Fajar belum juga menyentuh ujung horizon ketika kabut di hutan semakin tebal. Udara pagi itu menggigit, namun yang lebih menggigit adalah rasa takut yang menggerogoti pikiran Elijah. Hari kelima dalam permainan ini, dan setiap hari yang berlalu terasa semakin rapuh. Setiap langkah, setiap hembusan napasnya, semakin berat, semakin penuh ketegangan.
Angka di layar holografik kembali berkedip. "21."
Ketegangan semakin menghimpit dada Elijah, namun matanya tetap waspada. Ia tahu, tidak ada yang aman di sini. Semua hanyalah kebohongan yang diselimuti kabut. Bahkan kehadiran kabut itu sendiri kini terasa seperti bagian dari permainan, menjebak dan membingungkan. Namun kali ini, ada yang berbeda. Sesuatu yang mengintai lebih dekat, menunggu saat yang tepat untuk menyerang.
Di antara gerakan kabut, Elijah mendengar langkah kaki. Suara itu tidak asing, meskipun terasa ganjil. Ada ketenangan yang tidak wajar dalam setiap jejak langkahnya. Ketika sosok itu muncul dari balik kabut, jantung Elijah hampir berhenti.
Itu adalah pria yang ia kenal. William.
Namun, kali ini ada sesuatu yang aneh. Sesuatu yang tidak sesuai dengan yang ia ingat tentang William Crane—si pembunuh berdarah dingin yang dahulu menjadi legenda pembantaian. Lihatlah dia sekarang, berdiri tegak di sana, dengan senyum yang tampak sempurna, namun tidak terasa nyata.
"Wiliam..." Elijah menyebut namanya, meski suara itu bergetar karena ketegangan yang mencekam. Ada sesuatu di balik mata pria itu yang tidak bisa dijelaskan, seolah-olah sesuatu yang bukan manusia sedang mengamati dirinya.
Pria itu mengangguk pelan, seakan mengenali wajah Elijah. "Aku tahu kau pasti terkejut. Begitulah caranya, kan?" kata William, suaranya rendah, meski terdengar halus, tidak ada kegugupan sedikit pun.
Elijah menatapnya curiga. "Kau bukan William," ujarnya dengan tegas. "Kau bukan dia."
William tertawa pelan, senyum semakin lebar, namun kali ini ada kesan yang aneh—seolah senyum itu terlalu kaku, terlalu terlatih. "Aku tahu, kau tahu, bukan? Semua ini memang tidak seperti yang kau pikirkan. Tapi, apakah itu masalahnya?" William melangkah lebih dekat, tidak ada suara langkah, hanya desah napas yang tidak wajar. "Aku bisa jadi siapa saja yang kau inginkan. Bahkan, aku bisa menjadi dirimu."
Elijah mundur satu langkah, tubuhnya tegang. "Apa maksudmu?" Ia sudah merasakan sesuatu yang lebih gelap sedang merayap di dalam dirinya. Ia mengalihkan pandangannya, mencoba mencari celah, mencoba mencari petunjuk apapun untuk memastikan apakah ini memang William, atau entah apa yang ada di depannya.
"Jangan buru-buru menilai." William kini berdiri tepat di hadapannya, begitu dekat, hampir berbisik. "Aku tahu siapa kau, Elijah. Aku tahu siapa yang kau cintai. Caleb... Anabel... Aku bisa mendengar suara mereka, suara mereka yang memanggilmu. Suara itu ada di kepalaku. Bahkan suara mereka berkata bahwa mereka percaya padamu."
Elijah membeku. Kata-kata itu menghantamnya seperti palu. Suara itu—suara Caleb dan Anabel—terasa begitu nyata, begitu penuh, namun ia tahu itu bukan mereka. Itu bukan suara mereka yang sebenarnya. Itu adalah suara yang dikendalikan oleh sesuatu yang jauh lebih mengerikan.
"Jangan percaya!" seru Elijah, meski suaranya terdengar rapuh. "Kau bukan mereka. Itu bukan suara mereka!"
William tersenyum, kali ini senyum itu lebih lebar lagi, semakin kosong. "Tapi bukankah ini yang kau inginkan? Kau ingin kembali. Kau ingin merasakan apa yang dulu kau rasakan, kan? Kau ingin merasakan kedamaian itu lagi, merasakan keyakinan itu. Aku bisa memberikannya padamu. Aku bisa menghidupkan kembali segala kenangan itu, bisa membuat semuanya terasa... nyata lagi."
Elijah terdiam, tubuhnya kaku, seakan terperangkap dalam perangkap psikologis yang semakin rapat. Ia bisa merasakan sesuatu yang aneh, seperti ada yang mengendalikannya. William, atau siapa pun itu, berbicara bukan hanya dengan kata-kata, tetapi dengan kekuatan yang tidak bisa ia jelaskan. Rasanya, dunia ini mulai kehilangan batasnya.
"Jangan biarkan dirimu terjebak dalam kenangan." William mengusap pipinya, seolah memikirkan sesuatu yang lebih dalam. "Kenangan itu hanyalah bayangan, Elijah. Yang benar-benar nyata, yang benar-benar penting... adalah apa yang ada di sini, sekarang."
"Diam!" teriak Elijah, menahan perasaan yang semakin mendalam, yang semakin menggerogoti rasionalitasnya. "Aku tahu siapa kau. Aku tahu apa yang kau lakukan. Kau bukan manusia!"
William tertawa sekali lagi, tawa yang semakin dalam dan terisi dengan keanehan. "Benar, aku bukan manusia, tapi aku bisa jadi lebih dari itu. Aku bisa menjadi bagian dari dirimu, Elijah. Aku bisa mengerti segala yang kau rasakan, karena aku tahu... kita sama. Kita memiliki kesamaan yang tidak bisa ditolak. Aku bisa membaca pikiranmu. Aku bisa menjadi bayangan yang mengelilingimu, dan ketika kau ingin mundur, aku akan selalu ada di sana untukmu."
Tiba-tiba, Elijah tidak bisa menahan diri lagi. Insting bertahan hidupnya mengalahkan pikiran rasionalnya. Dengan cepat, ia menarik pistolnya dan menembak. Proyektil melesat tepat mengenai tangan William.
Namun, yang terjadi selanjutnya membuat darah Elijah membeku. Di depan matanya, tangan William yang terluka mulai sembuh dengan kecepatan luar biasa. Kulit yang sobek menyatu kembali, otot-otot yang terputus merekat, dan luka yang baru saja terlihat menghilang dalam sekejap mata.
"Regenerasi tubuh," bisik Elijah dengan ngeri. "Kau… bisa menyembuhkan diri?"
William tersenyum lebar, senyum yang semakin mengerikan, seolah meremehkan segala upaya Elijah. "Aku bukan hanya bisa menyembuhkan. Aku bisa bertahan, berkembang. Aku lebih dari manusia sekarang, Elijah. Aku adalah sesuatu yang lebih kuat."
Dengan gerakan yang begitu cepat, William melompat ke arah Elijah, menghantamnya dengan kekuatan yang membuat Elijah terlempar beberapa langkah mundur. Elijah terjatuh, tubuhnya kesakitan, namun ia berusaha untuk segera bangkit.
"Apa yang kau inginkan dariku?" teriak Elijah, napasnya tersengal-sengal.
"Satu hal saja," jawab William, kini mendekat dengan senyuman yang semakin menggila. "Aku ingin kau percaya padaku. Cuma itu."
Elijah mundur lagi, tubuhnya terasa kaku, terperangkap dalam jaring-jaring mimikri yang semakin mengikat pikirannya. Di hadapannya, William—atau entah apa itu—terus mendekat. Senyum itu semakin melebar, semakin mengerikan.
Namun, Elijah tahu satu hal pasti: jika ia tidak bertahan, jika ia menyerah pada permainan ini, tidak ada yang akan menyelamatkannya. Bukan hanya hidupnya yang dipertaruhkan, tetapi juga kenyataan yang semakin kabur.
Satu langkah lagi, dan semuanya akan berubah. Tetapi Elijah juga sadar, ia sudah kehabisan waktu.
Angka di layar holografik kembali berkedip. "20."
Dan kabut itu semakin pekat, mengaburkan jalan keluar yang semakin jauh.