Langkah mereka menuju gunung dihentikan oleh deru suara logam. Mecha raksasa muncul dari balik reruntuhan, matanya yang merah menyala seperti obor di tengah kegelapan. Mereka tidak punya pilihan selain bertarung.
Sean maju pertama, pedangnya meluncur dengan kecepatan yang hampir mustahil. Dia menargetkan sendi-sendi di lutut mecha, menciptakan percikan saat logam bertemu logam. Cino segera menyusul, memotong kabel-kabel yang terlihat di lengan mecha tersebut. Aisya, di sisi lain, mulai mengaktifkan sihir healnya, tetapi kali ini dia mengarahkan energi itu langsung ke tubuh mecha menembakkannya sekuat tenaga sampai-sampai terlihat seperti tembakan Meriam Cahaya yang meledak.
Mecha itu bahkan terseret dan terlempar mundur. Tubuhnya bergetar hebat, dan lampu merah di matanya berkedip. "Itu berhasil!" seru Cino sesuai dengan Teori dan rencana yang sudah dia buat sebelumnya. "Teruskan, Aisya!"
Namun, mecha lain muncul, kali ini dengan kecepatan yang jauh lebih besar. Sean hanya sempat berteriak sebelum mereka dihantam gelombang energi yang membuat mereka terlempar. Dia mendarat di atas salju dengan napas tersengal, tetapi tetap bangkit, meskipun tubuhnya bergetar karena lelah.
"Aisya, fokus pada serangan aerea! Itu satu-satunya cara!" teriak Sean. Dia melompat ke depan untuk mengalihkan perhatian mecha, sementara Cino melindungi Aisya dari serangan yang datang.
Pertarungan berlangsung dengan intensitas yang semakin meningkat. Setiap serangan Sean penuh dengan kekuatan yang seolah berasal dari sesuatu yang lebih besar dari dirinya, seolah ingatannya yang kembali memberinya kekuatan tambahan.
Di tengah semua kekacauan, suara dari dalam dirinya bergema. "Kau adalah Tangan kanan Primordial. Dunia ini menunggu keputusanmu." Sean tidak punya waktu untuk memahami suara itu. Dengan napas tersengal dan tangan yang gemetar, ia melangkah maju, mengarahkan setiap serangan dengan ketepatan yang luar biasa. Hanya satu hal yang ada di pikirannya—melindungi semua orang dan menyelesaikan perjalanan ini, apa pun risikonya.
Melihat jumlah mecha yang berdatangan semakin banyak, Cino berteriak kepada Aisya dan Nova, "GUNAKAN RENCANA KEDUA, sekarang!"
Nova yang berdiri di dekat Aisya mengangguk cepat. "Kita mulai," balasnya dengan suara lantang. Nova memegang bahu Aisya, menyambungkan koneksi sihir mereka. Tubuh Aisya tampak bergetar saat energi healing miliknya seketika mengalir lebih deras, sementara Nova, dengan mata melebar, menyadari sesuatu yang mengejutkan.
"Energi healing-mu... ini tak ada batasnya!" Nova berseru, suaranya tercampur antara kagum dan terkejut. "Kita bisa terus melakukannya sampai kau benar-benar kelelahan."
Aisya mengangguk lemah, menahan rasa berat di tubuhnya. Energi yang berpadu di antara mereka perlahan membentuk ledakan cahaya hijau keemasan yang menyelimuti tubuh mereka, seperti aura yang bergolak liar. "Share!" seru mantra Nova tiba-tiba. Gelombang energi hijau yang mengambang seperti air meledak dari tubuh mereka, membentuk bulatan besar yang memancar ke segala arah.
Bola energi itu kemudian terpecah menjadi beberapa arah, menyelimuti Sean, Cino, dan Arisu dengan cahaya hijau yang memeluk mereka seperti pelindung tak terlihat. Pedang Sean dan Cino bersinar terang, seperti baru saja ditempa dalam api abadi. Tubuh Arisu juga diselimuti energi yang sama, memperkuat kekuatan fisiknya yang sudah luar biasa.
"Siap untuk tahap selanjutnya," ujar Nova dengan wajah menahan perih.
Aisya menatap Nova dengan tekad membara di matanya, meskipun ekspresi wajahnya mencerminkan tekanan yang luar biasa. "Satu... dua... TIGA!!" teriak Nova.
"RISING BLAST!!" teriak keduanya serempak, tangan mereka mengarah ke depan. Sebuah tembakan sihir dengan dimensi yang lebih besar dari sebelumnya melesat keluar seperti meriam raksasa, dengan gelombang kejut yang bahkan membuat tubuh mereka terdorong ke belakang. Tembakan cahaya hijau itu tidak hanya menghancurkan mecha yang ada di depan mereka, tetapi pecah menjadi banyak cabang, berbelok dan berbelok mengejar mecha-mecha lain yang berusaha menghindar dan mecha yang baru saja datang.
Sean, yang kini diselimuti energi hijau bercahaya, mengayunkan pedangnya. Dari setiap tebasannya yang sangat cepat, sabit cahaya berhamburan ke langit, seperti ribuan proyektil yang langsung merobek baja para mecha. Di sisi lain, Cino, dengan energi yang sama, menebas dengan proyeksi besar pedangnya sampai menjulang kelangit, membelah lebih banyak mecha sekaligus dengan setiap ayunannya.
Arisu, yang berada di garis depan, menghancurkan mecha satu per satu dengan tangan kosong yang diperkuat energi. Sekali tendangannya berefek sangat dahsyat, kepala robot raksasa itu langsung terpental, kemudia Ia mencengkram logam tebal sampai penyok salah satu kaki mecha lain yang hendak menyerangnya, memutar tubuh raksasa logam itu, lalu melemparkannya ke kerumunan mecha lainnya. Ledakan besar menghiasi medan perang.
Langit di atas medan perang berubah menjadi pemandangan memukau, dihiasi dengan ledakan-ledakan hijau keemasan yang menyerupai pesta kembang api. Mecha-mecha itu berjatuhan satu per satu, tubuh logam mereka meledak dalam percikan cahaya, sementara sisanya yang masih berdiri terlihat ragu. Seolah-olah, untuk pertama kalinya, mereka memahami bahwa bertarung dengan kelompok ini hanya akan membawa kehancuran.
Akhirnya, mecha-mecha yang tersisa memilih mundur, langkah-langkah berat mereka mengguncang tanah saat mereka menghilang di balik kabut salju. Sean berdiri tegak, napasnya masih memburu, matanya menyapu medan perang yang kini sunyi. "Mereka akan kembali," gumamnya pelan. "Tapi kali ini, kita tahu apa yang harus dilakukan."
Mecha terbesar mulai bergetar aneh, cahaya merah di matanya berkedip-kedip, dan gerakannya menjadi tidak teratur. Ia melangkah mundur perlahan, seolah menyadari sesuatu. Mecha lainnya, yang sebelumnya menyerang dengan brutal, tiba-tiba berhenti. Sejenak, suasana menjadi hening kecuali suara deru mesin yang melemah.
Cino, menurunkan pedangnya yang masih bersinar hijau. Napasnya terengah-engah, keringat membasahi wajahnya meskipun udara dingin membekukan.
"Tidak," ujar Arisu singkat. Ia berdiri dengan tubuh tegap, sorot matanya tetap tertuju pada siluet mecha yang menghilang di balik kabut salju. "Mereka bukan menyerah. Kemampuan mereka beradap tasi dan balajar hal baru… Mereka mundur untuk menyusun strategi baru."
Aisya terhuyung, hampir jatuh, tetapi Nova dengan sigap menangkapnya. "Kau sudah melakukan lebih dari cukup, Aisya," katanya lembut. "Energi healing-mu benar-benar luar biasa, tapi kau juga butuh istirahat."
Sean memandang ke arah medan perang yang sekarang sepi. Tubuhnya terasa berat, tetapi matanya tetap penuh dengan tekad. "Sialnya ini bukan akhir. Mereka akan kembali, dengan kekuatan serangan lebih besar."
Nova mengangguk, menggulung kembali blueprint yang ia bawa. "Kita punya keuntungan. Kita tahu kelemahan mereka sekarang."
"Dan mereka tahu kekuatan kita," tambah Arisu. Ia mulai berjalan tanpa menunggu yang lain, melangkah melewati reruntuhan yang dipenuhi salju dan pecahan logam. "Kita harus bergerak sebelum mereka kembali."
Kelompok itu perlahan berkumpul kembali, saling mendukung untuk melanjutkan perjalanan. Aisya, meskipun lelah, tetap menunjukkan senyum tipis saat Sean membantunya berdiri. Mereka semua terluka, tetapi luka-luka itu tidak cukup untuk menghentikan mereka.
Di kejauhan, gunung es yang terlihat seperti wajah ular raksasa menjulang, seolah memanggil mereka dengan aura misteriusnya. Sean mengepalkan tangannya, merasakan sesuatu yang mulai terhubung di dalam dirinya.
"Gunung itu..." gumamnya pelan. "Di sana kita akan menemukan jawaban."
Langkah mereka kembali terdengar di atas salju, meninggalkan medan perang yang kini sunyi. Namun, di balik kabut, bayangan mecha yang mundur tetap mengintai, seolah menunggu waktu yang tepat untuk menyerang lagi.