Bab 2: Mengenal Diri Sendiri
Hari-hari setelah kejadian itu terasa seperti mimpi buruk yang tak pernah berakhir. Akira atau kini lebih sering disebut Aiko—nama baru yang diberikan oleh Mikoto—tidak tahu harus bagaimana menghadapi kenyataan baru yang begitu absurd. Tubuhnya telah berubah menjadi seorang gadis, dan tak hanya itu, dia juga memiliki kemampuan untuk mengubah bentuk sesuka hati. Sebuah kemampuan yang, meskipun menakutkan, ternyata sangat nyata.
Sejak saat itu, Aiko tinggal bersama Mikoto di sebuah rumah kecil yang terletak jauh dari pusat kota. Mikoto, meskipun sudah tua, masih terlihat sehat dan enerjik. Setiap hari, Aiko dipaksa untuk menjalani pelatihan yang disusun oleh Mikoto, yang katanya akan membantunya menguasai kemampuannya. Mikoto menjelaskan bahwa kemampuan Aiko bukanlah kemampuan biasa; itu adalah kekuatan dari seorang penyihir legendaris yang pernah ada, kekuatan yang kini terbangun kembali setelah berabad-abad lamanya terkubur.
"Aiko, kamu harus mulai belajar mengontrol dirimu," kata Mikoto suatu pagi saat mereka berada di ruang latihan yang sederhana. "Kemampuan ini bisa menjadi sangat kuat, tapi juga bisa berbahaya jika tidak dikendalikan dengan baik."
Aiko menatap Mikoto dengan perasaan campur aduk. Di satu sisi, dia merasa cemas dan bingung dengan segala perubahan ini. Namun, di sisi lain, dia juga merasa sedikit terhibur. Mikoto adalah satu-satunya orang yang mau berbicara tentang apa yang sebenarnya terjadi padanya. Terkadang, Aiko merasa dia hanya berada dalam dunia yang tidak bisa dia pahami.
"Apa yang harus aku lakukan?" tanya Aiko, suaranya terdengar lemah. "Aku bahkan tidak tahu apa yang harus aku kendalikan. Tubuhku berubah begitu saja, dan aku—aku bahkan tidak tahu kenapa semua ini terjadi."
Mikoto tersenyum penuh pengertian, seolah tahu persis apa yang Aiko rasakan. "Itu wajar. Kamu baru saja menyadari potensi dalam dirimu yang sangat besar. Tapi, kamu harus tahu, kekuatan ini bukan hanya tentang mengubah bentuk tubuh. Itu lebih dari itu. Ini tentang mengenali siapa dirimu sebenarnya. Mengenali kekuatan dalam dirimu dan bagaimana kamu ingin menggunakannya."
Aiko menunduk, mencoba mencerna kata-kata Mikoto. Sebagian besar waktu, Aiko merasa bingung, bahkan takut dengan kemampuan barunya. Setiap kali dia berubah, tubuhnya terasa aneh dan tidak familiar. Rasa ketidaknyamanan itu semakin besar setiap kali dia melihat diri sendiri di cermin. Apa artinya semua ini? Apakah dia benar-benar ingin memiliki kemampuan seperti ini?
Mikoto melihat kebingungan di wajah Aiko dan melangkah lebih dekat. "Aku tahu ini sulit. Tapi percayalah, kemampuan ini bukanlah kutukan. Kamu memiliki kesempatan untuk melangkah lebih jauh, untuk memahami siapa kamu sebenarnya. Jika kamu belajar mengendalikan kekuatan ini, kamu bisa melindungi dirimu dan orang-orang yang kamu cintai."
Aiko mengangguk pelan, meski hatinya masih ragu. Mikoto berkata dia harus belajar untuk menerima diri sendiri, untuk memeluk perubahan yang terjadi pada dirinya. Namun, hal itu jauh lebih mudah dikatakan daripada dilakukan.
Sejak saat itu, setiap pagi Aiko menjalani latihan yang ketat. Mikoto mengajarinya berbagai teknik dasar sihir dan cara mengendalikan tubuhnya saat berubah bentuk. Awalnya, Aiko merasa kesulitan. Terkadang, dia akan mengubah dirinya menjadi seorang gadis hanya karena panik atau kebingungan, lalu tanpa sadar kembali lagi ke bentuk laki-lakinya dalam sekejap. Proses ini berlangsung berulang-ulang dan membuat Aiko merasa semakin frustrasi.
Suatu sore, setelah latihan yang melelahkan, Aiko duduk di halaman belakang rumah Mikoto, menatap langit yang mulai gelap. Ia merasakan angin yang lembut menyentuh wajahnya, membawa sedikit ketenangan dalam pikirannya. Sambil merenung, Aiko menyadari sesuatu yang penting. Selama ini, dia terlalu fokus pada perubahan fisiknya dan lupa melihat sisi lain dari kemampuan ini. Kemampuan untuk mengubah bentuk tubuh bukan hanya soal menjadi gadis atau laki-laki. Itu adalah cerminan dari perubahan dalam dirinya yang jauh lebih dalam.
"Aku harus belajar menerima diriku," bisiknya pelan kepada dirinya sendiri.
Mikoto yang mendengar ucapan Aiko datang menghampirinya. "Apa yang kamu pikirkan, Aiko?"
Aiko mengangkat wajahnya dan tersenyum kecil. "Aku pikir… aku harus menerima kenyataan ini. Aku harus menerima siapa aku sekarang."
Mikoto tersenyum bangga. "Itulah yang aku harapkan dari kamu. Tidak mudah memang, tapi itu adalah langkah pertama yang sangat penting."
Aiko terdiam sejenak, merenung. "Tapi, bagaimana kalau aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan dengan kemampuan ini? Aku tidak tahu apa tujuan dari semua ini."
"Setiap orang punya takdirnya masing-masing, Aiko," kata Mikoto dengan lembut. "Terkadang, takdir tidak datang dengan jelas di awal. Tapi percayalah, kamu akan menemukannya. Yang perlu kamu lakukan adalah menjalani hidup ini dengan hati yang terbuka, dan kekuatan itu akan menuntunmu ke jalan yang benar."
Aiko memandang Mikoto, merasa sedikit lebih tenang. Meski ada banyak ketidakpastian dalam hidupnya, ada satu hal yang pasti—Aiko tidak sendirian dalam perjalanan ini. Mikoto ada di sana untuk membimbingnya.
Pada malam hari, Aiko terjaga dan kembali merenung. Dia duduk di ranjang kecilnya, tangan memegang cermin yang masih memperlihatkan bayangannya yang baru—gadis dengan rambut panjang hitam yang mengalir lembut. Dia merasa tak bisa lari dari kenyataan ini, tetapi di saat yang sama, Aiko juga merasa ada harapan baru. Dia mulai bisa melihat potensi dalam dirinya, meski masih banyak yang harus dipelajari.
Keesokan harinya, Mikoto memutuskan untuk membawa Aiko ke kota terdekat, untuk melihat apakah ada jejak atau petunjuk yang mengarah ke masa lalu Aiko yang masih misterius. Mereka berdua berjalan di tengah keramaian, dan Aiko merasakan kegelisahan yang sama seperti sebelumnya. Semua ini terasa asing baginya, tapi di sisi lain, dia juga merasa ada sesuatu yang menarik untuk dijelajahi.
Di tengah jalan, seorang pemuda tiba-tiba menghampiri mereka. Matanya tajam dan penuh rasa ingin tahu. "Aiko, akhirnya kita bertemu," katanya dengan suara penuh rahasia.
Aiko menatap pemuda itu dengan bingung, tidak mengenalnya sama sekali. "Siapa kamu?"
Pemuda itu tersenyum samar. "Seseorang yang tahu lebih banyak tentang dirimu daripada yang kamu kira."