Chereads / Penyamar Dari Tanah Legendaris Mistik / Chapter 11 - Di Antara Bayangan Masa Lalu

Chapter 11 - Di Antara Bayangan Masa Lalu

Salju berderak pelan di bawah sepatu bot Sean, satu-satunya suara yang menyertai di tengah desiran angin dingin. Ia berjalan lambat, napasnya berembus dalam kabut putih tipis. Gunung Jormungand menjulang di kejauhan, memancarkan aura yang menekan, seolah memanggilnya untuk mendekat. Namun, setiap langkah yang diambil hanya menambah kekacauan dalam pikirannya.

Kilatan-kilatan ingatan menghantamnya tanpa ampun, seperti serpihan kaca yang berserakan di kepalanya. Ia melihat dirinya berdiri di tengah pertempuran, dikelilingi oleh prajurit berbendera Barat. Suara perintah yang ia keluarkan begitu jelas di telinganya, disertai serangkaian serangan yang tak terhentikan. "Apakah aku... bagian dari mereka?" pikirnya, bingung.

Lalu, sekejap berikutnya, bayangan itu tergantikan oleh sesuatu yang jauh lebih lembut. Isla—Elf cantik berambut hitam sebahu dengan tatapan sayu, senyum hangat dan suara yang menenangkan. Ia melihat Isla berbicara padanya, memegang tangannya, seolah mereka berbagi sesuatu yang dalam dan tak tergantikan. Tapi mengapa ia ada di sana? Apa yang menghubungkannya dengan Isla? Semakin ia mencoba mengingat, semakin jauh bayangan itu menghilang.

Kemudian, kilatan ketiga datang, lebih terang dan lebih menyakitkan. Ia melihat dirinya duduk di atas singgasana bercahaya, dikelilingi oleh makhluk-makhluk yang berlutut dengan penuh penghormatan. Cahaya keemasan menyelimutinya, dan suara—sebuah suara agung—memanggilnya dengan sebutan "Yang adil." Tapi apa artinya itu? Bagaimana mungkin ia, yang sekarang hanya seorang manusia biasa, pernah menjadi sesuatu yang begitu... besar?

Sean berhenti di tepi cekungan berbatu, menatap langit yang mulai dipenuhi bintang. Ingatannya tidak masuk akal. Ketiga potongan itu saling bertentangan, seolah berasal dari tiga kehidupan yang berbeda. Ia merasa seperti tali yang ditarik ke tiga arah sekaligus, membuat kepalanya berdenyut dengan rasa sakit yang tak terdefinisikan.

"Siapa aku sebenarnya?" bisiknya pelan, suara itu hilang ditelan angin dingin.

Ketika ia kembali ke kelompok, cahaya api unggun menyambutnya. Wajah-wajah yang kelelahan menatapnya dengan penuh harap, tetapi Sean tidak bisa membaca apa yang mereka pikirkan. Ia tahu mereka mencari jawaban darinya, tetapi bagaimana mungkin ia memberikan jawaban jika ia sendiri tidak tahu apa yang sedang terjadi?

"Daerah sekitar aman," katanya singkat, duduk di tepi lingkaran api. Nyala api yang hangat terasa seperti paradoks dengan kebekuan yang masih melingkupi pikirannya. Tatapan Nova terasa seperti menusuk, penuh dengan pertanyaan yang tak terucapkan.

"Sean," akhirnya Nova berbicara, suaranya tenang tetapi tegas. "Kenapa kita menuju puncak gunung ini? Aku tidak ingin membantahmu, tetapi aku merasa kita semua berhak tahu alasannya."

Sean menatap api, membiarkan keheningan menggantung. Ia ingin menjawab, tetapi kata-kata tidak pernah terasa cukup. Bagaimana mungkin ia menjelaskan sesuatu yang bahkan ia sendiri tidak mengerti?

"Ada sesuatu di puncak itu," katanya akhirnya, suaranya hampir seperti bisikan. "Sesuatu yang... memanggilku."

"Apa itu?" desak Nova lagi, nadanya lebih lembut namun tak kalah mendalam.

Sean mengangkat bahu perlahan, seolah mencoba melepaskan beban dari bahunya. "Aku tidak tahu. Tapi rasanya seperti... bagian dari diriku yang hilang ada di sana." Ia berhenti sejenak, lalu menambahkan dengan suara lebih pelan, "Mungkin di sana aku akan menemukan siapa aku sebenarnya."

Keheningan menyelimuti mereka, tetapi Aisya memecahnya dengan senyum hangat. "Kalau begitu, kita ke sana untukmu, Sean. Apa pun yang ada di sana, aku yakin itu penting."

Cino mengangguk, menambahkan dengan nada santai, "Dan aku di sini untuk memastikan kau tidak melakukan sesuatu yang bodoh. Kau hebat, Sean, tapi aku tetap harus menjagamu tetap pada jalur."

Arisu tetap diam, tetapi tatapannya pada Sean berbicara lebih banyak daripada kata-kata. Mereka semua percaya padanya, dan itu seharusnya memberinya rasa nyaman. Namun, rasa nyaman itu tidak pernah datang. Puncak gunung itu mungkin memberikan jawaban, tetapi Sean tidak yakin apakah ia siap untuk mengetahuinya.

Malam semakin larut, dan satu per satu mereka tertidur. Sean tetap terjaga, duduk di dekat api yang mulai redup. Angin dingin menerpa wajahnya, membawa suara yang hanya bisa ia dengar.

"Sean..." Suara itu bergema di dalam pikirannya, lembut tetapi penuh tekanan. Ia berdiri perlahan, meninggalkan lingkaran api tanpa membangunkan yang lain. Langkahnya membawanya ke tempat yang lebih tinggi, di mana bintang-bintang terlihat lebih dekat.

Ia berdiri di sana, di atas dunia yang tertutup salju. Jalur menuju puncak gunung tampak lebih jelas, seolah memberikan janji yang tak terucapkan. Tapi di balik janji itu ada sesuatu yang lebih dalam, lebih gelap. Ketiga ingatan yang saling bertentangan kembali menyerangnya, membuat dadanya terasa berat.

Di satu sisi, ia adalah bagian dari Barat, seseorang yang pernah bertempur dengan gagah. Di sisi lain, ia adalah Sean yang mengenal Isla, dengan kenangan manis dan perjalanan panjang yang terjalin di antara mereka. Dan terakhir, ia adalah Pengadil—sesuatu yang tidak bisa ia pahami, tetapi begitu akrab.

"Aku siapa?" tanyanya lagi, kali ini lebih keras, berharap angin membawa pertanyaannya ke langit. Tapi tidak ada jawaban. Hanya jalur es di depannya, menunggu ia untuk melangkah maju dan menemukan kebenarannya sendiri.