Bab 18: Bayangan Masa Lalu
Setelah pertempuran dengan penjaga dimensi waktu, Aiko, Mikoto, dan Ryo melanjutkan perjalanan mereka, meninggalkan medan pertempuran yang kini dipenuhi dengan kehampaan. Namun meskipun penjaga itu telah kalah, ketiganya merasakan ada sesuatu yang belum selesai. Ada perasaan aneh yang merayapi hati mereka, sebuah bayangan dari masa lalu yang tampaknya belum sepenuhnya terungkap.
"Aku merasa ada sesuatu yang lebih besar yang menunggu kita," kata Mikoto sambil berjalan di samping Aiko. "Bahkan setelah kita mengalahkan penjaga itu, rasanya tak ada yang benar-benar berubah."
Aiko mengangguk, merasakan hal yang sama. "Aku juga merasa seperti itu. Seperti ada sesuatu yang lebih dalam, sebuah rahasia yang tersembunyi jauh di dalam perjalanan ini."
Ryo yang berjalan di belakang mereka tiba-tiba memperlambat langkahnya. "Aku merasakan sesuatu yang aneh di sekitar kita. Semacam tekanan dari ruang ini. Seperti ada sesuatu yang mengintai, sesuatu yang jauh lebih kuat dari apapun yang telah kita hadapi."
Ketiganya berhenti sejenak dan menatap sekitar mereka. Dimensi waktu yang sebelumnya terasa penuh dengan keajaiban, kini tampak semakin gelap dan tidak menentu. Ruangan di sekitar mereka berdenyut seiring dengan langkah mereka, seolah menciptakan resonansi yang semakin membesar. Aiko bisa merasakan ada sesuatu yang mengalir, tetapi tidak seperti sebelumnya. Ini berbeda—lebih gelap, lebih menakutkan.
Tiba-tiba, sebuah suara gemuruh terdengar, datang dari kedalaman ruang itu. Suara itu terdengar familiar, dan semakin mendekat. "Aiko… Mikoto… Ryo…" suara itu terdengar begitu dekat, namun tak bisa mereka lihat dari mana asalnya.
"Apa itu?" Mikoto bertanya dengan gugup.
"Aku tidak tahu," jawab Aiko, merasakan ketegangan di sekelilingnya meningkat. "Tapi aku yakin itu bukan sesuatu yang bisa kita abaikan."
Suara itu semakin jelas, dan tiba-tiba sebuah sosok muncul di hadapan mereka. Sosok itu adalah bayangan gelap, seolah dibuat dari kabut yang tebal. Wajahnya tidak jelas terlihat, hanya sepasang mata yang menyala merah, menatap mereka tajam.
"Aku tahu kalian akan datang," suara itu terdengar, penuh dengan keangkuhan. "Kalian telah melewati penjaga itu, tetapi kalian tidak tahu apa yang sebenarnya menanti di balik tirai takdir ini."
Aiko mundur beberapa langkah, merasakan hawa dingin yang mengelilinginya. Mikoto dan Ryo bersiap untuk bertindak, namun Aiko mengangkat tangan mereka, meminta mereka untuk berhenti sejenak. Dia ingin memahami siapa atau apa sosok ini.
"Siapa kamu?" tanya Aiko dengan hati-hati.
Bayangan itu tertawa pelan, suaranya menggelapkan seluruh ruangan. "Aku adalah bayangan dari masa lalumu, Aiko. Aku adalah bagian dari takdirmu yang telah lama terkubur."
Aiko terkejut. "Bagian dari takdirku yang terkubur?"
"Benar," suara itu melanjutkan. "Kekuatan yang kamu miliki, kemampuan untuk berubah—semua itu bukan hanya anugerah. Itu adalah kutukan. Kekuatan yang diberikan padamu bukan tanpa harga. Kamu telah membuat pilihan yang membawa kita semua menuju takdir yang lebih gelap."
Mikoto dan Ryo saling berpandangan. Mereka bisa merasakan ketegangan yang meningkat, dan Aiko sendiri merasa bingung. "Apa maksudmu dengan kutukan?"
Bayangan itu mulai merapat ke arah mereka, wajahnya kini mulai terlihat lebih jelas. Sosok itu adalah seorang wanita, namun wajahnya tampak kabur dan tidak stabil, seolah-olah dibuat dari bayangan dan ilusi. "Kamu tak tahu, Aiko. Kamu tidak tahu siapa dirimu sebenarnya. Kekuatannya datang dari darah yang terlupakan—darah yang seharusnya tak pernah mengalir di tubuhmu. Kamu adalah keturunan dari para dewa yang terbuang, sebuah garis keturunan yang terhapus dari sejarah."
Aiko merasa dunia sekitarnya mulai berputar. "Apa? Dewa yang terbuang?"
Bayangan itu mengangguk. "Kamu adalah bagian dari garis keturunan yang dulu diasingkan oleh para dewa yang berkuasa. Mereka takut dengan kekuatanmu, kekuatan yang mampu mengubah tatanan dunia. Dan sekarang, kekuatan itu kembali, dengan cara yang tak terduga."
Aiko merasa ada yang salah. Semua yang selama ini dia ketahui tentang dirinya terasa mulai runtuh. "Tidak… itu tidak mungkin."
"Tapi itu kenyataannya," jawab bayangan itu. "Dan kini, kekuatanmu yang terpendam akan membawa dunia ini pada kehancuran. Kamu akan dipaksa untuk memilih, Aiko. Apakah kamu akan mengikuti takdirmu sebagai keturunan dewa terbuang, ataukah kamu akan mencoba menolak kekuatan yang ada dalam dirimu?"
Aiko merasa seperti dihimpit oleh kenyataan yang sangat berat. Tidak hanya harus menghadapi pilihan antara kebaikan dan kejahatan, tetapi kini dia juga harus menghadapi kenyataan bahwa dia adalah keturunan dari kekuatan yang selama ini disembunyikan dari dunia.
Mikoto dan Ryo mendekat, siap untuk memberikan dukungan, namun Aiko mengangkat tangannya, memberi isyarat untuk berhenti.
"Apa yang harus aku lakukan?" Aiko bertanya dengan suara gemetar, namun penuh tekad. "Jika aku memang benar-benar keturunan dari dewa terbuang, apakah aku harus menerima takdir itu?"
Bayangan itu tersenyum, senyuman yang dingin dan penuh dengan kebencian. "Itulah yang harus kamu pilih. Apakah kamu akan menerima takdirmu dan membawa kehancuran, ataukah kamu akan berusaha melawan takdir dan menghancurkan dirimu sendiri dalam prosesnya?"
Aiko menatap bayangan itu, merasakan kekuatan yang semakin membesar dalam dirinya. Namun, dia tahu bahwa ini bukan hanya tentang dirinya sendiri. Ini adalah ujian besar, dan dia harus membuat keputusan yang akan memengaruhi seluruh dunia.
"Aku belum tahu apa yang akan terjadi," kata Aiko dengan suara yang tegas, "tapi aku tidak akan lari dari takdirku. Aku akan berjuang untuk memilih jalan yang benar, apapun konsekuensinya."
Bayangan itu menghilang dengan cepat, meninggalkan kata-kata terakhir yang menggema di udara. "Kamu hanya punya sedikit waktu. Takdirmu akan segera terungkap."
Aiko berdiri tegak, merasakan berat keputusan yang ada di depan mata. Dia tahu bahwa perjalanan mereka baru saja dimulai, dan ujian yang lebih besar akan datang. Namun, satu hal yang pasti—dia tidak akan mundur.