Membalas Pengkhianatan suami dan Sahabatku (20)
Beberapa minggu kemudian...
Proses perceraian Via dan Amar dinyatakan memakan waktu maksimal enam bulan. Dan jika sidang berjalan dengan lancar, maka hanya akan memakan waktu tiga atau empat bulan.
Bagi Via berbulan-bulan itu waktu yang cukup lama. Karena itu, Via melamar pekerjaan untuk memiliki kesibukan kembali seperti dulu.
Via melamar pekerjaan menjadi sekretaris ke sebuah perusahaan yang bernama PT SENJA JINGGA.
Saat ini, dia tengah duduk di sebuah kursi, menunggu keputusan dari seorang manager, diterima atau tidaknya aku bekerja di perusahaan ini.
Jantungnya terasa berdebar begitu cepat, Ia ingin secepatnya mendengar jawaban dari seorang manager yang saat ini tengah ada di hadapan-nya.
Ia berharap bisa di terima kerja di perusahaan yang dilamarnya ini. Setidaknya dengan dirinya sibuk, Via berharap bisa melupakan banyak kesedihan yang tengah dialaminya.
Lelaki dihadapannya yang mengenakan jas berwarna hitam itu menunduk menatap pada dokumen yang Via bawa untuk melamar. Ia tengah membacanya.
"Jadi, sebelumnya kamu juga pernah kerja menjadi sekretaris ?" tanyanya setelah dia mendongakan kepalanya. Via mengangguk.
"Iya, Pak. Saya pernah bekerja menjadi sekretaris di perusahaan PT Laskar Angkasa." Jawabnya santun.
Lelaki yang menjabat sebagai menager itu manggut-manggut.
"Baiklah, setelah saya lihat dokumen kamu, sepertinya kamu cocok untuk menjadi sekretaris. Saya terima kamu kerja disini." Ucapnya membuat Via tertegun dengan perasaan yang senang.
"Alhamdulillah, Terimakasih, Pak." Jawabnya disertai senyuman. Lelaki dihadapannya itu ikut tersenyum.
"Iya. Tapi, kamu jangan lupa ya, mesti tanda tangan kontrak dulu untuk kerja satu tahun di perusahaan ini."
"Baik, Pak." Jawab Via sambil mengangguk. Lelaki yang terlihat seumurannya itu berdiri, lalu menjulurkan tangannya pada Via. Via ikut berdiri.
"Selamat ya, Semoga kita bisa bekerja sama dengan baik." Ucapnya. Via meraih uluran tangan dari seorang manager itu diiringi dengan sebuah senyuman yang ramah.
"Iya, Pak. Saya akan berusaha bekerja dengan baik di perusahaan ini. Sekali lagi terimakasih." Jawabnya saat tangannya saling berjabat dengan seorang yang akan menjadi managernya.
Lelaki dihadapan menatap Via cukup lama, Ia merasa terpana melihat kecantikan Via yang terasa meneduhkan hatinya.
"Eum.. Pak ?" Ucap Via karena lelaki dihadapannya itu tak kunjung melepaskan tangannya.
"Ekh.. iya, Maaf." Jawabnya tersadar sambil melepaskan tangan Via dari genggamannya. Via hanya mengulum senyum.
"Oh, iya. Kamu sudah tahu nama saya ?" tanyanya. Via hanya menggeleng pelan karena dia tidak mengetahuinya.
"Saya Satria." Jawabnya sambil tersenyum kecil. Kembali Via hanya mengulum senyum. Sekarang dia sudah tahu nama lelaki yang akan menjadi managernya nanti.
Dan mulai besok, Via sudah mulai bisa bekerja. Karena hari ini, managernya itu menyuruhnya untuk benar-benar mempersiapkan dirinya dulu.
*****
POV RASYA
Hari ini aku tinggal dulu di rumahku. Meskipun aku selalu benci melihat ayahku, tapi aku menghargai ucapan Via yang melarang ku agar aku tidak lagi tinggal di apartemen karena dia khawatir Amar akan menghajarku lagi.
"Sya. Lebih baik kamu tidak tinggal dulu di apartemen. Aku gak mau Mas Amar mukuli kamu lagi. Aku akan sangat merasa bersalah kalo sampai kamu dipukuli lagi oleh Mas Amar gara-gara aku." Ucapnya kala itu saat dia melihat wajahku lebam.
Aku tidak takut pada Amar, aku hanya takut Via akan marah jika aku tidak mendengarkan ucapannya.
Sudah beberapa minggu aku tinggal serumah dengan ayahku. Sudah beberapa kali juga aku melihat ayahku. Ayahku terlihat cukup baik, meski ia masih belum juga bisa berjalan kembali.
Hubungan ku dengan ayahku masih sama. Aku masih belum bisa dekat kembali dengannya seperti saat ayahku tidak mengkhianati ibu.
Rasanya hati ini sangat sulit sekali untuk memaafkannya meskipun ayahku sudah berulang kali meminta maaf dan terlihat menyesali perbuatannya.
Di dalam kamar, aku membuka pintu laci. Aku mengambil beludru merah berbentuk love berisi cincin yang dulu akan aku jadikan cincin itu untuk melamar Via. Cincin berwarna emas itu masih aku simpan hingga saat ini.
Proses perceraian Via juga masih cukup lama. Aku butuh waktu untuk mengungkapkan perasaan ku padanya. Dan berharap, Cincin ini bisa melingkar di jemari manis-nya.
Aku juga yakin, Via tidak akan semudah itu untuk jatuh cinta kembali. Ia pasti butuh waktu untuk mencintai kembali setelah dia mengalami pernikahannya yang hancur. Pasti bukan hal yang mudah baginya untuk membuka hati kembali.
Seandainya juga aku bisa mencintai wanita yang lain, mungkin sudah sejak dulu aku menikahi wanita lain yang pernah ada hubungan denganku.
Aku cukup tersiksa dengan perasaan ku sendiri. Kenapa aku mesti mencintai Via jika aku tak bisa memilikinya ?
Jika Via tetap tak bisa menjadi takdirku, Apa aku mesti mencoba mencintai wanita lain lagi untuk menghilangkan perasaan ini pada Via ?
*****
"Rasya, kamu makan dulu, Nak. Riani sudah masakin makanan untuk kita." Ayahku berbicara di ruang makan, saat aku hendak menuju ke dapur.
Aku ingin mencari Bi Ijah, biasanya Bi Ijah sudah menyiapkan makanan untuk ku. Tapi pagi ini, aku tak melihatnya sejak tadi.
"Iya, Pak. Makan dulu. Bi Ijah tengah sakit, Pak. Jadi saya yang bantuin pekerjaannya." Riani berucap. Aku menoleh pada Riani yang tengah menyiapkan makanan di meja makan.
"Bi Ijah sakit ?" tanyaku. Wanita dengan pakaian suster itu mengangguk.
"Iya, Pak. Tadi Bi Ijah badannya demam. Saya gak tega lihatnya. Bapak Bram juga sudah membolehkan Bi Ijah untuk istirahat dulu." tuturnya.
Aku terdiam. Pantas saja aku tidak melihat Bi Ijah.
"Kalo Pak Rasya lapar, saya sudah masakin sayur sop Pak. Atau, mungkin Pak Rasya mau dimasakin makanan yang lain ?" tanyanya.
Jujur. Sebenarnya aku memang lapar. Tapi melihat ayahku, aku lebih baik menahan lapar dan makan diluar.
Aku berpura-pura melihat jam di tanganku untuk membuat Riani tak tersinggung.
"Eum.. kayaknya, saya gak akan sempat untuk makan. Saya mesti buru-buru pergi ke rumah sakit." Ucapku beralasan.
"Sebelumnya, makasih ya, sudah masakin." Kembali aku berucap dengan berusaha tersenyum. Lalu, aku langsung berjalan menuju keluar pintu rumah. Meninggalkan Riani yang hanya tersenyum dengan jawaban ku.
Sebelumnya, aku juga akan memeriksa Bi Ijah dulu. Kasihan sekali wanita yang sudah hampir kepala enam itu. Ia masih tetap ingin bekerja di rumah ini.
*****
"Pak, tunggu, Pak!" Dengan langkah cepat, Riani menghampiri ku saat aku hendak membuka pintu mobil ku.
"Ada apa, Riani ?" tanyaku heran, saat Riani sudah berada dihadapan ku.
"Ini, Pak. Saya sudah siapkan sandwich dalam kotak nasi untuk Pak Rasya. Biar Pak Rasya bisa sarapan di rumah sakit." Wanita itu mengacungkan kotak nasi. Aku tertegun melihatnya.
Entah kenapa, aku merasa Riani terlalu perhatian padaku. Tiba-tiba saja aku teringat akan ucapan Via. Apa jangan-jangan benar Riani menyukai ku ?
"Oh, i-ya. Makasih ya." Aku mengambil kotak nasi itu darinya sambil berusaha tersenyum.
"Iya, Pak. Sama-sama." Jawabnya sambil tersenyum seperti tersipu malu.
Aku jadi semakin takut, Riani benar-benar menyukaiku. Aku tidak mau memberikan harapan padanya.
"Eum.. aku juga minta tolong ya sama kamu, tolong rawat Bi Ijah juga. Kamu 'kan juga cukup ngerti untuk mengobatinya." Pesanku. Ia mengangguk.
"Baik, Pak. Saya akan rawat Bi Ijah." Jawabnya. Aku berusaha tersenyum.
"Yaudah, kalo gitu, Saya mau berangkat dulu. Sekali lagi terimakasih untuk makannya."
Wanita itu mengangguk.
"Iya, Pak. Hati-hati." Ucapnya disaat aku hendak masuk ke dalam pintu mobil. Kedengarannya aneh ditelinga ku akan perhatiannya itu. Lagi-lagi aku hanya berusaha tersenyum melihatnya saat aku sudah duduk di kursi mobil.
"Semoga saja Riani tidak menyukai ku." Gumam ku saat mobil sudah melaju.
*****
Bersambung...
🍁🍁🍁
Terimakasih untuk semua yang sudah support karya saya dengan unclock dan tetap setia dengan cerita ini. 🤗💜
Semoga segala rezeki kalian semua semakin lancar, semoga selalu diberikan kesehatan dan kebahagiaan. Aamiin ya rabbal Alamin.