Chapter 19 - 19. Riani

Membalas pengkhianatan suami dan Sahabatku (19)

"Tunggu, Mas." Ucap Nura yang menahan dada Amar saat Amar hendak mencumbui bibirnya. 

Wanita itu menyentuh langsung pada dada Amar karena lelaki di hadapannya sudah tidak lagi memakai kain sehelai benang pun, hingga memperlihatkan dadanya yang bidang dengan otot yang terbentuk sempurna di bagian bahu tangannya.

Amar hanya memakai celana pendek.

Mereka hendak melakukan hal yang biasa mereka lakukan layaknya pasangan suami istri. 

"Kenapa ?" tanya Amar heran. Ia kembali menegakkan tubuhnya dan menatap pada Nura yang tengah duduk di pinggir tempat tidurnya.

"Sampai kapan kita akan kayak gini terus, Mas ?" Keluh Nura. Wanita itu menatap lirih pada Amar.

"Kayak gini terus ? Maksud kamu apa, Sayang ? Aku masih belum ngerti ucapan kamu ?" Amar yang masih bingung, Ia menatap heran pada wanita dihadapannya itu.

"Ada yang mau aku tunjukkan sama kamu, Mas."

Nura berdiri, ia berjalan menuju tas-nya yang dia simpan diatas laci.

 Lalu, Ia merogoh tasnya dan mengambil alat tes kehamilan yang masih dalam bungkusnya, juga obat pencegah kehamilan yang juga masih terbungkus dalam kemasannya.

Setelah itu, Ia kembali duduk di tempat tidurnya Amar.

Sejak tadi, Amar hanya berdiri penuh tanda tanya dalam benaknya.

"Kamu lihat alat tes kehamilan dan obat pencegah kehamilan ini Mas." 

Alat tes kehamilan dan obat pencegah kehamilan itu, Nura perlihatkan ke hadapan Amar, agar lelaki dihadapannya itu bisa melihatnya.

"Aku selalu gak pernah lepas dari obat ini, Mas. Setiap hari aku selalu minum obat ini. Dan kadang, aku juga selalu pakai beberapa kali alat tes kehamilan, karena aku takut sampai hamil, Mas."

"Aku selalu cemas. Aku takut hamil tanpa sebuah pernikahan, Mas. Dan aku tersiksa seperti ini terus." Lirih Nura, berusaha meluapkan isi hatinya.

Amar masih berdiri terdiam. Ia mencoba mengerti apa yang dimaksud oleh Nura.

"Mas, apa kamu serius sama aku ? Apa kamu akan menikahi aku ? Aku capek mesti terus melakukan hubungan seperti ini sama kamu."

"Aku butuh kepastian kamu, Mas." Nura mulai merasa lelah dengan Amar yang seperti tak serius padanya.

Ia menatap Amar dengan penuh harap. Berharap lelaki dihadapannya itu dapat memberikan jawaban atas pertanyaan-nya itu. Ia sangat berharap, Amar bisa mengerti keinginannya itu.

"Kamu ragu sama aku ? Kamu ragu sama cinta aku ke kamu ?" Dengan tatapan lekat, Amar bertanya. 

"Gimana aku gak ragu sama kamu. Kamu gak mau menceraikan Via. Kamu juga sampai berantem sama Rasya gara-gara kamu cemburu 'kan sama Rasya, karena Rasya dekat sama Via ?!"

"Kamu belum rela kehilangan Via 'kan ? Kamu masih berharap Via kembali lagi sama kamu 'kan ?" tanya Nura dengan perasaan penuh cemburu sambil melihat pada wajah Amar yang masih lebam bekas kemarin berantem dengan Rasya. 

Amar hanya terdiam. Ia tidak tahu mesti menjawab apa karena apa yang dikatakan oleh Nura memanglah benar.

"Benar 'kan apa yang aku bilang, Mas ?! Terus kapan kamu mau serius sama aku, Mas ?!"

"Apa jika Via kembali, kamu gak akan pernah serius sama aku ?! Apa aku akan tetap menjadi selingkuhan kamu ?! Aku juga butuh hubungan yang jelas, Mas ?!" Kata-nya yang merasa cemas.

"Jawab Mas ?! Apa kamu selama ini kepikiran untuk menikahi aku ?!" Lagi, Nura bertanya karena Amar masih diam saja. Ia benar-benar butuh kepastian dari Amar.

"Eu- Sayang, Aku pasti akan menikahi kamu 'kok." Jawab Amar. Ia langsung bersimpuh dihadapan Nura. 

Lalu, dia menggenggam kedua telapak tangan Nura dan menatapnya lekat untuk membuat wanita dihadapannya itu percaya jika dia serius dengan ucapannya. 

Selama ini, ia memang hanya menikmati hubungannya dengan Nura tanpa terlalu peduli akan pernikahan.

Namun, jikapun mesti menikahi Nura, Amar tak merasa keberatan.

"Kamu yang sabar ya ? Proses cerai aku sama Via 'kan memakan waktu berbulan-bulan." 

"Ya makannya kamu aja yang ceraikan Via, Mas! Biar kita cepat menikah!" 

"Gak bisa, Sayang. Aku ingin Via menyesal telah menggugat pisah aku. Makannya aku tidak mau menceraikan dia." 

"Bohong! Aku gak percaya!" Ucap Nura sambil melepaskan tangannya dari genggaman Amar. Amar menghela nafasnya untuk berusaha sabar menyikapinya.

"Aku janji sama kamu. Aku akan menikahi kamu. Begitu proses perceraian aku sama Via selesai. Aku akan segera menikahi kamu." Dengan berusaha sungguh Amar mengatakan itu. Hingga membuat Nura merasa luluh.

"Serius kamu, Mas ? Kamu gak bohongi aku 'kan ?" 

Amar mengangguk. 

"Serius, Aku janji." Jawabnya dengan sungguh. 

*****

Via yang awalnya ingin mengantarkan makanan dari ibunya untuk Rasya, mesti melihat Rasya dalam keadaan wajah yang sudah penuh lebam kebiruan seperti bekas pukulan. Ia langsung bisa menebak siapa pelakunya. 

"Aku mesti bicara sama Mas Amar! Kamu gak ada sangkut pautnya sama masalah perceraian aku, Sya." Dengan perasaan marah, Via berucap sambil duduk di kursi yang ada di teras luar rumahnya Rasya. 

"Gak usah, Via. Aku gak mau masalahnya semakin panjang. Mungkin Amar salah paham sama aku." Sergah Rasya.

Via hanya bisa menghela nafasnya. Ia benar-benar marah pada kelakuan Amar. Ia juga merasa bersalah karena Rasya jadi terlibat.

"Pokoknya, kalo Mas Amar sampai berbuat hal seperti ini lagi, aku gak akan segan untuk laporkan dia ke polisi!" Ucapnya dengan penuh amarah. 

Sedangkan Rasya hanya memilih diam, membiarkan wanita disampingnya itu meluapkan kekesalannya.

Kemudian, Via melihat kembali pada luka yang ada di bagian wajah Rasya. Ia semakin tidak tega begitu melihat masih ada sisa darah di ujung bibirnya Rasya. Ia merasa bersalah.

"Sya. Aku obatin ya, luka kamu. Kamu seperti ini gara-gara aku. Apa ada obat merah ?" tanya Via yang membuat Rasya tertegun. 

"Neng Via, ini minumnya." Bi Ijah yang baru datang dengan membawa dua jus jeruk diatas nampan, meletakkan jusnya di atas meja. 

Via tersenyum pada wanita yang sudah dia kenal sejak lama itu. Bahkan, ia sudah merasa akrab dengan Bi Ijah karena dulu Via sering main dengan Rasya.

"Makasih ya, Bi." Ucap Via sambil tersenyum. Bi Ijah ikut tersenyum menatap Via.

"Iya, Neng Via, sama-sama. Oh iya, tadi bibi gak sengaja denger, katanya neng Via butuh obat merah ya ? Biar bibi ambilkan, ya." tanya Bi Ijah.

"Emang gak gak papa, Bi ? Via jadi merepotkan ?" tanya Via yang tak enak hati. 

Bi Ijah terkekeh.

"Akh, Neng Via ini. Kayak baru kenal sama Bibi sebentar aja." Jawab Bi Ijah yang membuat Rasya dan Via tertawa.

*****

Setelah kotak P3K ada di meja. Via mengambil kapas dan obat merah. Ia meneteskan obat merah itu pada kapas, lalu menempel-nempelkanya pada ujung bibirnya Rasya yang terluka.

"Aws..." Lirih Rasya yang merasa perih saat obat merah itu mengenai lukanya. 

"Tahan ya, Sya." Ucap Via dengan berusaha pelan dan hati-hati.

Rasya terus memperhatikan wanita yang mengobatinya itu. 

Tak lama ada Riani yang keluar dari pintu rumahnya Rasya. Wanita yang merupakan perawat ayahnya Rasya itu melihat pada Rasya yang tengah di obati. Ada perasaan cemburu dalam hatinya. Baru beberapa kali bertemu dengan Rasya, wanita itu diam-diam menaruh perasaan pada Rasya.

"Pak, Saya mau ijin ke apotik untuk membeli obat untuk Pak Bram." Ucap Riani, membuat Via menurunkan dulu tangannya dari wajah Rasya. 

Via melihat penuh takjub pada wanita itu, menurutnya wanita itu cantik dan terlihat cocok dengan Rasya.

"Oh, iya." Jawab Rasya simpel. Tak lama Riani pergi.

"Kenapa enggak kamu anterin aja ?" Ucap Via. Rasya mengernyitkan keningnya karena heran.

"Nganterin Riani ?" tanyanya.

Via mengangguk tersenyum.

"Iya. Jadi dia namanya Riani ? Cantik juga ya perawat ayah kamu." Ucap Via yang baru mengetahui namanya, meskipun sudah pernah beberapa kali melihat wajahnya saat Riani mengajak Pak Bram ke luar rumah.

Rasya hanya terkekeh dengan ucapan Via. Menurutnya juga, Riani memang cantik.

"Kamu enggak naksir sama Riani, Sya ? Kayaknya dia suka deh sama kamu. Tadi, aku lihat, Riani kayaknya cemburu sama aku." Kembali Via berucap sambil senyum-senyum, ia sempat melihat wajah Riani yang terlihat murung saat melihat dirinya mengobati Rasya.

"Apaan, Sih, Vi." Rasya hanya menggaruk keningnya yang tak gatal. Ia bingung mesti menjawab bagaimana.

Bahkan, ada perasaan yang sedikit menusuk menyayat hatinya karena yang dia inginkan untuk mencintainya bukanlah Riani, tapi wanita yang kini bersamanya.

"Aku berharap kamu tidak tersenyum saat ada yang menyukai aku, Vi." Batinnya berucap lirih.

*****

Bersambung....