Bab 21: Kunci dalam Kegelapan
Perpustakaan kuno yang besar dan penuh dengan misteri mulai terasa seperti sebuah labirin tanpa akhir. Rak-rak tinggi dipenuhi buku-buku yang hampir runtuh oleh usia, dan setiap langkah mereka menggaungkan suara hampa di ruangan yang kosong. Aiko, Mikoto, dan Ryo melanjutkan pencarian mereka, berharap menemukan petunjuk lain yang dapat menjelaskan takdir Aiko dan ancaman yang akan datang.
Namun, di tengah pencarian, Aiko mulai merasakan sesuatu yang aneh. Energi asing mengalir di sekitar ruangan, seperti ada mata yang mengawasi setiap gerakan mereka.
"Aku merasa tempat ini hidup," gumam Aiko sambil menyentuh salah satu rak buku. Sentuhannya membuat debu beterbangan, tetapi tidak ada yang terasa luar biasa.
Ryo mengangguk. "Aku juga merasakannya. Sepertinya ada sesuatu yang mengunci energi di sini."
Mikoto berjalan lebih jauh, matanya terpaku pada sebuah buku yang tampak berbeda dari yang lain. Sampulnya terbuat dari logam hitam dengan ukiran simbol aneh yang bercahaya samar dalam gelap. Dia mengambil buku itu dengan hati-hati dan membawanya ke meja tempat Aiko dan Ryo berdiri.
"Aku rasa ini penting," kata Mikoto sambil membuka halaman pertama. Tulisan di dalamnya menggunakan bahasa kuno, tetapi simbol-simbol tertentu terasa familiar bagi Aiko.
"Aku pernah melihat simbol-simbol ini sebelumnya," kata Aiko, suaranya bergetar. Dia menunjuk salah satu simbol yang terlihat seperti lingkaran dengan garis yang memotongnya. "Ini ada di mimpi-mimpiku… dan di ingatan kabur masa kecilku."
Ryo memiringkan kepalanya, mencoba memeriksa lebih dekat. "Apa itu semacam mantra? Atau mungkin segel?"
Mikoto menunjuk bagian bawah halaman. "Ada sesuatu yang tertulis di sini. Tunggu, aku mencoba membacanya."
Dia menyipitkan matanya, mencoba mengurai bahasa kuno yang tertulis di sana. Suaranya rendah dan hati-hati ketika dia membaca:
"Hanya darah pewaris sejati yang dapat membuka kunci dalam kegelapan. Untuk mengungkap kebenaran, kau harus menghadapi bayanganmu sendiri."
Aiko menelan ludah. Kata-kata itu terasa seperti sebuah tantangan langsung untuknya.
"Bayanganmu sendiri?" gumam Aiko. "Apa itu berarti aku harus menghadapi sesuatu dalam diriku?"
Tiba-tiba, ruangan itu bergetar. Rak-rak buku bergoyang, dan debu-debu jatuh dari langit-langit. Energi yang tadi terasa samar kini menjadi semakin jelas, seperti gelombang yang menyapu mereka dari segala arah.
"Bersiaplah!" teriak Ryo, menarik pedangnya.
Dari kegelapan di ujung ruangan, sebuah bayangan muncul. Bentuknya seperti asap hitam yang terus bergerak, tetapi perlahan mulai membentuk sosok yang menyerupai Aiko. Namun, mata sosok itu merah menyala, dan auranya memancarkan kebencian yang mencekam.
"Itu… aku?" Aiko berkata dengan suara bergetar.
Bayangan itu tersenyum dingin. "Bukan kau… tapi bagian dari dirimu yang selalu kau coba sembunyikan. Ketakutan, kebencian, keraguan—aku adalah semua itu."
Mikoto dan Ryo langsung maju untuk melindungi Aiko, tetapi bayangan itu mengangkat tangannya, menciptakan gelombang energi yang mendorong mereka ke belakang.
"Ini bukan pertempuran mereka, Aiko," kata bayangan itu. "Hanya kau yang bisa menghadapiku, atau lebih tepatnya, menghadapi dirimu sendiri."
Aiko berdiri diam, tubuhnya gemetar. Dia tahu bahwa bayangan ini adalah lebih dari sekadar musuh. Ini adalah refleksi dari dirinya, bagian yang selalu dia hindari.
"Aiko, jangan biarkan dia mengintimidasi!" seru Mikoto, berusaha berdiri meskipun tubuhnya gemetar akibat serangan tadi.
Namun, Aiko tahu bahwa ini adalah pertarungan yang hanya bisa dia selesaikan sendiri. Dia mengambil napas dalam-dalam dan maju selangkah.
"Kalau kau memang bagian dari diriku," kata Aiko dengan suara yang tegas meskipun masih ada keraguan, "maka aku akan menghadapimu, apapun yang terjadi."
Bayangan itu tertawa kecil. "Kau percaya diri, tapi apakah kau benar-benar tahu siapa dirimu? Kau bahkan takut pada kekuatanmu sendiri."
Bayangan itu menyerang, melemparkan gelombang energi yang menghantam Aiko. Dia terjatuh ke lantai, tetapi segera bangkit kembali. Dalam hatinya, dia merasa bahwa pertarungan ini bukan hanya tentang kekuatan fisik.
"Aku memang takut," kata Aiko dengan suara yang gemetar namun jujur. "Tapi aku tidak akan membiarkan ketakutan itu menguasai diriku."
Bayangan itu berhenti, seolah terkejut dengan kata-kata Aiko. Namun, serangannya semakin ganas. Aiko menangkisnya, tetapi tubuhnya mulai lelah.
Di saat yang sama, sesuatu dalam dirinya mulai bangkit—sebuah energi yang hangat namun kuat. Aiko memejamkan mata, mencoba merasakan sumber kekuatan itu. Dia teringat akan kata-kata Kyros: "Hanya kau yang bisa memutuskan bagaimana kekuatanmu digunakan."
Dengan tekad yang baru, Aiko membuka matanya. Energi yang selama ini tersembunyi mulai mengalir ke seluruh tubuhnya, membuatnya merasa lebih kuat.
"Ketakutan adalah bagian dari diriku," kata Aiko. "Tapi itu tidak akan menentukan siapa aku!"
Dengan teriakan penuh semangat, Aiko melancarkan serangan balik. Sebuah cahaya terang keluar dari tangannya, menghantam bayangan itu dan membuatnya berteriak kesakitan. Bayangan itu perlahan memudar, tetapi sebelum menghilang sepenuhnya, ia tersenyum.
"Bagus, Aiko. Kau telah mengambil langkah pertama. Tapi perjalananmu masih panjang…"
Bayangan itu menghilang, dan ruangan kembali tenang. Mikoto dan Ryo segera mendekat, memastikan Aiko baik-baik saja.
"Kau berhasil," kata Mikoto dengan senyum lega.
Aiko mengangguk, meskipun tubuhnya lelah. "Aku berhasil kali ini. Tapi aku tahu ini baru permulaan."
Dari rak buku di dekatnya, sebuah buku kecil jatuh ke lantai. Aiko memungutnya, dan di halaman pertama terdapat peta yang sepertinya menunjukkan lokasi sebuah tempat yang tersembunyi.
"Sepertinya ini langkah selanjutnya," kata Ryo, memeriksa peta itu.
Aiko menggenggam peta itu erat. Dia tahu bahwa perjalanan ini semakin sulit, tetapi dia juga tahu bahwa dia tidak akan mundur. Dengan teman-temannya di sisinya, dia merasa siap untuk menghadapi apa pun yang menunggu di depan.