Membalas pengkhianatan suami dan Sahabatku (14)
BUGH!
"Se-tan! Ngapain Nura ke rumah segala!" Amar memukul setir mobilnya dengan keras dan penuh rasa marah begitu melihat Nura sudah ada di teras depan rumahnya.
Ia merasa semakin pusing dengan kehadiran Nura dalam kondisi dirinya seperti ini. Lelaki itu merasakan hidupnya benar-benar hancur saat ini. Semua terasa berat untuk dia jalani.
Nura yang sudah menunggunya sejak tadi. Ia langsung berdiri begitu melihat mobil Amar masuk ke gerbang dan berhenti di bagasi. Ia menyilangkan kedua tangannya di depan dada karena sangat marah pada Amar yang tak bisa dihubungi. Ia tidak terima dengan perlakuan dingin Amar terhadapnya.
Dengan perasaan yang terasa mumet, Amar turun dari mobilnya. Ditambah lagi dengan kehadiran Nura yang semakin menambah rasa marah dalam hatinya.
"Bagus ya, kamu! Aku telpon berkali-kali nomor kamu gak aktif! Ke kantor juga gak datang! Dan waktu malam kamu ninggalin aku sendirian di apartemen! Maksud kamu apa cuekin aku, Mas ?!" tanpa aba-aba Nura langsung menyambar Amar dengan pertanyaannya dan tatapan yang tajam.
Amar menghela nafas kasar. Saat ini dia butuh hal yang menenangkan dirinya. Bukan mesti mendengar amarah Nura.
"Aku lagi pusing, Ra. Aku capek. Aku lagi gak mau berantem sama kamu." Keluh Amar.
Setelah mengucapkan itu dia melengos hendak membuka pintu rumahnya.
"Tunggu, Mas!" Nura cepat menghalangi pintu rumahnya Amar hingga membuat Amar terdiam dan semakin geram pada Nura.
"Minggir, Ra. Aku benar-benar lagi butuh waktu sendiri. Lebih baik kamu pulang." Pinta Amar yang berusaha bicara baik-baik pada Nura.
Amar berusaha sabar menghadapi sikap Nura yang membuatnya semakin marah.
Bukannya membuat Nura mengerti perasaannya, tapi Perkataan Amar malah semakin membuat Nura kesal. Ia benar-benar tak terima.
"Aku bela-belain kesini pas jam istirahat di kantor untuk menemui kamu, Mas! Dan sekarang kamu usir aku, Mas ?!" Aku gak terima kamu perlakukan aku seperti ini!"
"Setelah apa yang sudah kamu lakukan sama aku, dan sekarang kamu bersikap dingin seperti ini sama aku, Hah ?! Kamu itu seenaknya banget sama aku tau gak!" lanjut Nura.
Amar masih terdiam berdiri menatapnya. Ia masih tetap berusaha sabar meskipun perasannya benar-benar terasa kacau dan tak mau diganggu.
Amar menghela nafasnya untuk berusaha tidak marah pada Nura.
"Ra.. Aku mengerti kamu marah. Aku minta maaf ya ? Tapi, aku minta pengertian kamu. Aku butuh waktu sendiri. Aku benar-benar tengah pusing dengan keadaan aku saat ini." Pinta Amar menatap lirih pada Nura.
PLAK!
Dengan rasa marah, Nura menampar pipi Amar dengan keras. Amar semakin geram dan tak bisa sabar lagi.
"Nura!" Geram Amar dengan tatapan tajam.
"Apa, Mas ?! Aku ini juga cewek kamu, Mas! Aku gak terima kamu seenaknya bersikap kayak gini sama aku! Apa kamu gak mikirin perasaan aku, Hah ?!" Meskipun merasa takut melihat Amar nampak marah, Nura tetap memilih nekat untuk terus bicara.
Tak mau semakin marah, Amar menarik pergelangan tangan Nura. Ia menariknya ke pinggir pintu, hingga membuat pergelangan tangan Nura kesakitan dan terseret ke pinggir tak lagi menghalangi pintu rumahnya Amar.
Setelah itu, Amar membuka kunci pintu rumahnya. Nura terus berusaha menarik tangan Amar agar amar tidak bisa masuk ke dalam rumahnya.
"Mas, aku belum selesai bicara sama kamu, Mas! Kamu jangan dulu masuk!" Ucap Nura masih sambil menarik pergelangan tangan Amar yang begitu kuat. Amar tetap tak memperdulikan.
Begitu pintunya terbuka, ia langsung masuk dan cepat menutup pintunya meninggalkan Nura sendirian di luar.
Klek!
Nura terus memukul-mukul pintunya dengan kesal. Ia berharap Amar mau membuka pintunya.
Bruk! Bruk! Bruk!
"Mas, Buka pintunya, Mas!"
Bruk! Bruk! "Aku gak terima kamu cuekin aku kayak gini, Mas!"
Bruk! Bruk! "Mas, Buka pintunya, Mas!" Bruk! Bruk! Bruk!
"Brengsek kamu! Seenaknya kamu sama aku, Mas!" Bruk! Bruk! Bruk!
Amar tetap tidak mempedulikan. Ia lebih memilih untuk pergi ke kamarnya dan butuh waktu sendiri.
🍁🍁🍁
"Rasya, kamu mau pergi lagi, Nak ?" Dengan perasaan yang getir, Pak Bram yang duduk di kursi roda bertanya pada putranya yang tengah turun dari tangga sambil memegang kunci mobil ditangannya.
Lelaki yang kini memakai kaos hitam dan berbalut jaket hitam itu, terdiam sejenak menghentikan langkahnya tanpa mau menoleh melihat pada wajah ayahnya.
"Saya mau ke apartemen seperti biasanya." Tanpa menatap ayahnya, Rasya menjawab dengan datar.
"Kenapa kamu enggak tinggal di rumah ini saja sama ayah, Nak ? Selama ini kamu sudah lama di Singapura. Ayah sudah lama tidak bertemu kamu. Dan sekarang, saat kamu sudah kembali ke rumah ini, kamu tetap tidak mau tinggal disini, Nak."
Bola mata Pak Bram memanas diiringi dengan rasa sesak dan pedih dalam hatinya. Ia benar-benar terasa perih melihat putra semata wayangnya itu menjadi sangat membenci dirinya.
Rasya memilih diam. Rasanya percuma baginya untuk menjawab pertanyaan ayahnya itu. Karena baginya harusnya ayahnya mengerti, mengapa dirinya menjadi tidak mau tinggal serumah dengannya.
"Rasyaa... Ayah tahu ayah punya salah sama kamu, Nak. Ayah tahu, ayah pernah melakukan kesalahan yang sangat fatal. Ayah minta maaf, Nak. Ayah minta maaf. Tapi ayah mohon, jangan bersikap seperti ini sama ayah, Nak." Air mata pun mengalir membasahi pipinya Pak Bram dengan hatinya yang terasa pedih.
Rasya bisa mendengar isakan tangis ayahnya itu. Namun, hatinya tetap masih belum mampu untuk berhubungan baik lagi dengan ayahnya itu.
"Seandainya maaf Anda bisa mengembalikan ibu saya. Namun, itu mustahil. Anda telah membuat saya kehilangan wanita yang sangat saya cintai."
"Perlakuan bejat Anda dengan wanita pelacur itu telah membuat ibu saya meninggalkan saya untuk selamanya. " Masih tanpa menatap ayahnya, Rasya menjawab.
Rasanya nyeri sekali hati Rasya ketika kembali mengingat Ibunya. Hatinya selalu saja teriris setiap kali mengingat kejadian sekitar sembilan tahun yang lalu.
Meski kejadian itu sudah lama, nyatanya waktu tak mampu membuat luka di hatinya terobati. Perasaan perih dan pedih atas kehilangan Ibunya itu masih selalu terasa tersayat perih dalam dadanya.
Hati Pak Bram semakin terasa pedih. Ia merutukki kesalahannya. Dan selalu seperti itu setiap hari dalam hidupnya.
Andai waktu bisa diputar kembali, Pak Bram ingin sekali untuk tidak pernah melakukan hal bejat itu yang membuatnya kehilangan istrinya dan membuat putranya sangat membencinya. Ia menangis sesenggukan menerima kenyataan pahit dibenci oleh anaknya sendiri.
Rasya tak memperdulikan, Ia memilih untuk melanjutkan langkahnya untuk segera pergi dari rumah yang selalu membuatnya terluka ini.
"Rasya, ayah mohon kamu jangan pergi lagi, Nak.." Lirih Pak Bram melihat kepergian putranya.
"Semua ini salahku.. anakku membenciku gara-gara aku.. Ya Allah maafkan hamba ya Allah..." Pak Bram merutukki dirinya sendiri. Ia sendirian menangis di ruang tengah rumahnya itu.
Di rumahnya hanya ada asisten rumah tangga yang tengah masak di dapur dan juga Riani--perawat dirinya yang tengah menyiapkan obat untuknya di dapur juga.
🍁🍁🍁
Di dalam kamarnya, Via membaringkan tubuhnya yang tengah sakit. Badannya kini semakin ambruk dan melemah juga terasa panas.
"Astaga. Padahal tadi siang cuma pusing sedikit dan cuma gak enak badan. Kenapa sekarang jadi tambah terasa pusing. Untuk berdiri saja rasanya susah." Keluh Via yang berusaha membangunkan tubuhnya. Namun, sulit.
Tok.. Tok.. Ceklek!
Bu Nazwa masuk ke dalam kamar putrinya itu. Saat pintu sudah terbuka, ia menatap tidak tega pada Via.
"Bu." Ucap Via yang berusaha tersenyum dengan suara yang lemah begitu melihat ibunya berdiri di depan pintu.
Bu Nazwa menghampiri putrinya. Dimatanya, Via itu tetaplah anak kecil yang masih sangat membutuhkan perhatiannya.
"Kamu udah minum obatnya, Nak ?" Sambil melihat ke obat dan satu gelas air minum yang ada di laci, Bu Nazwa berucap.
"Tadi udah, Bu." Jawab Via lemah.
Bu Nazwa tersenyum lirih menatap putrinya. Ia tahu Via adalah sosok anak yang selalu berusaha kuat dan selalu berusaha menyembunyikan kesedihannya. Tapi, Ia juga tahu jika sebenarnya putrinya itu merasa hancur.
Bu Nazwa duduk di tepi tempat tidur Via. Ia menempelkan punggung tangannya di kening Via. Ia merasakan kening putrinya itu cukup panas.
Setelah menyentuh keningnya, Bu Nazwa beralih memegang tangan Via yang terasa panas juga.
"Badan kamu panas sekali, Vi." Ucap Bu Nazwa yang merasa tidak tega. Via pasti benar-benar kepikiran akan pernikahannya yang sudah retak. Pikirnya.
Via hanya terdiam saja melihat perlakuan Ibunya. Ia merasa tidak terlalu mempermasalahkan akan sakitnya itu.
"Nanti juga sembuh, Bu."
"Kamu ini kalo ada masalah jangan selalu dipendam sendirian, Nak. Itu gak baik buat kamu." Pesan Bu Nazwa. Via memejamkan matanya cukup lama untuk meg-iyakan ucapan Ibunya.
"Iya, Bu." Jawab Via dengan lirih.
"Kamu pasti belum makan juga ya ?" tanya Bu Nazwa khawatir.
"Kalo pagi udah kok, Bu. Via juga lagi gak selera makan."
"Astagfirullah, Nak.. ini 'kan sudah sore. Harusnya kamu juga makan dulu kalo minum obat." Bu Nazwa benar-benar khawatir dengan putrinya itu.
"Kalo tau kamu bakal sakit sampai demam seperti ini, mungkin sudah dari tadi ibu buatkan bubur." Lanjut Bu Nazwa.
"Gak papa, Bu. Via beneran gak papa." Lagi-lagi Via berusaha membuat Ibunya tak khawatir.
"Udah, ibu akan beli bubur dulu di tukang bubur yang dekat dengan rumah kita." Sambil berdiri Bu Nazwa berucap. Ia langsung berjalan pergi keluar kamar Via, tak memperdulikan yang melarangnya.
"Duh, ibu. Padahal gak usah repot-repot." Gumam Via yang tidak mau merepotkan Ibunya.
🍁🍁🍁
Bu Nazwa keluar dari gerbang rumahnya untuk membeli bubur untuk Via. Rasya yang akan pergi ke apartemennya, langsung menghentikan mobilnya tepat di depan Bu Nazwa. Ia belum sempat menemui Bu Nazwa semenjak pulang ke Indonesia.
Bu Nazwa menatap heran pada mobil yang berhenti di depannya itu. Sedangkan, Rasya segera turun dari dalam mobilnya. Ia tersenyum ramah pada Bu Nazwa.
Bu Nazwa tertegun melihat Rasya, anak dari Bu Almira--sahabatnya itu. Bu Nazwa sangat pangling dengan perubahan Rasya yang begitu menakjubkan.
*****
Bersambung...