Chereads / Hukuman Terakhir / Chapter 7 - Terjepit di Antara Hidup dan Mati

Chapter 7 - Terjepit di Antara Hidup dan Mati

Elijah merasakan setiap detik berlalu seperti berjam-jam, tubuhnya sudah tak lagi mampu memberi perintah dengan sempurna. Darah yang mengalir deras dari luka-lukanya terasa semakin berat, menambah beban setiap langkah yang ia ambil. Rasa sakit yang mendera tubuhnya seakan mencekik paru-paru, membuat setiap helaan napas terasa begitu sulit. Namun, satu hal yang tidak bisa diambil darinya adalah keinginan untuk bertahan hidup.

Langkahnya tertatih, hampir jatuh beberapa kali, namun dia tetap melangkah lebih jauh ke dalam hutan. Setiap suara yang datang dari balik pepohonan membuatnya semakin waspada, namun ia tahu tidak ada tempat yang aman. Hutan ini—tempat yang seharusnya menjadi pelarian menjadi labirin yang semakin menyesatkan. Namun, ia tidak punya pilihan selain terus berjalan.

Angka di layar holografik kembali menyala, "16." Angka itu berkilau dengan dingin, seolah meremehkan ketahanan tubuhnya yang sudah semakin lemah. Tidak ada waktu untuk meresapi itu. Yang ada hanya dorongan kuat dalam dirinya untuk terus bertahan.

Satu langkah demi satu langkah, Elijah melangkah tanpa tujuan yang jelas. Ia tahu, jika ia berhenti, semuanya akan berakhir. Setiap serat tubuhnya menjerit meminta untuk berhenti, namun ia tahu kehidupan yang tersisa ada di garis tipis ini. Jika ia berhenti, itu berarti kematian.

Tiba-tiba, sebatang pohon tumbang dengan keras, suara dentuman keras memecah kesunyian hutan. Keringat dingin bercucuran dari dahi Elijah, matanya melotot penuh ketegangan, namun ia tak berani berhenti. Di depan matanya, sebuah batang pohon tergeletak. Pohon itu baru saja tumbang, dan di bawahnya, akar-akarnya yang rapuh mengarah ke jurang yang dalam. Jurang itu seolah mengingatkan Elijah tentang apa yang akan terjadi jika ia tidak cepat. Satu langkah yang salah, dan ia bisa terperosok ke dalam kegelapan yang tak ada ujungnya.

Namun, di balik kegelisahan itu, sesuatu di dalam dirinya mulai berpikir dengan jernih. Keputusan mendalam mulai terbentuk dalam pikirannya. Dia harus bertahan, dan untuk itu, ia harus memanfaatkan segala yang ada di sekitarnya.

Dengan segenap tenaga yang tersisa, Elijah mengumpulkan potongan cabang dan batu-batu besar yang tergeletak di sekitarnya. Dengan gerakan lambat, tetapi penuh fokus, ia membangun jebakan dari tali dan beberapa ranting pohon. Penuh keringat dan darah, ia menciptakan sebuah perangkap sederhana di sekitar jalur yang ia lewati. Jebakan itu bukan untuk membunuh, tetapi untuk memperlambat gerakan makhluk yang mengejarnya si humanoid yang kini seperti bayangan yang terus mengintainya.

Beberapa langkah lebih jauh, ia berhasil menemukan sebatang pohon tinggi dengan cabang-cabang yang cukup kuat untuk menopang tubuhnya. Dengan susah payah, ia merangkak dan memanjat pohon itu. Setiap gerakan terasa menyiksa, tapi akhirnya, ia berhasil mencapai cabang yang cukup tinggi. Dari atas, ia bisa melihat jejak langkah humanoid itu semakin mendekat, melangkah dengan mantap, tanpa ragu. Wajah makhluk itu masih kosong, tak menunjukkan ekspresi, tetapi Elijah tahu ini adalah akhir dari pengejarannya.

Dia menarik napas dalam-dalam, menenangkan dirinya sebelum melakukan langkah terakhir. Makhluk itu pasti akan mencari jejak-jejaknya di tanah, tapi dengan jebakan yang ia buat, ia bisa sedikit lebih lama untuk bersembunyi.

Namun, suara langkah itu semakin dekat, makin mendekat, semakin mengerikan. Elijah tahu, jika dia tetap berada di sana terlalu lama, dia akan terdeteksi. Rencana terakhirnya adalah bertahan hidup dengan menggunakan kekuatan alam.

Ia menggigit bibir, mencengkeram cabang pohon lebih erat dan menunggu dengan cemas. Dalam keheningan hutan, ia mendengar suara itu suara kasar dari makhluk humanoid yang tampaknya tidak merasa takut atau terhambat oleh apa pun.

Namun, begitu makhluk itu memasuki area yang telah ia siapkan dengan jebakan, sebuah tali yang terhubung pada batu besar di atas pohon, terlepas. Batu itu jatuh dengan suara keras ke tanah, langsung mengenai pohon yang lebih kecil di bawahnya, menyebabkan cabang-cabang patah dan suara gemuruh yang membuat makhluk itu terhenti sesaat. Sesaat yang cukup bagi Elijah untuk bergerak.

Ia melompat dari cabang pohon dengan gesit, meski tubuhnya hampir tak mampu lagi bergerak. Dengan susah payah, ia berlari menembus kabut, bersembunyi di balik semak-semak, menggunakan pepohonan untuk melindungi dirinya.

Makhluk itu berhenti sejenak, mengamati sekeliling, namun tidak lama kemudian, dengan senyum kosong di wajahnya, ia melangkah mundur dan menghilang ke dalam kabut. Tiba-tiba, semua terasa hening. Elijah mendengus lega meskipun luka-lukanya sangat parah. Dia berhasil kabur.

Namun, tubuhnya terasa seperti terkoyak. Ia jatuh ke tanah, gemetar. Rasa sakit yang luar biasa mengguncang tubuhnya, namun ia tahu, ia telah melewati satu ujian besar terlepas dari semua penderitaan dan kerapuhannya, ia berhasil bertahan hidup.

"16," angka itu kembali berkedip di layar holografik, tetapi kali ini, Elijah tidak peduli lagi dengan angka itu. Yang ia tahu adalah satu hal: dia berhasil melarikan diri. Dan itu sudah cukup.

Namun, ia juga tahu kehidupan ini, meski ia berhasil lolos dari maut hari ini, akan semakin brutal seiring berjalannya waktu. Setiap detik akan menjadi perjuangan. Tapi setidaknya, untuk hari ini, dia masih hidup.