Fajar belum sepenuhnya menyentuh horizon, namun kabut tebal di hutan semakin menggulung, menyelimuti setiap langkah yang diambil oleh Elijah. Udara dingin menggigit kulitnya yang penuh luka, sementara rasa sakit yang menyiksa semakin terasa di seluruh tubuh. Setiap napas yang ia hirup terasa semakin sulit, seolah dunia ini semakin sempit, namun ada satu hal yang membuatnya tetap bergerak: keinginan untuk bertahan hidup.
Angka di layar holografik itu kembali muncul, menyala dengan dingin, mengingatkannya bahwa waktu terus berjalan. "17."
Elijah tahu, itu berarti ada 17 orang yang masih bertahan. Namun, siapa yang masih peduli dengan angka-angka itu? Setiap detik yang berlalu seolah semakin berat, tubuhnya nyaris tak mampu bergerak lebih jauh. Ia hanya bisa terus melangkah, meski setiap gerakan terasa seperti siksaan. Keinginannya untuk bertahan hidup semakin kuat, namun tubuhnya hampir menyerah.
Dari balik kabut yang tebal, langkah-langkah berat mulai terdengar. Setiap jejak langkah yang mendekat terasa semakin mematikan. Elijah menoleh, dan di sana dia melihatnya.
Sosok itu berdiri di tengah kabut, tak bergerak, menatapnya dengan pandangan kosong. Itu adalah makhluk yang telah membunuh William, atau setidaknya, sosok yang menyamar sebagai William. Ia tidak terlihat seperti manusia lagi, wajahnya terdistorsi, mata yang tajam dan dingin, dan senyum yang tak lebih dari sekadar ilusi.
Tapi yang paling menakutkan adalah kenyataan bahwa makhluk itu sudah tahu apa yang ada di pikirannya. Keputusasaan, ketakutan, dan rasa sakit yang ia rasakan sekarang.
Makhluk itu tidak bergerak lebih jauh. Sosok itu hanya berdiri diam, mengamatinya seolah sedang menilai. Tidak ada kebencian atau keinginan untuk membunuh, hanya sebuah ketenangan yang sangat mengerikan.
"Kenapa kau tidak mengejarku?" tanya Elijah, dengan suara serak. Ia berusaha melawan rasa takut yang menguasai dirinya.
Makhluk itu hanya tersenyum, senyum yang semakin tidak manusiawi. "Kau tidak akan bertahan lama, Elijah. Tidak ada gunanya mengejar sesuatu yang sudah pasti jatuh."
Elijah menggertakkan giginya. "Jadi, kau biarkan aku pergi begitu saja?" tanyanya, hampir tidak percaya.
Makhluk itu mengangguk perlahan. "Tidak ada gunanya memburu seseorang yang sudah tak punya harapan. Kau pikir kau bisa bertahan? Tidak ada yang bisa bertahan lebih lama dari ini. Aku hanya ingin melihat berapa lama lagi kau bisa melarikan diri."
Elijah hampir tidak bisa percaya dengan apa yang ia dengar. Kenapa makhluk itu tidak membunuhnya sekarang? Kenapa ia membiarkannya kabur meskipun jelas bahwa Elijah sudah tak mampu bertahan lebih lama?
"Jadi, kau pikir aku akan mati juga, seperti yang lainnya?" kata Elijah, berusaha keras untuk menahan tubuhnya agar tetap tegak.
Makhluk itu hanya tersenyum lebih lebar, tanpa jawaban lebih lanjut. Namun, ada keheningan yang dalam dalam tatapannya. Keheningan yang mengatakan bahwa semuanya sudah ditentukan. Elijah, dalam pikirannya yang kabur, menyadari satu hal: makhluk itu tidak peduli apakah ia bertahan hidup atau mati. Tujuan makhluk itu bukan untuk membunuhnya sekarang, tapi untuk melihatnya terus menderita, untuk melihatnya perlahan hancur.
Dengan sisa tenaga yang ada, Elijah berbalik dan melangkah menjauh, tubuhnya terasa semakin lemah, darah mengalir deras dari lukanya, namun ia tahu—dia tidak boleh berhenti. Sekarang adalah satu-satunya kesempatan untuk kabur, untuk bertahan hidup lebih lama.
Di belakangnya, makhluk itu tetap diam, menatapnya dengan tatapan yang kosong. Tanpa suara. Tanpa pergerakan. Makhluk itu hanya menunggu. Ia tahu bahwa Elijah tidak akan bertahan lama. Ini bukan tentang berburu atau menghabisi nyawa; ini tentang memperlihatkan kekuatan yang lebih besar daripada apa pun yang ada di dunia ini.
Sebelum Elijah benar-benar menghilang dari pandangan makhluk itu, sebuah suara terakhir terdengar, pelan dan penuh makna.
"Jangan sia-siakan waktumu, Elijah. Aku tahu kau tidak akan bertahan."
Dengan kalimat itu, makhluk itu berbalik, melangkah pergi, meninggalkan Elijah yang terhuyung-huyung. Makhluk itu tahu, dalam waktu singkat, Elijah akan terjatuh, atau kekuatan yang tersisa dalam dirinya akan habis. Tidak ada lagi yang perlu dibuktikan. Tidak ada lagi yang perlu dikejar.
Angka di layar holografik kembali berkedip. "16."
Elijah mendengus pelan, menyadari bahwa angka-angka itu tidak lagi berarti apa-apa baginya. Ia tahu, di dunia ini, hanya ada satu hal yang harus ia lakukan: bertahan hidup. Meskipun kelelahan dan rasa sakit terus menggerogoti tubuhnya, ia tahu tidak ada pilihan lain.
Namun, dengan setiap langkah yang ia ambil, dia merasa semakin jauh dari harapan. Apakah ia benar-benar bisa bertahan lebih lama?