Bab 28: Bayangan yang Muncul Kembali
Aiko, Mikoto, dan Ryo melangkah keluar dari ruang kosong yang telah memperlihatkan kepada mereka kebenaran tentang takdir dunia. Udara segar dari luar menyambut mereka, meski kedamaian itu terasa jauh dari kenyataan yang akan mereka hadapi. Dunia yang mereka kenal seolah menunggu sesuatu yang besar terjadi—sebuah perubahan yang tak dapat dihindari.
"Jadi, apa yang harus kita lakukan sekarang?" tanya Mikoto, suaranya tenang namun penuh kekhawatiran. "Dunia ini... tidak akan berubah begitu saja hanya karena keputusan kita, kan?"
Aiko memandang ke langit biru yang terbentang di atas mereka. "Tidak, dunia tidak akan berubah dengan cepat. Tapi aku tahu kita harus memulai sesuatu. Langkah pertama kita adalah mencari tahu lebih lanjut tentang kekuatan gelap yang masih mengancam dunia ini. Kita tidak bisa hanya berdiam diri menunggu."
Ryo, yang sejak tadi hanya diam, akhirnya berbicara dengan nada serius. "Aku setuju dengan Aiko. Kita harus mengungkap siapa yang sebenarnya mengendalikan kegelapan ini. Mereka yang menginginkan kekuatan dari dunia ini pasti tidak akan berhenti hanya karena kita membuat pilihan."
Ketiganya merasa bahwa meskipun keputusan mereka untuk memilih cahaya sudah diambil, ini baru permulaan dari sebuah perjuangan yang panjang. Mereka harus menghadapi banyak tantangan untuk bisa melindungi dunia dari ancaman yang lebih besar. Tidak hanya itu, mereka juga harus berhadapan dengan kekuatan misterius yang selama ini tersembunyi, menunggu waktu yang tepat untuk menyerang.
"Ke mana kita harus pergi dulu?" tanya Mikoto, menyadari bahwa mereka harus mencari informasi lebih lanjut untuk melangkah lebih jauh.
Aiko berpikir sejenak, kemudian menjawab, "Ada sebuah tempat yang mungkin bisa memberi kita jawaban. Aku pernah mendengar tentang Kuil Cahaya, sebuah tempat yang dianggap sebagai pusat kekuatan para dewa. Jika kita bisa menemukan tempat itu, mungkin kita bisa mendapatkan petunjuk tentang cara mengalahkan kekuatan gelap yang ada."
Ryo mengangguk. "Kuil Cahaya… jika memang itu ada, kita harus menemukannya sebelum kekuatan gelap mengetahui bahwa kita sedang mencarinya."
Mereka bertiga bersepakat untuk memulai perjalanan menuju Kuil Cahaya. Namun, perjalanan itu tidaklah mudah. Mereka harus melewati hutan lebat, gunung-gunung tinggi, dan medan berbahaya lainnya. Selain itu, Aiko merasa ada sesuatu yang mengawasi mereka—sebuah kekuatan gelap yang sudah mengetahui pilihan mereka dan sedang menunggu saat yang tepat untuk melancarkan serangan.
Seperti yang mereka duga, perjalanan pertama mereka menuju Kuil Cahaya tidak berjalan mulus. Setelah beberapa hari di perjalanan, mereka tiba di sebuah desa kecil yang terletak di kaki sebuah gunung tinggi. Desa itu tampak sepi, dengan rumah-rumah yang hampir semuanya terkunci rapat. Ada rasa tidak nyaman yang menggantung di udara, seolah-olah desa ini menyembunyikan sesuatu yang gelap.
"Ada yang tidak beres di sini," kata Mikoto, matanya mengawasi sekitar dengan waspada. "Aku merasa seperti ada yang mengintai kita."
Ryo menatap desa itu dengan hati-hati. "Kita harus berhati-hati. Bisa jadi ini adalah perangkap."
Aiko, yang lebih fokus pada misi mereka, mencoba untuk tetap tenang. "Kita perlu informasi. Mungkin ada seseorang di sini yang tahu tentang Kuil Cahaya."
Mereka memutuskan untuk memasuki desa dengan hati-hati. Saat mereka berjalan melalui jalan setapak yang sempit, mereka bertemu dengan seorang pria tua yang sedang duduk di luar rumahnya, memandang ke arah mereka dengan tatapan kosong.
"Selamat datang, para pencari," kata pria tua itu dengan suara parau. "Kalian datang untuk mencari sesuatu yang lebih besar dari diri kalian, bukan?"
Aiko berhenti sejenak, menatap pria itu dengan rasa ingin tahu. "Bagaimana Anda tahu tentang kami?"
Pria tua itu tersenyum tipis. "Saya tahu lebih dari yang kalian bayangkan. Tapi jangan khawatir, saya tidak akan menghalangi langkah kalian. Kuil Cahaya memang ada, tapi jalan menuju ke sana tidak mudah. Banyak yang sudah mencoba, tapi tidak semua berhasil."
Mikoto mendekat, sedikit curiga. "Mengapa Anda tidak menghalangi kami? Apa yang Anda ketahui tentang Kuil itu?"
Pria itu mengangguk pelan. "Saya tahu bahwa kalian sedang menghadapi sesuatu yang sangat besar. Tetapi jalan menuju Kuil Cahaya akan membawa kalian ke dalam kegelapan yang lebih dalam. Kekuatan yang kalian cari bisa saja menghancurkan kalian, atau bahkan dunia ini."
Ryo menatap pria itu dengan serius. "Apa yang harus kami lakukan? Kami harus terus maju."
Pria tua itu hanya menatap mereka dalam diam. Lalu, ia berdiri dan memberi sebuah petunjuk terakhir. "Jika kalian benar-benar ingin menemukan Kuil Cahaya, kalian harus melewati tiga ujian. Ujian pertama adalah ujian dari hati kalian sendiri. Ujian kedua adalah ujian dari kekuatan yang mengalir di dalam diri kalian. Ujian ketiga adalah ujian dari masa lalu, sesuatu yang akan menguji tekad kalian untuk melanjutkan perjalanan ini."
Aiko merasa hatinya berdebar mendengar kata-kata pria tua itu. "Tiga ujian… Kami siap untuk menghadapi apa pun."
Pria itu mengangguk, lalu dengan suara yang lebih tenang, ia melanjutkan, "Ingatlah, jalan menuju Kuil Cahaya penuh dengan rintangan. Kegelapan yang kalian hadapi bukanlah sesuatu yang mudah dihindari. Jika kalian ingin melindungi dunia ini, kalian harus siap untuk mengorbankan diri kalian sendiri."
Aiko merasa kata-kata pria itu menusuk dalam hatinya. Dia tahu perjalanan ini akan jauh lebih sulit dari yang ia bayangkan, tetapi dia tidak bisa mundur. Dunia ini membutuhkan mereka, dan mereka harus terus berjuang.
Setelah berterima kasih kepada pria itu, mereka melanjutkan perjalanan mereka menuju Kuil Cahaya, bertekad untuk menghadapi ujian yang akan datang. Namun, di balik kata-kata pria tua itu, Aiko merasa ada sesuatu yang lebih besar sedang mengawasi mereka—sesuatu yang menunggu mereka di ujian pertama.
Kegelapan itu sudah dekat.