Membalas pengkhianatan suami dan Sahabatku (18)
"Jadi ternyata Rasya ada di Indonesia ?" Ucap Nura saat Rasya dan Via sudah pergi.
"Kamu tahu juga sama Si Rasya itu ?" tanya Amar geram begitu membicarakan Rasya. Nura manggut-manggut.
"Tahu, Sih. Tapi gak terlalu kenal. Rasya 'kan beda SMA sama aku dan Via. Aku juga gak terlalu kenal sama Rasya. Cuma pernah ketemu beberapa kali aja waktu dulu. Apalagi, aku kenal Via 'kan dari mulai SMA. Aku gak terlalu tahu soal Rasya." Tutur Nura.
Amar manggut-manggut dan berniat dalam hati untuk memberikan pelajaran pada Rasya.
*****
๐ Dua hari kemudian ๐
Jam 10 malam.
Malam ini, Di apartemen, Amar sengaja menunggu kedatangan Rasya untuk berniat memberikan pelajaran pada Rasya karena merasa Rasya adalah penyebab Via menggugat pisah dirinya.
Ia berdiam di dalam mobilnya yang dia parkir di parkiran apartemen. Sudah sekitar setengah jam dia menunggu kedatangan Rasya.
"Nah, itu dia. Akhirnya dia datang juga! Lihat saja, akan aku beri pelajaran kamu!" Ucapnya dengan perasaan yang dendam begitu melihat mobil Rasya baru datang dan Rasya keluar dari dalam mobilnya.
Rasya yang baru pulang kerja shift siang, akhirnya pulang malam ke apartemennya. Dengan lelah ia berjalan melewati lobby apartemen. Tanpa ia sadari, Amar yang turun dari mobilnya, mulai mengikutinya dari belakang.
Ruangan apartemen Rasya ada di lantai 3 nomor 31. Amar terus mengikutinya. Saat Rasya hendak naik lift, dengan cepat Amar menarik kerah baju Rasya yang bagian belakang.
"Eugh!"
Sontak Rasya langsung menoleh kaget. Dan Amar tanpa aba-aba langsung memukul wajah Rasya.
'Bugh!'
Rasya yang belum ada persiapan untuk melawan, tubuhnya langsung tersungkur ke bawah. Ia menatap pada Amar sambil memegangi ujung bibirnya yang berdenyut perih dan terasa basah.
Ia menyentuh bagian basah itu dengan tangannya dan melihatnya. Benar saja, dia melihat ada darah ditangannya.
"Itu pelajaran untuk kamu!" Ucap Amar tajam.
"Gara-gara kamu, Via minta pisah sama aku!" Ucapnya lagi. Sambil berdiri, Amar mengucapkannya dengan tatapan tajam dan penuh amarah. Nafasnya sampai tersenggal-senggal karena marah.
Disaat Rasya masih terdiam, Amar kembali memukul wajah Rasya. Bugh! Bugh!
Kemudian memukul badannya Rasya. Bugh! Bugh!
Rasya terdiam menahan sakit. Ia memegangi perutnya yang terasa sulit bernafas setelah dipukul.
Tak lama iapun berdiri dan membalas pukulan Amar. Rasya memukul wajahnya Amarย dengan keras hingga membuat Amar juga tersungkur dan meringis kesakitan karena pipinya yang berdenyut.
'Bugh!'
"Dengar, ya. Via menggugat pisah kamu bukan gara-gara aku. Semua itu karena kesalahan kamu sendiri!" Ucap Rasya dengan nafas tersengal-sengal. Ia menatap tajam pada Amar yang tersungkur.
"Harusnya kamu itu sadar, bahwa kamu salah. Kamu telah mengkhianati Via. Kamu sudah buat hati dia terluka. Wajar, jika Via sampai menggugat pisah kamu!" Lanjut Rasya.
"Omong kosong!" Balas Amar sambil menendang badan Rasya. Bugh!
Lagi-lagi Rasya tersungkur. Namun dengan cepat ia kembali berdiri. Amar hendak melayangkan pukulan lagi, namun dengan cepat Rasya menahan pergelangan tangan Amar. Rasya memukul badan Amar.
Bugh! Bugh! Bugh!
Amar memegangi perutnya yang terasa sakit. Rasya yang tidak mau terus ribut, langsung berjalan pergi untuk ke parkiran mobil kembali.
"Arghh!! Kurang ajar!" Ucap Amar setelah Rasya pergi. Ia meringis memegangi perutnya.
*****
POV RASYA
"Loh, Nak Rasya kenapa ?" tanya Bi Ijah dengan raut wajah panik begitu aku masuk ke pintu rumah. Mungkin karena wajahku babak belur. Bola matanya Bi Ijah sampai menohok melihat ku.
"Gak papa, Bi. Aku gak papa, kok." Jawabku sambil tersenyum. Aku tidak mau masalahnya semakin ribet.
"Gak papa gimana, Nak ? Itu lebam-lebam begitu. Abis berantem, ya ?" Kembali Bi Ijah bertanya. Masih dengan raut wajah panik.
"Biasa, Bi. Masalah cowok." Jawabku pada wanita yang sudah bekerja di rumah ku sejak aku masih kecil itu.
Bahkan, Bi Ijah sering membantu ibu merawat ku saat ibuku masih ada. Setelah ibuku tiada, beliau juga masih bekerja hingga saat ini. Aku sudah menganggap Bi Ijah seperti ibuku sendiri.
"Udah ya, Bi. Aku mau ke kamar dulu, aku capek banget." Ucapku kembali disaat Bi Ijah terdiam.
Tiba-tiba ada Riani---perawat ayahku itu yang berjalan dari arah dapur.
"Riani!" Panggilku. Wanita yang usianya lebih muda dariku itu menoleh. Raut wajahnya terlihat panik saat melihat ku.
"Pak, itu kenapa ?" tanyanya.
"Tidak apa. Bagaimana keadaan ayahku ? Apa dia sudah ada perkembangan ?" Langsung aku menanyakan pertanyaan ku, tanpa menjawab pertanyaannya.
"Oh, itu. Bapak masih belum ada perkembangan, Pak. Kedua kakinya masih belum bisa digerakkan." Jawabnya.
Aku terdiam. Seperti ada perasaan cukup prihatin pada keadaan ayahku.
"Yaudah, kalo gitu, kamu terus kasih obatnya yang sudah saya kasih, ya. Saya juga minta tolong sama kamu, bantu ayah saya terus terapi untuk bisa berjalan kembali." Ucapku, Riani mengangguk.
"Eum.. Pak, lukanya biar saya bantu obati ya ?" Riani terdengar ragu mengatakannya.
Aku berusaha tersenyum.
"Tidak apa, Riani. Saya obati sendiri saja. Kamu lebih baik tidur aja. Udah malam juga." Jawabku. Wanita itu kembali mengangguk.
"Baik, Pak Rasya."
Tak lama dia berjalan menuju kamarnya yang ada di dekat ruang tamu ini. Bi Ijah juga aku suruh cepat tidur. Sedangkan, aku naik tangga menuju kamarku.
Sesampainya di kamar, aku mengobati luka ku sendiri. Mengambil kapas dari kotak P3K. Lalu melihat bibirku yang lebam dan ada sedikit darah lewat kamera ponselku. Badanku juga masih terasa berdenyut.
Setelah mengobati, aku mulai merebahkan badan. Tiba-tiba saja pikiran ku teringat pada kejadian saat di pengadilan.
Via mengatakan jika dia tidak keberatan jika aku menyukainya. Aku tersenyum, seandainya apa yang dikatakannya itu benar.
*****
POV NURA
Di dalam kamar, aku mengambil ke laci obat penunda kehamilan yang selama ini selalu rutin aku minum setiap hari.
Hubungan ku dengan Mas Amar sudah sekitar satu tahun lebih. Dan setelah dia melakukan itu, obat pencegah kehamilan ini tidak pernah lepas dalam hidup ku. Akuย harus selalu meminumnya. Jika tidak, bisa-bisa aku akan hamil.
Apalagi, selama ini aku dan Mas Amar selalu melakukan hubungan itu tanpa memakai pengaman sekalipun.
Setelah aku mengambilnya, aku meminum obat itu.
Setiap hari libur, aku juga selalu sengaja menyempatkan untuk pergi ke gym untuk berolahraga. Kata banyak orang, jika selalu minum obat pencegah kehamilan, efeknya akan membuat badan menjadi gemuk.
Aku tidak mau Mas Amar menjadi tidak suka padaku jika sampai badanku melar gara-gara obat ini.
Tok.. Tok.. Tok..
"Nura, Sayang. Ibu boleh masuk ?"
Aku terkejut begitu suara pintu di ketuk dan terdengar suara ibu. Buru-buru aku memasukkan obat pencegah kehamilan itu ke dalam laci kembali.
Aku segera mengunci laci itu seperti biasanya, agar tidak ada satu orangpun yang bisa menemukan obat itu. Apalagi jika yang menemukannya ibuku, jangan sampai.
Ibuku yang bernama Sinta pasti akan sangat marah jika sampai tahu aku sudah tidak perawan lagi. Apalagi, jika sampai ibu tahu yang telah merenggut keperawanan ku itu adalah Mas Amar. Ibu pasti akan sangat marah besar.
Selama ini, ibuku tidak pernah tahu hubungan ku dengan Mas Amar. Ibuku tahu jika Via adalah sahabatku. Ibu pasti akan marah karena aku sudah berhubungan dengan suami sahabatku sendiri.
Aku berjalan untuk membuka pintu kamar.
"Iya, Bu." Jawabku setelah membuka pintu kamar dan menemukan seorang wanita dengan senyum yang mengembang. Aku senang melihat ibuku selalu terlihat bahagia seperti ini.
Dulu ibu selalu menderita. Setelah ibu bercerai dengan ayahku, kehidupan ku dan ibu jauh lebih baik. Meskipun saat itu kami masih sederhana, setidaknya aku tidak lagi melihat ibu menangis karena dipukuli oleh ayahku.
Setelah aku menjadi sekretaris di perusahaan sebelumnya, perekonomian keluarga kami cukup baik. Rumahku yang dulu seperti gubuk karena terbuat dari kayu, menjadi lebih layak untuk ditempati.
Apalagi setelah aku bekerja menjadi sekretaris dan selingkuhannya Mas Amar, tidak hanya perekonomian ku yang meningkat pesat menjadi lebih baik, tapi aku juga merasa mendapatkan kasih sayang.
Meskipun aku selingkuhannya, jabatan Mas Amar yang sebagai manager dengan gaji yang terbilang besar, selalu membuat aku ikut kecipratan mendapatkan uang yang terbilang besar darinya.
"Ayo, makan. Ibu sudah masak untuk kamu." Ucap ibuku kembali.
"Iya, Bu. Ayo." Jawabku. Kami pun pergi ke ruang makan.
*****
Bersambung...
๐๐๐
Untuk yang sebelumnya sudah buka kunci bab ini, saat bab ini masih direvisi, sekarang sudah diperbaiki dan sudah bisa di baca ya๐ค๐
Jika sebelumnya sudah unclock, seharusnya tidak perlu unclock dengan koin lagi, tinggal baca saja.
Sekali lagi mohon maaf dan terimakasih sudah support.
Semoga kalian semua selalu suka ya๐ค๐ Semoga segala rezekinya juga Allah lancarkan, semakin berlimpah, juga Semoga selalu diberikan kesehatan dan kebahagiaan. Aamiin ya rabbal Alamin..
Salam sayang semuanya ๐ค๐