Chereads / Penyamar Dari Tanah Legendaris Mistik / Chapter 5 - Perjalanan ke Utara

Chapter 5 - Perjalanan ke Utara

Satu bulan setelah Aisya pulih

Di dalam kereta kuda yang berguncang, Aisya memegang erat gulungan surat di tangannya. Surat darurat dari Kaisar Utara itu tiba dengan segel emas yang pecah saat ia membukanya beberapa jam lalu. Kata-kata di dalamnya singkat namun tegas, mengandung kepanikan yang tak tersamarkan:

"Kami dikepung oleh kehancuran. Musuh tak dikenal menyerang tanpa ampun, yang paling parah RG3U7(tulisan acak-acakan tak berarti, menandakan keraguan penjelasan dari penulisnya) penelitian kami disaotase memporak-porandakan kota demi kota. Healer, bawa healer sebanyak mungkin!! Kami kekuangan Healer untuk melawan, Jika kalian tidak segera datang, kekaisaran ini akan runtuh. Utara membutuhkanmu, sekarang."

Tinta yang tercoreng menunjukkan bahwa surat itu ditulis dengan tergesa-gesa, seakan waktu yang dihabiskan untuk menulisnya pun terlalu berharga. Wajah Aisya muram saat ia membaca ulang isi surat itu dalam benaknya. Ia tahu, perjalanan ini bukan hanya misi penyelamatan, tetapi juga perlombaan melawan waktu. Jika mereka gagal, bukan hanya kekaisaran yang akan jatuh, tetapi juga harapan bagi ribuan nyawa tak bersalah.

Di sudut kereta, Sean duduk diam dengan mata tertutup, terlihat seperti sedang bermeditasi. Namun, Aisya tahu lebih baik. Ia tidak pernah benar-benar tidur dalam perjalanan seperti ini. Pria itu lebih waspada dari siapa pun di rombongan mereka. Bahkan dalam keheningan, ada aura ketegangan di sekitar Sean yang membuat orang lain tetap siaga.

"Kau memikirkan sesuatu, Sean?" Aisya akhirnya bertanya, suaranya hampir tenggelam oleh suara roda yang berderit di atas salju.

Sean membuka matanya perlahan, tatapan tajamnya menembus kabut di luar jendela. "Aku hanya mencoba mengingat," katanya, nadanya datar, tetapi ada sesuatu yang samar di dalamnya. "Ada sesuatu tentang utara yang terasa... familiar." Ia tidak memberikan penjelasan lebih lanjut, tetapi Aisya bisa melihat kerutan di dahinya yang mengisyaratkan kegelisahan.

Saat mereka akhirnya tiba di perbatasan utara, kabut dingin menyelimuti rombongan saat mereka melangkah keluar dari kereta kuda. Aisya merapatkan mantel tebalnya, matanya menatap lurus ke dataran putih yang membentang di hadapan. Langkah pertamanya di salju menimbulkan suara lembut, hampir tenggelam oleh angin yang terus mendesing di sekeliling mereka. Udara terasa menusuk, mencengkeram kulit meskipun mereka sudah mengenakan pakaian tebal. Ia merasakan dadanya sedikit berat, bukan hanya karena udara dingin, tetapi juga karena tekanan tanggung jawab yang ia pikul.

Di belakangnya, Cino berdiri tegap dengan pedang tergenggam erat. Pandangannya tajam seperti elang yang siap menyergap mangsa, mengawasi setiap gerakan bayangan di kejauhan. Tidak ada kata yang terucap darinya, tetapi kehadirannya cukup untuk memberikan rasa aman kepada rombongan.

"Jadi ini utara," gumam EstoMido, menggigil sambil menarik jubahnya lebih rapat. Bibirnya memucat, tetapi senyumnya masih mencoba menutupi ketegangan. "Aku yakin, suatu hari, kita akan menganggap perjalanan ini adalah ide yang buruk." Suaranya disertai desahan panjang yang hampir terdengar seperti tawa gugup.

"Kalau begitu jangan mati di sini," Nova menjawab dengan ringan, meskipun ia tak melepaskan tongkat sihirnya yang bersinar lembut. Semburat cahaya biru dari tongkat itu seakan menjadi satu-satunya kehangatan di tengah bentangan beku ini. Matanya melirik EstoMido sejenak sebelum kembali fokus pada langkahnya. "Percayalah, aku tidak akan menyeret tubuhmu ke kota berikutnya kalau kau menyerah sekarang."

"Eeeeh bukankah orang-orang Utara itu kuat-kuat, kenapa bisa sampai kalah… aneh" lanjut EstoMido

"hei ingat lah, kau dan nona Aisya dulu diselamatkan kapten mereka Arisu bukan? Setidaknya balas budi lah tuan baron" lepas Nusa meliriknya dengan wajah ngantuk

Kemudian EstoMido berdiri dan bergestur menaik turunkan tangan jarinyanya sereti orang italia dan membantah Nusa "ya bukan berarti aku harus sekarat lagi, gila saja melawan sesautu yang para pembunuh raksasa itu tidak bisa lawan. Mau dirujak musuh jadi apa kita? Cacing?"

"Cukup," potong Cino dengan nada tegas yang membawa otoritas tak terbantahkan. Suaranya bergema di udara dingin, membuat semua kepala menoleh kepadanya. "Kita punya misi. Penduduk kekaisaran menggantungkan harapan pada kita. Fokuslah." Matanya beralih ke Aisya yang berdiri di depan rombongan. "Siap memimpin?"

Aisya tidak langsung menjawab. Ia menarik napas dalam, udara dingin menusuk paru-parunya. Ia memandang wajah-wajah di belakangnya, para penyihir penyembuh yang mereka bawa. Wajah-wajah lelah itu tampak rapuh, tetapi di dalamnya ia bisa melihat secercah harapan, meski samar. Ia tahu bahwa mereka semua mengandalkannya untuk membawa mereka ke tempat tujuan dengan selamat. "Kita tidak bisa mundur sekarang," katanya akhirnya, suaranya menguat seiring dengan tekad yang tumbuh di hatinya. "Ayo." Ia melangkah ke depan, diikuti oleh rombongan yang mulai bergerak serempak.

Dalam pejamnya Sean sekilas terpikir "Cino kalau ada Aisya sikap tenang dan aura kuatnya bisa lebih stabil ya, hoo~ menarikk"