Chapter 21 - 21. Test Pack

Membalas pengkhianatan suami dan Sahabatku (21)

Setelah melamar kerja ke sebuah perusahaan, aku menghentikan mobilku untuk ke minimarket dulu. Aku ingin membeli minum, Rasanya tenggorokan ku sangat haus.

Aku masuk ke minimarket, mengambil minuman botol dalam kulkas yang ada disana. Kemudian ke kasir, dan setelah keluar dari minimarket aku meminum minuman dingin itu. Rasanya segar sekali.

Namun, setelah aku meminum air,aku tertegun begitu melihat wanita yang tengah berdiri dipinggir jalan, seperti tengah menunggu kendaraan. Keberadaannya tepat di depan minimarket.

'Tante Sinta ?' Dalam hati aku berucap, sambil melihatnya yang masih terlihat menunggu kendaraan. Iya, Aku tidak salah lihat. Ia tante Sinta.

"Tante Sinta." Seruku. Aku menghampirinya sambil menjulurkan tanganku untuk menyalami-nya.

Wanita yang sambil membawa dua kresek berukuran cukup besar itu menoleh, lalu tak lama mengulum senyum padaku. Ia menaruh dulu dua kresek ditangannya itu, kemudian membalas uluran tanganku.

Sepertinya tante Sinta juga habis dari minimarket.

"Vi-ya ?" Jawabnya. Raut wajahnya terlihat gugup akan kehadiran ku.

Semenjak aku melihat sendiri apa yang dilakukan oleh Tante Sinta dengan Pak Bram sembilan tahun yang lalu, aku jadi tidak begitu dekat dengan ibunya Nura. Rasanya canggung sekali. Mungkin Tante Sinta pun juga canggung seperti ku.

"Kamu gimana kabarnya, Nak ? 'kok sekarang jarang main ke rumah ?" tanya-nya. Dilihat dari sikapnya, sepertinya tante Sinta belum mengetahui jika anaknya sudah menghancurkan pernikahan ku.

Aku berusaha mengulum senyum.

"Alhamdulillah, Baik, Tante. Sekarang emang jarang main. Tante sendiri gimana kabarnya ?" Aku balik bertanya.

"Alhamdulillah, Nak. Baik juga." Jawabnya.

Aku manggut-manggut. "Syukurlah tante, kalo baik."

Wanita itu mengulum senyum.

"Eum, Viya. Terimakasih ya Nak, selama ini kamu sudah menjaga rahasia Tante dari Nura." Tiba-tiba saja dia berucap demikian.

Sepertinya, kejadian bertahun-tahun itu masih sangat teringat dalam benaknya. Mungkin saja Tante Sinta menyesali perbuatannya. Entahlah.

Aku memegangi bahunya sambil tersenyum menatapnya.

"Tante tidak usah khawatir. Saya tidak ada sangkut pautnya dengan perihal rahasia tante. Biar rahasia tante itu, menjadi urusan Tante dengan Nura. Jadi Tante tenang saja, Saya tidak akan ikut campur." Tuturku.

Aku lihat Tante Sinta menghembuskan nafasnya sambil tersenyum. Ia terlihat lega setelah mendengar jawaban ku.

"Alhamdulillah kalo gitu, Nak. Tante benar-benar tidak mau Nura tau seperti apa tante sebenarnya di masalalu."

Aku hanya terdiam, seandainya Tante Sinta tahu, jika anaknya juga menjadi penyebab kehancuran rumah tangga orang lain.

Namun, aku rasa, aku tidak perlu memberitahunya. Urusanku juga dengan Nura, bukan dengan dirinya.

Tapi, jika Rasya yang bertemu dengan Tante Sinta, Entah apa jadinya. Aku tahu Rasya sangat membenci Ibunya Nura ini.

"Eum.. Tante lagi nunggu kendaraan, ya ?" tanyaku.

"Iya, Nak. Jam segini ternyata susah juga nyari kendaraan lewat. Tante mau naik taksi." Jawabnya.

"Yaudah, biar saya antarkan pulang saja ya ?" Aku menawarkan, bagaimanapun perlakuan anaknya padaku, Tante Sinta pernah baik padaku.

Tante Sinta pun mau untuk pulang bersamaku.

"Sekarang kamu gimana, Via ? Pasti sudah punya anak ya ?" tanyanya. Aku terkekeh sambil menyetir mobil. Dulu, Tante Sinta memang pernah datang ke acara pernikahan ku.

"Belum, Tante." Jawabku. Wanita itu terdiam.

"Oh, Maaf, Nak. Tante tidak tahu." Suaranya terdengar seperti merasa bersalah. Sejenak, aku menoleh padanya.

"Tidak apa, Tante." Jawabku.

"Apalagi Nura, Nak. Tante gak tau, dia mau nikah di usia berapa. Sampai sekarang aja, dia gak pernah bawa cowok ke rumah."

Sepertinya benar. Tante Sinta tidak tahu menahu soal hubungan Nura dan Mas Amar. Sepertinya, Nura menyembunyikan hubungannya dengan Mas Amar dari ibunya.

Setelah sedikit ngobrol, aku pun mengantarkan Tante Sinta sampai ke depan rumahnya.

Aku turun dulu dari mobil.

"Makasih ya, Nak Via. Sudah mengantarkan Tante sampai ke rumah. Padahal 'kan lumayan jauh."

"Iya, Sama-sama Tante." Sambil mengulum senyum, aku menjawab.

"Yaudah yuk, mampir dulu. Minum dulu atau makan dulu. Nura jam segini belum pulang, Nak."

"Eum.. Maaf Tante, sepertinya Via gak bisa mampir dulu. Soalnya, Setelah ini Via masih ada urusan yang mesti buru-buru diselesaikan." Jawabku beralasan.

Padahal, mana mungkin aku mesti mampir pada rumah wanita yang sudah menghancurkan pernikahan ku.

Wanita itu manggut-manggut.

"Oh, gitu. Yaudah kalo gitu hati-hati ya, Nak." Ucapnya sambil mengelus bahuku. Aku mengangguk sambil mengulum senyum. Kemudian kembali menyalami punggung tangannya untuk berpamitan.

*****

Seperti biasa, Amar mengantarkan Nura untuk pulang.

"Yaudah, Mas. Aku pulang dulu ya." Ucap Nura di dalam mobilnya Amar. Lelaki yang masih mengenakan jas kantor itu hanya mengangguk.

"Ibu kamu masih belum tahu hubungan kita, ya ? Makannya kamu gak pernah ajak aku ke rumah kamu ?" tanya Amar, karena ia hanya selalu mengantar Nura pulang tidak sampai ke rumahnya.

"Ya belum dong, Sayang. Nanti ibu aku bisa marah kalo tahu aku ada hubungan sama kamu. Aku 'kan udah beberapa kali bilang ini sama kamu."

"Iya, aku ngerti 'kok." Jawab Amar diiringi tersenyum.

"Makannya, kamu cepetan cerai sama Via. Biar cepat bisa nikahin aku." Dengan raut wajah kesal, Nura berucap. Amar hanya terkekeh sambil mengacak pelan rambutnya Nura.

"Iya, Sayang. Sabar ya."

Wanita itu hanya bisa menghela nafas, berusaha untuk terus sabar.

"Yaudah, aku pulang." Kembali Nura berucap. Sebelum itu dia mengecup pipi Amar. Cup!

Lalu Nura hendak membuka pintu mobil, namun lelaki itu menarik perggelangan tangannya, hingga membuat Nura duduk kembali. Dan dengan cepat Amar mencumbui bibirnya Nura, cukup lama.

Nura membiarkan saja Amar bertindak sesukanya.

"Udah, Sana pulang." Setelah selesai mencumbui, Amar berucap sambil tersenyum.

"Dasar ya, kamu. Didalam mobil aja masih sempat-sempatnya. Nanti kalo ada orang yang lihat, gimana ?" Protes Nura dengan tawa kecil.

"Gak peduli, abis aku kangen banget sama kamu." Sahut Amar, membuat senyum Nura semakin mengembang.

"Masa sih kangen ? Padahal.. kita 'kan udah sering..." Nura sengaja menggantung ucapannya. Ia tahu Amar akan mengerti maksudnya.

"Iya. Tapi kita 'kan sekarang enggak itu.." Amar menjawab sambil mengedipkan sebelah matanya dengan nakal. Nura hanya terkekeh geli.

"Udah, akh. Sekarang aku pulang. Jangan cegah aku lagi, ya." Nura kembali membuka pintu mobil.

Lalu ia turun dari pintu mobilnya Amar.

"Dah, Sayang." Ucapnya sambil melambaikan tangannya pada Amar. Di dalam mobilnya, Amar hanya tersenyum, kemudian melajukan mobilnya.

*****

"Sayang, udah pulang ternyata kamu." Sinta menoleh pada Nura yang baru masuk pintu rumah.

Wanita yang mengenakan rok hitam pendek diatas lutut itu tersenyum melihat pada ibunya yang tengah menyiapkan makanan di atas meja makan.

"Iya, Bu. Aku udah pulang." Jawabnya. Ia menaruh tasnya di meja makan, kemudian Ia menuangkan air ke dalam gelas, lalu meminumnya.

"Kamu pasti capek banget ya ? Sampai kayak haus begitu." Tanya Bu Sinta setelah Nura selesai minum.

"Iya, Bu. Aku haus banget."

"Yaudah, deh. Nura mau mandi dulu ya, Bu. Badan aku gerah." Lanjut Nura yang merasa badannya gerah.

"Iya. Kamu bersih-bersih dulu, gih. Nanti jangan lupa makan ya, ibu udah masakin makanan nih untuk kita." Sahut Bu Sinta.

Tatapannya melihat ke meja makan yang sudah dipenuhi dengan masakan-nya. Salah satunya Bu Sinta sengaja memasak kuah ikan gurame pedas, kesukaan Nura.

Begitupun Nura. Ia ikut melihat ke meja makan. Sempat tersenyum karena ibunya memasakan makanan kesukaannya.

"Iya, Bu. Selesai mandi, Nura akan ke meja makan, ya." Sahut Nura. Kemudian ia pergi menuju kamarnya sambil melepaskan jam di tangannya.

Truthh... Truth.. truth...

Tiba-tiba saja ponsel Nura bergetar di dalam tasnya. Bu Sinta melihat pada tasnya Nura.

"Duh, ada telpon. Angkat jangan ya ? Takutnya penting." Gumamnya. Ia pun membuka tasnya Nura, berniat untuk mengangkat telpon.

Deg. Jantungnya terasa berhenti berdetak untuk beberapa detik. Ia tertegun saat menemukan suatu benda dalam tas putrinya yang masih terbungkus dalam kemasan-nya.

Benda itu diambil oleh Bu Sinta, tanpa memperdulikan ponsel Nura yang terus berbunyi.

"I-ni kan.. Test pack ? Un-tuk apa Nura membeli alat ini ? Apa jangan-jangan...." Alat tes kehamilan itu dilihat oleh Bu Sinta dengan tangannya yang gemetar, tubuhnya seakan mau merosot karena syock. Pikirannya mulai kemana-mana.

Sedangkan Nura yang baru masuk ke dalam kamarnya, ia langsung panik begitu menyadari tas-nya lupa dia bawa kedalam kamarnya.

"Astaga! Tas aku 'kan masih ada di meja makan. Mana aku baru beli lagi alat tes kehamilan. Gimana kalo sampai ibu membuka tas ku ?!" Gumamnya syock. Ia langsung kembali menuju ke ruang tamu.

🍁🍁🍁

Bersambung...