Bab 23: Ujian Kebenaran
Ketika pintu kuil tertutup rapat di belakang mereka, cahaya yang aneh dan dingin mengisi ruangan. Langit-langit tinggi dipenuhi ukiran yang seolah bergerak di bawah sorotan cahaya, sementara dindingnya dihiasi simbol-simbol kuno yang tampak hidup.
Aiko, Mikoto, dan Ryo berdiri diam, merasakan suasana yang mencekam. Udara di dalam kuil terasa berat, seolah menekan dada mereka.
"Ini berbeda dari tempat mana pun yang pernah kita datangi," kata Mikoto sambil memandang sekeliling.
Ryo mengangguk, menggenggam pedangnya erat. "Rasanya seperti setiap sudut tempat ini mengawasi kita."
Tiba-tiba, cahaya dari langit-langit meredup, meninggalkan mereka dalam kegelapan total. Sebelum mereka sempat bereaksi, suara yang dalam dan menggema memenuhi ruangan.
"Selamat datang, para pencari kebenaran."
Suara itu terdengar seperti datang dari segala arah, membuat mereka sulit menentukan sumbernya.
"Hanya mereka yang dapat menghadapi bayangan hati mereka yang akan menemukan jalan keluar. Bersiaplah, karena masing-masing dari kalian akan menghadapi ujian kalian sendiri."
Aiko merasa tubuhnya ditarik oleh kekuatan tak terlihat. "Apa yang terjadi?!" teriaknya, tetapi suaranya terdengar jauh, seperti teredam. Mikoto dan Ryo tampak semakin jauh, hingga mereka benar-benar menghilang.
Ketika Aiko membuka matanya lagi, dia berada di tempat yang berbeda. Sebuah ruangan luas dengan lantai berkilau seperti cermin membentang di sekelilingnya. Tidak ada dinding atau langit-langit, hanya kekosongan tak berujung.
Ujian Aiko
Aiko berdiri sendirian di ruangan itu, merasa kecil di tengah kekosongan yang luas. Namun, sebelum dia sempat bergerak, sebuah sosok muncul di depannya. Sosok itu adalah dirinya sendiri, tetapi berbeda.
Wujud itu mengenakan pakaian hitam dengan aura gelap yang menyelubunginya. Rambutnya lebih panjang, dan matanya memancarkan kebencian yang dalam.
"Akhirnya kita bertemu lagi," kata sosok itu dengan senyum sinis.
Aiko mundur selangkah. "Siapa kau?"
"Aku adalah dirimu," jawab sosok itu. "Bagian dari dirimu yang selalu kau tolak. Rasa marahmu, rasa takutmu, dan kebencian yang kau simpan dalam-dalam. Kau pikir bisa menyembunyikan aku, tetapi aku selalu ada."
"Aku tidak membencimu," kata Aiko, mencoba tetap tenang. "Aku hanya… aku tidak tahu bagaimana menghadapi perasaan itu."
Sosok itu tertawa. "Tepat sekali. Kau tidak tahu bagaimana menghadapi aku, karena kau lemah. Kau selalu bergantung pada orang lain untuk melindungimu. Ryo, Mikoto, bahkan kekuatan barumu—kau tidak pernah percaya pada dirimu sendiri!"
Kata-kata itu menusuk hati Aiko. Dia ingin membantah, tetapi di dalam dirinya, dia tahu ada kebenaran dalam ucapan itu.
"Kalau kau ingin lolos dari sini," lanjut sosok itu, "buktikan bahwa kau tidak membutuhkanku. Buktikan bahwa kau cukup kuat untuk melangkah tanpa bayanganku!"
Bayangan itu menyerang dengan cepat, menggunakan energi hitam yang menyelimuti seluruh tubuhnya. Aiko menangkis serangan itu dengan cahayanya, tetapi setiap benturan membuat tubuhnya gemetar.
"Kenapa aku harus bertarung melawan diriku sendiri?" pikir Aiko, mencoba mencari jawaban di tengah serangan tanpa henti.
Akhirnya, sebuah ide muncul di benaknya. Jika sosok ini adalah bagian dari dirinya, maka melawannya bukanlah solusi. Dia harus menerimanya.
Ketika bayangan itu meluncurkan serangan berikutnya, Aiko menurunkan tangannya, membiarkan serangan itu mendekat. Tapi sebelum serangan itu mengenainya, dia membuka tangannya, memeluk bayangan itu dengan erat.
"Aku tidak takut padamu," kata Aiko dengan suara tegas. "Kau adalah bagian dari diriku, dan aku menerimamu."
Bayangan itu berhenti, tampak terkejut. Energi hitam di sekelilingnya memudar, dan matanya yang penuh kebencian berubah menjadi damai.
"Kau akhirnya mengerti," kata bayangan itu. "Aku tidak pernah ingin melawanmu. Aku hanya ingin kau melihatku… dan menerima aku sebagai bagian dari dirimu."
Bayangan itu perlahan memudar, meninggalkan Aiko sendirian di ruangan itu. Tapi kali ini, dia merasa lebih kuat, lebih lengkap.
Ujian Mikoto
Sementara itu, Mikoto berdiri di ruangan lain, dikelilingi oleh bayangan orang-orang yang dia kenal. Mereka berbicara padanya dengan suara menyakitkan.
"Kau tidak berguna," kata salah satu bayangan. "Kau hanya beban bagi Aiko dan Ryo."
"Kau selalu melarikan diri dari tanggung jawab," tambah bayangan lain.
Mikoto berusaha melawan kata-kata itu, tetapi semakin dia mencoba, semakin kuat suara mereka. Akhirnya, dia menyadari bahwa melawan bukanlah jawabannya. Dia duduk di lantai, menutup matanya, dan memusatkan pikirannya pada hal-hal yang membuatnya kuat: keinginannya melindungi teman-temannya dan tekadnya untuk terus maju.
Bayangan itu perlahan memudar, meninggalkan Mikoto sendirian dengan perasaan damai.
Ujian Ryo
Ryo berdiri di tempat yang gelap, dikelilingi oleh bayangan masa lalunya. Dia melihat dirinya yang lebih muda, memegang tangan adiknya yang terluka—kenangan yang tidak pernah bisa dia lupakan.
"Kau gagal melindungi mereka," kata suara di kepalanya.
Ryo mengepalkan tinjunya. "Aku tidak akan gagal lagi."
Dia menghadapi bayangan itu dengan kekuatan yang luar biasa, tetapi bukan dengan kebencian. Dia mengingatkan dirinya bahwa kegagalan masa lalu adalah pelajaran, bukan akhir dari segalanya. Dengan itu, bayangan-bayangan tersebut lenyap, meninggalkan Ryo sendirian, tetapi lebih kuat.
Kembali Bersama
Ketika ketiganya menyelesaikan ujian mereka, mereka mendapati diri mereka kembali ke ruangan utama kuil. Pintu lain terbuka di depan mereka, memancarkan cahaya terang yang tampaknya mengundang mereka untuk melangkah lebih jauh.
"Bagaimana kalian?" tanya Aiko sambil menatap Mikoto dan Ryo.
"Sudah selesai," jawab Ryo sambil tersenyum tipis.
Mikoto mengangguk. "Aku tidak tahu apa yang ada di depan kita, tapi aku yakin kita siap."
Aiko menatap pintu itu dengan penuh tekad. Dia tahu bahwa perjalanan mereka belum selesai, tetapi dengan kekuatan baru yang dia temukan dalam dirinya, dia merasa siap untuk menghadapi apa pun yang menanti mereka.
"Kalau begitu, ayo kita lanjutkan," kata Aiko, melangkah ke depan dengan teman-temannya di sisinya.
Cahaya di balik pintu itu semakin terang, menyelimuti mereka saat mereka memasuki babak berikutnya dari perjalanan mereka.