat jejak ini?"
Cino berjongkok, mengamati pola jejak itu dengan cermat. "Terlalu besar untuk hewan apa pun yang aku tahu. Dan bentuknya... ini bukan dari makhluk alami."
"Makhluk buatan," gumam Arisu, suaranya dingin. "Kekaisaran pernah mencoba menciptakan penjaga untuk tempat-tempat seperti ini. Tapi aku kira mereka semua sudah dihancurkan."
"Sepertinya tidak," balas Nova, nada suaranya penuh kehati-hatian. "Kalau penjaga itu masih ada, berarti mereka tidak akan membiarkan kita lewat begitu saja."
Mereka melanjutkan perjalanan dengan langkah lebih hati-hati, mengikuti jejak kaki besar itu yang mengarah ke sebuah celah sempit di sisi gunung. Dinding batu yang menjulang di kedua sisi memberikan rasa aman palsu, tetapi Sean tahu lebih baik daripada mempercayai apa yang tampak di permukaan. Ia berhenti sejenak di depan celah itu, merasakan aura yang mengalir keluar darinya.
"Tempat ini..." bisiknya, lebih kepada dirinya sendiri daripada kepada yang lain.
Nova melangkah mendekat, menatap celah itu dengan curiga. "Kau merasa sesuatu, kan? Apa yang kau sembunyikan dari kami, Sean?"
Sean tidak menjawab. Ia hanya melangkah masuk ke dalam celah itu, mengabaikan tatapan Nova yang tajam. Yang lain mengikuti dengan diam-diam, meskipun Aisya sempat menoleh ke Nova dengan ekspresi penuh pengertian.
Di dalam celah itu, udara terasa lebih berat, seperti membawa beban tak terlihat yang menekan tubuh mereka. Cahaya hijau samar memancar dari retakan di dinding batu, menciptakan bayangan aneh yang tampak hidup.
"Ini bukan tempat biasa," gumam Arisu, tangannya menyentuh dinding batu. "Energi di sini... ini lebih tua dari apa pun yang pernah aku lihat."
"Dan berbahaya," tambah Nova, tatapannya tetap waspada.
Sean berjalan tanpa ragu, tetapi di dalam pikirannya, pertanyaan terus menghantam. Setiap langkah membawa kilasan ingatan yang tidak diinginkannya—bayangan dirinya memegang pedang bersinar, berdiri di tempat yang tampak seperti ini tetapi jauh lebih terang, lebih hidup. Di belakangnya, ada sosok-sosok yang berlutut dengan hormat, menunggu perintah darinya.
"Pengadil..." suara itu muncul lagi, bergema di dalam pikirannya seperti bisikan angin yang tak henti-henti. Ia mengepalkan tangannya, mencoba mengusir bayangan itu.
"Sean?" suara Aisya membawanya kembali ke kenyataan. Ia berhenti, menoleh ke belakang dengan mata yang penuh kebingungan. Namun, sebelum ia bisa menjawab, suara gemuruh terdengar dari belakang mereka.
Mereka berbalik serentak. Dari ujung celah, sosok besar muncul, bergerak dengan langkah berat yang mengguncang tanah. Makhluk itu tinggi dan besar, tubuhnya kombinasi mengerikan dari logam dan daging, dengan mata merah yang menyala terang di tengah wajah yang tidak sepenuhnya manusia.
"Penjaga," kata Arisu, suaranya penuh ketegangan. "Mereka masih hidup."
Pertarungan dimulai tanpa peringatan. Makhluk itu melompat maju, menyerang dengan cakar besar yang hampir mencabik Cino. Namun, dengan reflek cepat, ia berguling ke samping dan mengayunkan pedangnya ke kaki makhluk itu. Tebasannya hanya meninggalkan goresan kecil di lapisan logam tebal.
"Armor mereka terlalu kuat!" serunya, mundur untuk menghindari serangan berikutnya.
Aisya mengangkat tongkat sihirnya, meluncurkan gelombang energi hijau ke arah makhluk itu. Energi itu menghantam tubuhnya, dan untuk sesaat, makhluk itu terhuyung mundur.
"Itu berhasil!" Aisya berseru, matanya membara dengan tekad.
Sean memanfaatkan momen itu, melompat maju dengan pedangnya. Ia mengarahkan serangannya ke sendi-sendi makhluk itu, tempat logam dan daging bersatu. Dengan satu ayunan kuat, ia berhasil memotong sebagian kabel di bahunya, membuat lengan makhluk itu terkulai lemas.
"Fokus pada titik lemah mereka!" perintah Sean, suaranya tegas.
Nova dan Arisu bergabung dalam serangan, mengalihkan perhatian makhluk itu dengan serangan sihir dan tembakan presisi. Namun, makhluk itu tidak menyerah begitu saja. Ia mengeluarkan raungan yang membuat seluruh tubuh mereka bergetar, lalu meluncurkan proyektil energi biru yang menghantam dinding di belakang mereka, menciptakan ledakan besar.
"Dia belajar dari kita!" seru Nova, melindungi dirinya dengan penghalang sihir.
"Kalau begitu, kita harus lebih cepat," balas Cino, melompat ke punggung makhluk itu dan menusukkan pedangnya sedalam mungkin.
Makhluk itu meronta, mencoba melepaskan Cino, tetapi Sean tidak memberinya kesempatan. Dengan serangan terkoordinasi, mereka berhasil menjatuhkan makhluk itu ke tanah, tubuhnya hancur menjadi serpihan logam dan daging.
Saat semuanya tenang, Sean berdiri di depan tubuh makhluk itu yang kini tak bernyawa. Napasnya berat, tetapi matanya tetap fokus. Ia menoleh ke teman-temannya, yang terlihat lelah tetapi tidak kalah waspada.
"Ini baru permulaan," katanya pelan. "Ada lebih banyak yang menunggu kita di sini."
Aisya menatapnya dengan cemas. "Kau yakin kita bisa melewati semua ini?"
Sean mengangguk, meskipun hatinya penuh keraguan. "Kita harus. Jawaban yang kita cari ada di sini."
Mereka melanjutkan perjalanan, meninggalkan tubuh makhluk itu di belakang mereka. Kabut semakin tebal, dan suasana menjadi lebih mencekam. Tapi mereka tahu, tidak ada jalan untuk kembali.