Waktu terus berjalan. Suara langkah kaki yang cepat dan terengah-engah menggema di hutan, diikuti oleh jeritan dan teriakan yang menandakan bahwa pertempuran telah dimulai. Elijah berdiri tegak, tubuhnya dipenuhi ketegangan. Hanya ada satu aturan di Arena ini: bertahan hidup. Tidak ada yang peduli dengan moralitas atau kemanusiaan. Setiap orang di sini adalah musuh, dan yang lemah akan hancur.
Di kejauhan, angka "30" di layar besar itu perlahan turun menjadi "29". Hanya tinggal sedikit waktu sebelum darah mulai tumpah.
Elijah merapatkan pelipisnya, berusaha mengatur napasnya yang terengah-engah. Setiap langkahnya dihitung, setiap arah harus diperhatikan. Musuh bisa datang dari mana saja. Di balik semak-semak, di antara pepohonan, atau bahkan di udara. Namun, yang lebih mengerikan adalah robot pembunuh yang diprogram untuk tidak ragu menghabisi siapa saja yang dianggap ancaman.
Di tengah hutan yang dipenuhi oleh layar holografik raksasa, hanya ada empat robot yang tersebar, masing-masing memiliki desain tubuh mekanis yang besar dan mengerikan, dilengkapi dengan senjata tajam yang bisa menghancurkan tubuh manusia dalam sekejap. Namun, yang lebih menakutkan adalah para manusia di sekitarnya tiga puluh jiwa yang terjerat dalam permainan ini, dipaksa untuk bertahan dengan cara yang paling brutal.
Sofia, yang kini menyembunyikan dirinya di antara pepohonan, sudah melihat mangsanya. Seorang pria muda, wajahnya masih tampak kebingungan, berdiri tidak jauh darinya. Senyum licik terukir di bibir Sofia. Dia bergerak cepat, tanpa suara, meluncur seperti bayangan yang siap memangsa.
Pria itu berbalik, terkejut melihat sosoknya. "Kamu..." ucapnya terbata, namun sebelum kata-kata itu selesai, Sofia sudah berada di depannya. Dengan gerakan cepat, dia menusukkan pisau tajamnya ke tenggorokan pria itu. Darah muncrat ke udara, warnanya kontras dengan hijaunya hutan.
"Maaf, sayang," bisik Sofia dengan suara lembut, meskipun matanya penuh dengan kekejaman. "Kamu terlalu lemah."
Sofia menarik pisau dari tubuh pria itu dengan tenang, membiarkan tubuhnya jatuh ke tanah dengan suara berdentang yang menambah kesan kelam. Dia menatap mayat itu sesaat sebelum melangkah pergi, matanya berbinar dengan kepuasan.
Sementara itu, Elijah bergerak lebih jauh ke dalam hutan. Setiap langkahnya dilaksanakan dengan hati-hati. Dia tahu, dalam permainan ini, tidak ada yang bisa dipercaya. Dia meraba senjata yang ada di pinggangnya pistol kecil yang sudah diprogram dengan peluru tajam. Namun, dia tahu, jika dia ingin bertahan hidup, dia harus lebih licik.
Di belakangnya, suara langkah kaki mendekat. Elijah berbalik, hanya untuk melihat seorang pria berbadan besar, dengan wajah penuh luka dan mata yang penuh kebencian. Tanpa kata, pria itu menyerang, menebas dengan kapak besar yang dia bawa.
Elijah melompat ke samping, menghindari serangan yang hampir mengenai tubuhnya. Dalam sekejap, dia mengeluarkan pistolnya dan menembak. Peluru itu menghantam dada pria itu, tapi pria itu hanya terhuyung sejenak sebelum kembali menyerang.
Pria itu tertawa, tertawa yang menyeramkan. "Kau pikir tembakan kecil itu bisa menghentikan aku?" teriaknya. Namun, Elijah tahu bahwa dia tidak bisa bermain-main lagi. Dengan cepat, dia menghindar dan melepaskan tembakan kedua. Kali ini, peluru itu menghantam kepala pria itu, membuatnya terjatuh ke tanah dengan kepala yang hancur.
Elijah berdiri tegak, napasnya terengah-engah. Di sekitar tubuh pria itu, darah mulai menggenang. "Sial," bisiknya, merasa geli sekaligus ngeri dengan apa yang baru saja dia lakukan.
Namun, itu belum berakhir. Angka di layar besar kini menunjukkan "27". Dua puluh tujuh orang lainnya masih berjuang untuk bertahan hidup. Beberapa dari mereka bersembunyi, beberapa lainnya berburu. Dan yang lebih mengerikan—empat robot pembunuh itu terus bergerak, siap menghapus siapa pun yang mereka anggap sebagai ancaman.
Di sisi lain arena, Leon "The Butcher" Crane tidak pernah merasa lebih hidup. Setiap serangan yang dilakukannya terasa seperti ledakan kegembiraan dalam dirinya. Saat ia menangkap seorang pria yang lari terburu-buru, dia tidak memberi ampun. Dengan tangan besar, dia meraih tenggorokan pria itu dan memeluknya dengan kekuatan yang mematahkan tulang-tulang lehernya. Namun, dia belum puas. Leon memotong tubuh korban itu dengan pisau besar, menikmati setiap tetes darah yang mengalir di tanah. "Hanya darah yang bisa memberi kepuasan," gumamnya dengan suara serak, seolah berbicara kepada dirinya sendiri.
Di dekatnya, robot berbentuk humanoid dengan senjata laser di tangannya melangkah tanpa ampun, menghancurkan dua orang yang bersembunyi di dalam gua kecil. Hanya sekejap sinar laser itu mengiris tubuh mereka, menyisakan tubuh yang terpotong-potong seperti daging yang sudah dibersihkan.
Sementara itu, Elijah bergerak lebih jauh, menyadari bahwa dia bukan hanya bertarung melawan manusia. Mereka yang diprogram untuk membunuh tidak akan menunggu untuk memberikan ampun. Dia harus cerdas, harus licik. Hanya dengan itu dia bisa tetap hidup.
Dunia ini penuh dengan darah, dan hanya mereka yang sanggup menghadapinya yang bisa bertahan. Dalam permainan ini, tidak ada belas kasihan, hanya kemenangan yang akan membebaskan mereka. Tetapi untuk meraihnya, mereka harus melewati ladang pembantaian yang tak terhindarkan.
Dan arena ini baru saja dimulai.