Fajar muncul samar di balik rerimbunan pepohonan, membawa kabut tipis dan hawa dingin yang menyelimuti lantai hutan. Suasana pagi seharusnya terasa damai, tetapi bagi Elijah, itu hanyalah ilusi belaka. Setiap desiran angin, setiap bayangan yang bergerak, terasa seperti ancaman yang siap mencengkeram tenggorokannya.
"22." Angka itu kembali terpampang di layar holografik yang melayang di udara, bersinar dingin seperti pisau. Dua puluh dua peserta tersisa. Angka yang terus berkurang, setiap kali seseorang meregang nyawa.
Elijah bersandar di batang pohon besar, bahunya lunglai, matanya menatap kosong pada api kecil yang ia nyalakan. Api itu tampak sekarat, seperti harapannya. Jemarinya menggenggam pistol erat senjata tua yang terasa lebih ringan daripada rasa bersalah yang ia bawa.
Kenangan itu kembali datang tanpa diundang. Caleb. Senyum polos anaknya, bocah tiga tahun dengan pipi tembam dan mata berbinar, terbayang begitu nyata di kepalanya. "Ayah... kapan pulang?" Suara kecil itu bergaung di telinganya. Elijah memejamkan mata erat, mencoba mengusir bayangan itu, tetapi malah muncul sosok lain Anabel. Anabel dengan gaun putih sederhananya, berdiri di depan jendela kecil rumah mereka. Aroma kopi pagi hari menyertai suara lembutnya.
"Aku percaya padamu," kata-kata itu terngiang seperti hukuman. Keyakinan itu yang menyeretnya sejauh ini.
Hati Elijah terasa seperti dicengkeram. Dia bukan pahlawan. Dia bukan suami baik. Dia hanya pria putus asa yang memilih jalan salah.
Semua berawal dari hari sial itu. Caleb terbaring lemah, wajahnya pucat pasi, dan tagihan rumah sakit datang seperti gelombang maut yang tak pernah surut. Merampok bank kecil di pinggir kota itu terdengar seperti satu-satunya pilihan. Satu kesempatan untuk menyelamatkan Caleb. Namun, di dalam bank itu… semuanya salah.
"Berhenti!" suara penjaga bank itu masih bergema di benaknya. "Lepaskan senjata itu, atau aku"
Elijah tidak memberi waktu. Tembakannya melesat, dan tubuh penjaga itu jatuh keras ke lantai marmer. Darah mengalir, memenuhi udara dengan bau logam yang tajam. Elijah berdiri mematung saat pistol di tangannya bergetar. Wajah Caleb melintas di pikirannya. Aku melakukan ini untukmu, gumamnya dalam hati, bahkan saat ia tahu tidak ada lagi jalan kembali.
Suara langkah kaki membuyarkan lamunannya. Elijah langsung siaga, menodongkan pistol ke arah semak yang bergerak. Jantungnya berpacu, napasnya tertahan. Seorang pria muncul dari balik kabut. Langkahnya pelan, tenang, bahkan terlalu tenang.
Pria itu tinggi, berotot, dengan kepala plontos dan bekas luka panjang di pipi kirinya. "Tenang, bung," ujarnya dengan senyum tipis, mengangkat tangannya perlahan. "Aku hanya ingin bicara."
Elijah tetap menodongkan senjatanya. "Siapa kau?"
"William," jawab pria itu santai. Suaranya dalam dan berbahaya, seperti ular yang menyelinap di rumput. "Aku pikir kita bisa bekerja sama."
Nama itu membuat dada Elijah berdesir. William Crane. Itu bukan nama yang mudah dilupakan. Pembunuh berdarah dingin yang membantai ratusan orang. Monster.
"Kau… William Crane?" gumam Elijah, suaranya serak.
William tersenyum lebar, senyum yang terlalu sempurna untuk situasi ini. "Aku tersanjung kau masih mengingatku. Dunia mudah lupa, tapi legenda selalu bertahan." Matanya menyipit, menatap Elijah seperti predator menilai mangsanya. "Kau tahu? Kita tidak begitu berbeda."
"Aku bukan pembunuh sepertimu." Elijah menyentak kasar.
William terkekeh. "Oh, tapi kau ada di sini, sama sepertiku. Kau menembak orang itu, bukan? Kau kira dunia peduli alasanmu? Kau dan aku sama saja di mata mereka." Pria itu mendekat selangkah, bayangannya memanjang di balik kabut pagi.
Elijah mulai merasakan ada yang aneh. Langkahnya. Tidak ada suara. Tidak ada gerakan yang tidak sengaja. Segalanya… terlalu sempurna. Bahkan ketika William berbalik dan berjalan menjauh, bahunya tetap tegak seperti garis lurus. Nafas Elijah tertahan.
Bukan manusia. Pikiran itu muncul seperti petir di kepalanya.
Gerakan kepala yang kaku. Langkah tanpa suara. Punggung yang terlalu tegap. Elijah menelan ludah, kenangan malam sebelumnya menghantamnya. Ia melihat William pria yang sama dibunuh oleh humanoid itu, dan sekarang…
"Tidak." Bisikan Elijah nyaris tak terdengar. Itu bukan William. Itu humanoid yang menyamar. Mesin pembunuh itu sudah berevolusi.
William atau apapun itu berhenti sejenak, menolehkan kepalanya sedikit ke arah Elijah. Ada sesuatu yang salah dengan senyum itu. Terlalu mekanis. Terlalu kosong.
"Kita akan bertemu lagi, Elijah," katanya, suaranya nyaris seperti manusia. Nyaris.
Ketika sosok itu menghilang dalam kabut, jantung Elijah berdetak kencang. Keringat dingin membasahi punggungnya. Ini jauh lebih buruk dari yang ia kira. Mereka mesin-mesin itu telah belajar. Mereka bisa meniru manusia. Bentuk, suara, bahkan cara berpikir.
Elijah meremas gagang pistolnya. "Aku harus bertahan sampai malam," gumamnya pada dirinya sendiri. "Karena setiap malam mereka tidak bergerak. Asumsiku, malam adalah titik kelemahan humanoid itu."
Angka di layar holografik kembali berkedip. "21."
Kabut pagi perlahan memudar, tetapi bagi Elijah, kabut ketakutan semakin pekat. Kini ia tahu, bukan hanya manusia yang harus diwaspadai. Kegelapan menyimpan ancaman yang bahkan lebih sempurna—dan lebih mematikan.