Chereads / Membalas Pengkhianatan Suami dan Sahabatku / Chapter 16 - 16. Surat Pengadilan

Chapter 16 - 16. Surat Pengadilan

Membalas pengkhianatan suami dan Sahabatku (16)

"Kemarin kamu kemana Amar ?! Tidak ijin untuk tidak masuk kantor! Nomor kamu tidak dapat hubungi! Apa kamu tahu apa yang kamu lakukan itu sangat merugikan perusahaan ?!" Direktur perusahaan tempat Amar bekerja menatap Amar dengan penuh Amarah.

Direkturnya itu berdiri dengan kedua telapak tangan tertaruh di meja. Namun, tatapannya benar-benar tajam pada Amar.

Tak ada yang bisa Amar lakukan selain dia duduk menunduk menerima dirinya dimarahi oleh atasannya. 

"Apa kamu tahu ?! Ada perusahaan yang kecewa gara-gara kamu tidak datang meeting sesuai yang sudah dijadwalkan! Nura yang tugasnya sekertaris juga ngapain aja ?! Apa dia tidak bilang sama kamu jika kemarin ada meeting ?!"

Amar masih terdiam dan juga merasa marah pada Nura. Ia menginginkan,harusnya Nura memberi tahunya jika ada meeting waktu kemarin. 

"Dan akhir-akhir ini.. saya lihat kinerja kamu juga berantakan! Banyak laporan-laporan yang mesti kamu perbaiki lagi!" 

Amar juga menyadari jika akhir-akhir ini dia memang jadi sering tidak fokus dalam mengerjakan pekerjaan kantornya. Banyak pekerjaan yang terbengkalai gara-gara dia tengah kacau akan urusan pribadinya.

"Kamu itu manager pemasaran! Sangat berpengaruh besar terhadap perusahaan ini! Kalo sampai banyak yang membatalkan kerjasama dengan perusahaan ini gara-gara kelalaian kamu! Bisa-bisa bangkrut perusahaan ini!" Lagi-lagi direkturnya itu marah besar. 

"Dengar ya, Amar! Kamu harus profesional dalam kerja. Kamu mesti bisa membedakan urusan pribadi dan urusan kerjaan. Saya tidak mau tahu apapun masalah kamu. Sekarang, saya kasih kamu surat peringatan satu!"

Deg. Sontak Amar menohok. Tak bisa membantah.

"Kalau kamu masih mau bekerja disini, usahakan untuk tidak mengulanginya lagi!" 

Amar segera menganggukkan kepalanya. Ia pasrah karena memang bersalah.

"Ba-ik, Pak. Baik. Saya akan berusaha untuk tidak mengulangi hal ini lagi. Saya benar-benar minta maaf, Pak."

"Saya pegang ucapan kamu!"

Setelah itu, Direktur itu menaruh sebuah kertas surat peringatan itu di meja. 

"Itu suratnya. Kamu harus benar-benar tidak mengulanginya lagi!"

Amar mengambil surat peringatan itu.

"Baik, Pak. Saya tidak akan mengulanginya lagi."

*****

"Mas, ada apa ? 'Kok dipanggil ke ruangan direktur ?" Nura menatap heran pada Amar yang baru keluar dari ruangan direktur. 

"Aku mau bicara sama kamu." Tanpa menjawab pertanyaan dari Nura, Amar berucap dingin hingga membuat Nura kebingungan. Ia langsung berjalan, Nura mengikuti dari belakang.

Mereka masuk ke ruangan manager yang merupakan ruangan Amar.

"Kenapa kamu gak bilang sama aku kalo kemarin ada meeting ?" Langsung Amar bertanya setelah menutup pintu. Dengan perasaan kesal, Ia menatap Nura yang berdiri membelakangi pintu.

"Gimana mau bilang ? jangankan bilang. Handphone kamu itu sulit dihubungi. Aku udah beberapa kali hubungi kamu untuk bilang kalo ada meeting. Waktu aku ke rumah kamu, kamu malah usir aku." tutur Nura yang tidak terima disalahkan.

"Kamu pikir kamu aja yang dimarahi sama Pak direktur ? Aku juga dimarahi. Belum lagi sama klien yang juga marah sama aku gara-gara kecewa meeting-nya tiba-tiba batal secara sepihak!" 

"Ya kenapa kamu enggak batalkan jadwalnya ? Kenapa kamu enggak atur lagi jadwal meeting-nya jadi di lain waktu ?" Geram Amar.

"Ya aku pikir kamu akan datang ke kantor, Mas! Aku mana tau, kamu juga gak ijin!"

Dengan perasaan marah, Amar menyugar rambutnya sendiri dengan kasar. 

"Argh! Sial! Aku kena SP satu, lagi!" Decaknya yang merasa terancam takut kena pecat.

*****

Badan Via sekarang sudah terasa sehat kembali setelah dua tiga hari lamanya ia sakit demam.

Sekarang Ia tengah menunggu taksi di depan gerbang rumahnya. Terpaksa, Ia mesti pergi naik taksi karena mobilnya bermasalah. Mesin mobilnya tak kunjung mau hidup. Ia juga tidak mengerti masalah mesin mobil.

"Vi!" Tiba-tiba ada mobil Rasya yang berhenti di depannya. Rasya menyeru dari kaca mobilnya membuat Via menoleh menatapnya. 

"Sya." Ucap Via.

Rasya membuka pintu mobilnya, Lalu turun.

"Mau kemana ?" tanyanya.

"Aku mau ke pengadilan, Sya. Mau mengurus perpisahan aku." Via menyahut begitu Rasya berdiri dihadapannya.

Perasaan Rasya terasa senang mendengarnya.

"Oh, Yaudah, Ayo bereng. Searah juga 'kan ?" ajak Rasya. Via melihat-lihat ke jalan, kemudian mengangguk.

"Eum.. yaudah." Ia mengiyakan karena melihat tak kunjung ada taksi yang melewat. Rasya langsung berjalan untuk membukakan pintu mobilnya.

"Hati-hati kepalanya, Vi." Rasya menempelkan telapak tangannya diatas kerudung Via, ia memperhatikan begitu kepala Via masuk kedalam pintu mobil. Ia takut Via terjeduk.

Via sendiri menganggap itu hal yang biasa. Karena Rasya memang selalu perhatian padanya layaknya seorang kakak baginya.

"Kamu enggak tidur di apartemen ?" tanya Via karena melihat Rasya seperti habis dari rumahnya. Rasya yang tengah menyetir mobil, sejenak menoleh.

"Aku selalu tinggal di apartemen, 'kok. Sekarang, aku ke rumah cuman nge-cek langsung keadaan ayah aku aja." Jawab Rasya yang membuat Via terdiam sejenak.

Via tak menyangka, Jika ternyata Rasya sebenarnya peduli juga pada ayahnya. 

"Apa kamu sudah memaafkan ayah kamu ?" Dengan ragu Via bertanya, Rasya hanya menggeleng.

"Aku hanya berusaha, Vi."

Via manggut-manggut. 

"Ternyata, kamu masih peduli juga ya sama ayah kamu ?" 

Lelaki berjas dokter itu tersenyum kecil menatap Via. 

"Aku enggak peduli sama dia, Vi. Aku hanya tidak mau menjadi anak durhaka. Bagaimanapun ia ayah kandungku. Kalau aku mesti dekat lagi dengan ayahku, jujur aku belum bisa. Saat ini aku hanya berusaha peduli tanpa mesti dekat langsung dengannya. Apa aku salah seperti ini, Vi ?" tanya Rasya dengan lekat menatap Via.

Via menggelengkan kepalanya.

"Enggak, kok. Menurut aku apa yang kamu lakukan itu sudah cukup baik. Meskipun kamu sangat membenci ayah kamu, kamu masih mau peduli sama ayah kamu." Dengan sungguh, Via menjawabnya.

*****

🍁Tiga hari kemudian🍁

POV AMAR

"Su-surat pengadilan ?" Aku tertegun setelah membuka surat dalam amplop yang tadi dikirim oleh pegawai pos. Isi surat ini adalah surat dari pengadilan. Via benar-benar serius dengan keputusannya untuk menggugat pisah aku.

"Mas, Siapa tadi ? Loh, itu surat apa ?" tanya Nura yang baru keluar dari pintu rumahku. Aku memang masih berhubungan denganya. Ia terlihat menatap heran pada surat yang aku pegang.

"Surat dari pengadilan, Ra. Via benar-benar gugat pisah aku."

"Wah, Serius kamu, Mas ? Artinya kita bisa cepat menikah dong ?" Mata Nura berbinar. Ia terlihat begitu senang dengan kabar ini. Berbeda denganku yang justru merasa resah karena akan kehilangan Via.

Padahal yang aku inginkan, aku bisa hidup bersama Via juga Nura. Aku memang serakah. Tidak mau memilih salah satunya dan tidak mau kehilangan keduanya.

"Kenapa, Mas ? Kok wajah kamu kayak gak seneng gitu." tanyanya jutek sambil menyilangkan kedua tangannya di depan dada. "Kamu masih ngarep sama Via ? Iya ?"

Aku terdiam, bingung mesti menjawab apa. Sedangkan, Nura langsung merangkul siku tanganku dan menyenderkan kepalanya di bahuku.

"Udahlah, Mas. Kamu gak usah ngarepin Via lagi, 'kan ada aku. Kamu juga cinta 'kan sama aku ?" tanyanya.

"I-ya, Ra." Jawabku setelah beberapa detik kemudian, meski hatiku tetap tidak bisa rela. Baik Via ataupun Nura keduanya punya keunikan sendiri yang membuat ku sulit untuk melepaskannya.

"Biarin aja kalo Via mau pisah sama kamu dan enggak mau dimadu. Kamu enggak usah ngemis-ngemis lagi sama dia, Mas. Nanti Via malah besar kepala lagi." Nura kembali berucap masih sambil menyenderkan kepalanya. 

Dipikir-pikir, benar juga apa yang Nura katakan. Via pasti akan semakin merasa diatas angin jika aku terus memohon-mohon agar dia kembali bersamaku. Ia pasti akan berpikir jika aku tidak bisa hidup tanpanya. 

Tak apalah. Jika Via tetap bersikeras dengan keputusannya. Aku pastikan dia akan menyesal telah menggugat pisah aku. Lagian, aku 'kan juga sudah punya Nura yang tak kalah cantik dengannya.

"Kamu bener, Ra. Aku gak usah lagi ngemis-ngemis ke Via."

Nura mengangkat kepalanya, lalu tersenyum menatap ku. 

"Nah gitu, dong. Kamu tenang aja, aku juga bisa lebih baik dari Via, 'Kok."

"Iya, Sayang. Aku percaya 'kok sama kamu." Jawabku sambil tersenyum dan meng-acak pelan rambutnya.

"Yaudah yuk, kita masuk lagi ke rumah. Kita 'kan belum itu..." Dengan nakal aku mengedipkan mata pada Nura. Hari ini adalah hari libur kerja.

Melakukan hal semacam itu dengan Nura seakan sudah menjadi candu dalam hidupku. Aku sulit sekali untuk tidak tertarik pada keindahan yang ada pada Nura.

Aku sengaja menghabiskan waktu bersama Nura di rumahku daripada mesti pusing memikirkan Via yang tak mau kembali bersamaku. 

Kemarin-kemarin, aku juga sudah tidak lagi datang ke rumahnya untuk membujuknya agar mau tinggal lagi bersamaku. Harga diriku rasanya terinjak-injak.

Ya sudahlah, Via lepas, Nura pun jadi.

*****

POV VIA

"Alhamdulillah, akhirnya surat ini datang juga." Di luar teras depan, Aku tersenyum dengan kedatangan surat dari pengadilan yang ada dalam genggaman ku. Aku sudah tidak sabar untuk tidak lagi menjadi istri dari Mas Amar. 

Sudah beberapa hari aku tinggal di rumah ibuku, bahkan Mas Amar tidak datang lagi untuk sekedar membujukku untuk pulang.

Bukannya aku ingin kembali lagi dengannya, Aku hanya ingin tahu sebesar apa dia benar-benar mencintai ku. 

Dan sekarang, aku mengerti jika rasa cinta Mas Amar tidak begitu besar mencintai ku. Aku semakin mantap dengan keputusan ku ini.

*****

"Bu, nanti ibu temenin ke pengadilan Via untuk jadi saksi ya ?" Aku berucap pada ibuku yang tengah menyiapkan sarapan pagi di meja makan. Beliau menaruh piring ke meja.

"Iya, nanti ibu pasti akan temenin kamu." Jawabnya yang membuatku lega. "Tapi, apa kamu punya bukti perselingkuhan mereka ? Kita butuh alasan yang kuat untuk mengajukan perceraian itu, Nak." 

"Oh iya, Bu. Aku 'kan belum kasih liat ke ibu bukti perselingkuhan Mas Amar dengan Nura." Aku menepuk jidatku karena sampai belum sempat untuk melihatkan pada ibu bukti-bukti perselingkuhan Mas Amar dan Nura yang selama ini aku simpan. 

"Nanti Via kasih lihat sama ibu, ya ? Via yakin bukti itu cukup kuat untuk mengabulkan permohonan Via untuk berpisah dengan Mas Amar." Ucapku yakin.

"Bagus kalo begitu, Nak. Semoga kamu bisa kuat menghadapi semua ini ya, Via. Ibu yakin ini yang terbaik menurut Allah untuk kamu." Ibu mengelus-elus rambut ku dan menatapku begitu lirih. Seakan apa yang tengah aku hadapi ini adalah hal yang menyedihkan. 

Aku akui, takdir pernikahan ku dengan Mas Amar yang sampai hancur seperti ini memanglah terasa menyedihkan. 

Aku bahkan sama sekali tidak pernah menginginkan ada perceraian dalam pernikahanku. Aku ingin bisa seperti ayah dan ibuku yang bisa tetap langgeng dan harmonis hingga sampai saat ini.

*****

🍁Tiga hari kemudian 🍁

POV VIA

Kali ini aku datang ke pengadilan sesuai isi dalam surat itu yang menyatakan untuk bisa datang ditanggal yang sudah ditentukan. Ini adalah tahapan awal perceraian ku. 

Saat aku turun dari pintu mobil, Sial-nya mobilku terparkir bersebelahan dengan mobilnya Mas Amar. Yang membuat ku terkejut, aku lihat Nura turun dari pintu mobilnya Mas Amar. 

Ternyata Mas Amar masih berhubungan dengan wanita yang telah menghancurkan pernikahan ku itu. Bahkan, Aku tak habis pikir, Nura selingkuhan suamiku itu juga ikut ke pengadilan.

Bersambung...

🍁🍁🍁

Terimakasih untuk semua yang sudah support karya saya. Bahkan, sampai yang buka kunci bab. Support dari kalian semua sangat berarti bagi saya🤗💗

Semoga rezeki kalian semua semakin lancar, semakin berlimpah, semoga selalu diberikan kesehatan dan juga semoga selalu diberikan kebahagiaan. Aamiin ya rabbal Alamin...

Sayang kalian semuaa🤗💗💗💗