Chereads / Penyamar Dari Tanah Legendaris Mistik / Chapter 8 - Rahasia Teknologi Utara

Chapter 8 - Rahasia Teknologi Utara

Langkah Sean terasa berat di atas salju yang mencair, seolah bumi sendiri mencoba menahannya. Udara dingin menusuk sampai ketulang, dan angin yang membawa serpihan salju terasa seperti bisikan tajam yang berbicara langsung ke dalam kepalanya. Di kejauhan, kepala gunung yang mencuat seperti mahkota raksasa mendominasi cakrawala—gunung yang dia tahu, tanpa alasan yang jelas, menyembunyikan sesuatu yang lebih dari sekadar es dan batu.

Sean terdiam sejenak memperhatikan setiap detail lekukan dari gunung itu, lau matanya melebar seolah tersentak akan sesuatu "Jormungand…" bisiknya pelan, terlalu pelan untuk didengar siapa pun. Namun, pikirannya sendiri terguncang oleh kata itu. Itu bukan sekadar nama, melainkan kunci—pecahan ingatan yang mulai membentuk gambaran yang lebih besar.

Di belakangnya, Aisu, Cino dan Aisya berjalan diam, mengikuti jejak langkah Sean. Mereka masih memulihkan diri dari pertempuran sebelumnya. Rambut Aisya basah oleh keringat meskipun udara dingin, dan Cino menggenggam pedangnya dengan ketat, seolah takut melepaskannya bahkan untuk sesaat.

"Sean, kau baik-baik saja?" suara lembut Aisya memecah kesunyian. Dia mendekat, matanya memantau ekspresi wajah Sean yang tampak lebih berat daripada biasanya.

Sean menoleh sedikit, menatapnya dengan senyum tipis yang tidak sampai ke matanya. "Aku baik-baik saja. Kita harus terus bergerak."

Saat mereka mencapai kota utama Kekaisaran Utara, kehancuran yang mereka temui sebelumnya tampak kecil dibandingkan dengan pemandangan ini. Bangunan yang tersisa hanya rangka, berdiri seperti tempurung kosong. Puing-puing berserakan, menciptakan labirin yang sulit dilewati. Namun, yang paling mencolok adalah pecahan besar dari sesuatu yang terlihat seperti logam hitam mengkilap, berserakan di seluruh penjuru kota.

Arisu membungkuk, mengambil pecahan logam dengan tangan kosong. Ia memutarnya sejenak, memperhatikan refleksi salju di permukaannya yang retak. "Ini bukan teknologi biasa," katanya dingin, suara datarnya menggema di antara reruntuhan. "tanpa sepengetahuanku, Kekaisaran menciptakan sesuatu yang bahkan mereka sendiri tidak bisa kendalikan."

Cino menyentuh salah satu pecahan logam dengan ujung pedangnya. "Apa ini... bagian dari mecha itu?" tanyanya, alisnya berkerut dalam kebingungan.

"Pecahan itu adalah bagian dari mereka, Nova muncul dari salah satu lorong dengan ekspresi gelisah "pecahan mecha," sambungnya. Dia membawa sesuatu yang tampak seperti gulungan kertas tua, tetapi saat ia membuka gulungan itu, yang terlihat bukan tinta melainkan pola energi bercahaya. "Ini adalah blue print yang ditemukan para peneliti. Mereka mencoba mencari cara untuk menghentikan mesin-mesin itu."

Sean mendekat, matanya terpaku pada pola-pola yang bercahaya. Jari-jarinya menyentuh gulungan itu, dan tiba-tiba, kilatan bayangan lain memenuhi pikirannya—bayangan dirinya sendiri berdiri di ruang kosong, memegang sebuah pedang hitam pekat di tangan kirinya dan timbangan logam kecil dengan cahaya emas yang membutakan.

"Art of Judgment," gumamnya, dan seketika kalimat itu muncul dikepalanya, dengan cepat ia menarik tangannya dari gulungan itu seolah-olah membakar tangannya. Napasnya memburu, wajahnya kebingungan dan untuk sesaat, dunia terasa goyah.

"Sean, kau kenapa?" Aisya mendekat, matanya mencerminkan kekhawatiran dan panikannya.

Sean hanya menggeleng, mencoba mengusir gambaran itu. "Aku baik-baik saj-"

"Itu hanya pecahan kecil dari kebenaran,"Arisu memotong Sebelum Sean bisa menjawab, kemudian menatapnya dengan sorotan tajam tanpa ekspresi. "Jika kau tidak bisa menghadapi ini, maka perjalanan kita akan berakhir di sini." Sambungnya.

Mendengar itu Aisya segera mengalihkan pandangan ke Nova, mencoba menghilangkan ketegangan. "Apa kelemahan yang mereka temukan?" tanyanya.

Nova melanjutkan penjelasannya. "Sesuatu di dalam mecha-mecha ini… energi Aetherium yang mengalir di tubuh mereka… itu bukan hanya membuat mereka hidup, tapi juga membuat mereka tidak terkalahkan jika diserang dengan serangan fisik." 'jadi itu mengapa pasukan sekuat pasukan utara bisa dikalahkan, mereka notabenenya pengguna kekuatan fisik dan teknologi, sangat jarang ada pengguna sihir apalagi healer' pikir Sean sekilas, "Tapi ada satu kelemahan yang ditemukan." Sambung Nova.

Dia menunjuk pada sebuah catatan kecil di sudut gulungan. "Sihir penyembuh, Ketika sihir healing diarahkan ke mekanisme mereka, aliran energi Aetherium mereka menjadi kacau. Efeknya seperti medan magnetic pulse, sihir kehidupan rupanya bertolak belakang dengan sifat 'golem baja aetherium' itu, sifat yang ditimbulkan sendiri menyebabkan kebingungan pada arah aliran energi, hingga jaringan suplai mereka sampai berhenti bekerja."

Aisya tertegun teringat setiap energi sihir yang iya lepaskan selalu berdampak memperlambat gerakan robot golem besar itu. kemudian dia tersadar lagi "Jadi, itu sebabnya mereka hanya meminta kelompok healer?" 

Nova mengangguk. "Ya. Tetapi masalahnya, mendekati mereka untuk menggunakan sihir healing adalah tugas yang hampir mustahil."

Cino menepuk Pundak Nova dan Aisya "kalian tenang saja aku akan susun rencana!" ucapnya dengan tatapan semangat sekaligus mencutigakan kearah Aisya. Aisya gemetar, teringat setiap rencana Cino itu selalu ekstrim baginya.

Potongan puzzel Sean

Sean berdiri di sudut reruntuhan, menatap gunung es yang menjulang di kejauhan. Nafasnya keluar pelan, berembus menjadi kabut kecil di udara dingin. Ada sesuatu yang menghubungkannya dengan gunung itu, sesuatu yang menariknya dengan kekuatan yang tak bisa ia abaikan.

Saat ia menutup matanya, kilatan ingatan menerobos pikirannya seperti serpihan kaca yang berserakan. Ia melihat bayangan singgasana yang dikelilingi oleh cahaya menyilaukan, terlalu terang untuk dipahami. Sosok-sosok tak berbentuk berdiri dalam keheningan yang mendebarkan, seolah menunggu sesuatu darinya. Tapi gambaran itu buram, suaranya tenggelam dalam dengungan yang memekakkan. Ada satu kata yang berbisik di antara kekacauan: "Pengadil..."

Namun gambaran itu tergantikan oleh bayangan dirinya melangkah ke sebuah dunia yang suram, meninggalkan kilauan cahaya yang mulai memudar. Wajah-wajah tanpa nama menatapnya dari kejauhan, sementara aliran ingatan tentang kekuatan dan identitasnya memudar seperti kabut di pagi hari. Ia merasa kehilangan sesuatu, sesuatu yang berharga, namun tak bisa ia ingat apa itu.

"Sean," suara Cino membuyarkan pikirannya. "Kau terlihat... aneh. Apa kau yakin tidak apa-apa?"

Sean membuka matanya, menatap Cino dengan pandangan yang sulit diterjemahkan. "Aku ingat sesuatu... sesuatu yang penting," ujarnya. "Dan aku rasa aku akan menemukan jawabannya di sana." Ucapnya sambil menunjuk puncak sebuah gunung salju.

"Gunung itu?" Cino mengikuti arah pandangan Sean. "Apa yang ada di sana?"

Sean tidak menjawab. Dia hanya tahu bahwa dia harus ke sana.