Membalas pengkhianatan suami dan Sahabatku (13)
Amar sampai di rumah ibunya Via---Bu Nazwa. Ia menutup pintu mobilnya dan melihat ada Bu Nazwa yang tengah di teras luar. Berkali-kali Amar menghela nafasnya untuk berusaha berani menanyakan Via pada Bu Nazwa.
"Kamu harus berani, Mar. Kamu itu lelaki, kamu harus gentle!" batinnya berucap menguatkan dirinya sendiri.
Bu Nazwa yang tengah ada diluar menunggu kedatangan Via langsung berdiri begitu melihat Amar datang. Ia merasa sangat kecewa atas apa yang Amar lakukan pada putrinya.
"Assalamualaikum, Bu." Ucap Amar sambil menjulurkan tangannya setelah menghampiri Bu Nazwa. Ia ragu-ragu melakukan hal itu, karena meyakini jika Bu Nazwa juga akan kecewa padanya.
"Wa'alaikum salam." Sambil meraih uluran tangan Amar, Bu Nazwa menjawabnya. Meskipun dia merasa kecewa, ia merasa tetap harus bersikap dengan baik.
"Bu, Maaf saya mau ketemu Via. Via pasti ada disiniย 'kan, Bu ? Saya mohon ijinkan saya untuk bertemu dengan Via, Bu." Pinta Amar dengan penuh harap.
Perasaannya sangat malu sekali karena setelah apa yang dia lakukan pada Via, ia masih berani menginjakkan kakinya untuk menemui Via.
"Via tengah ke rumah sakit." Jawab Bu Nazwa singkat dan datar. Amar sangat khawatir mendengarnya. Ia merasa panik.
"Ke rumah sakit, Bu ? Via kenapa, Bu ? Kenapa Via sampai ke rumah sakit ?" tanyanya khawatir.
"Via katanya kepala terasa pusing."
Bu Nazwa menghela nafasnya.
"Ibu sudah tahu apa yang tengah terjadi di antara kalian. Amar, ibu mau tanya sama kamu. Apa benar kamu menyelingkuhi Via dengan selingkuh sama Nura, Sahabatnya Via sendiri ?" tanya Bu Nazwa dengan tatapan yang terlihat serius di mata Amar.
Amar langsung merasa gugup. Ia langsung menunduk karena malu.
"I-ya, Bu. Saya minta maaf, Bu. Saya tau saya salah. Untuk itu saya kesini untuk memperbaiki semuanya."
"Ibu benar-benar kecewa sama kamu. Ibu gak nyangka kamu akan melakukan hal itu pada anak ibu."
"Saya benar-benar minta maaf, Bu. Saya mohon ibu maafkan saya. Saya janji tidak akan melakukan hal ini lagi pada Via, Bu. Saya akan akhiri hubungan saya dengan Nura, Bu."
"Kamu bicarakan sama Via. Via yang lebih punya hak untuk memaafkan kamu atau tidak. Dan lebih baik kamu tidak usah berjanji. Buktikan saja bahwa kamu benar-benar akan berubah."
Sejenak Amar mendongakan kepalanya. Ia menatap sungguh pada Bu Nazwa. Membuktikan bahwa dia serius akan ucapannya.
"Ba-ik, Bu." Jawab Amar disertai anggukan.ย
Setelah itu Bu Nazwa pun masuk ke dalam rumah dan meninggalkan Amar sendirian di teras luar.
๐๐๐
Via tertegun begitu melihat ada Amar yang tengah duduk menunduk di kursi luar teras rumahnya. Ia melangkah dengan perasaan yang marah dengan kehadiran Amar.
Amar yang melihatnya tersenyum lega dengan kedatangan Via.
"Via ?" ucapnya. Iapun berdiri. "Kata ibu, kamu ke rumah sakit. Kamu sakit apa, Sayang ?"
"Mau ngapain lagi kamu kesini, Mas ?!" Tak memperdulikan ucapan Amar, dengan penuh amarah Via langsung berbicara begitu sampai di dekat Amar.
"Aku cuma mau minta maaf sama kamu, Sayang. Aku cuma mau memperbaiki semuanya."
"Pergi, Mas! Pergi dari rumah aku!" ucap Via tajam.
"Tapi aku mau bicara sama kamu, Vi. Aku mohon maafin aku, ya ?"
"Aku bilang pergi, Mas!" Lagi-lagi Via berucap dengan sorot mata yang tajam. Ia sudah tidak sudi lagi melihat Amar.
Amar menggeleng. Ia tetap bersikeras untuk mendapatkan maaf dari Via.
"Enggak. Sebelum kamu maafin aku, aku gak mau pergi dari sini, Sayang."
PLAK! Dengan keras Via menampar pipi Amar. Amar langsung menohok sambil memegang pipinya yang terasa panas.
"Aku bilang pergi, pergi Mas! Aku gak mau lihat kamu lagi!"
Masih belum menyerah, Amar tidak peduli dengan tamparan Via. Yang penting baginya, ia bisa mendapatkan maaf dari Via dan bisa bersama kembali. Ia tidak mau sampai kehilangan Via.
"Kamu tampar aku sepuas kamu aja, Vi. Ayo, tampar aku lagi. Tampar aku. Pukul aku sepuas kamu. Yang penting kamu maafin aku. Kamu mau kembali lagi tinggal sama aku."
PLAK! Lagi-lagi Via menampar Amar dengan penuh amarah. Hatinya terasa pedih, tapi ia berusaha untuk tidak meneteskan sedikit pun air mata di hadapan Amar. Ia tidak mau terlihat lemah.
Amar hanya terdiam dengan tamparan Via.
"Aku gak mau pulang tinggal sama kamu lagi! Justru aku ingin kita pisah Mas! Sekarang juga ceraikan aku, Mas!" Pinta Via yang sudah meyakini keputusannya. Hatinya sudah terlanjur remuk dan tak sudi lagi memberikan kesempatan pada Amar.
Amar tertegun dengan ucapan Via. Ia syock dan benar-benar tidak menyangka Via akan mengatakan hal itu. Tak pernah ia bayangkan sama sekali.
Ia menggeleng tak percaya.
"Enggak, Vi. Kamu pasti becanda 'kan ? Kamu gak mungkin mau pisah sama aku. Aku yakin kamu masih cinta sama aku 'kan ?" tanya Amar penuh harap.
Ia menatap lirih pada Via, berharap wanita dihadapannya itu tidak serius dengan apa yang diucapkannya.
"Aku benar-benar serius dengan ucapan aku, Mas! Cepat, ceraikan aku sekarang juga!" Pinta Via.
"Enggak, Vi. Aku gak akan ceraikan kamu! Aku gak mau pisah sama kamu!" Kekuh Amar.
Via manggut-manggut.
"Oke. Kalo itu mau. Kalo gitu biar aku yang gugat pisah kamu!"
Deg. Amar tertegun.
Setelah mengucapkan itu, Via berjalan hendak masuk. Namun, Amar menarik pergelangan tangannya hingga Via kembali menoleh.
"Lepasin tangan aku, Mas!" Dengan tatapan tajam Via berucap. Ia berusaha melepaskan tangannya, Namun Amar terlalu kuat.
"Enggak, Sayang. Aku mohon kamu jangan gugat pisah aku ya ?" Pinta Amar memohon.
Rasya yang hendak ke rumahnya untuk mengetahui keadaan ayahnya, menghentikan mobilnya di depan gerbang rumahnya Bu Nazwa. Ia cukup terkejut ketika melihat Via. Apalagi Via terlihat tengah bertengkar.
"Via ? Via ada di rumah ibunya ?" tanyanyaya sendiri karena yang dia tahu, Via tinggal bersama suaminya. Ia pun melihat Via yang tengah bertengkar.
Ingin rasanya menolong Via. Namun, ia merasa tak mau ikut campur.
"Apa yang sebenarnya terjadi dengan mereka. Bukannya itu suaminya ? Kenapa Via bertengkar dengan suaminya ?" Lagi-lagi Rasya bertanya sendiri.
"Mas, lepasin aku, Mas! Aku akan tetap gugat pisah ke pengadilan! Aku tetap ingin pisah sama kamu!"
Deg. Jantung Rasya seakan berhenti berdetak untuk beberapa detik. Ia mendengar sendiri jika Via mengatakan kata pisah pada suaminya.
Di dalam mobil ia tidak bisa membohongi dirinya sendiri. Ia merasa bersalah karena merasa senang mendengar Via meminta pisah pada suaminya.
"Astagfirullah.. Rasya.. kamu gak boleh kayak gitu." Sambil menggelengkan kepalanya, ia berucap demikian. Ia pun memilih untuk melajukan kembali mobilnya untuk masuk ke gerbang rumahnya. Ia tidak mau menjadi senang disaat Via bertengkar dengan suaminya.
"Astaga.. Rasya.. Rasya.. bisa-bisanya kamu senang lihat orang lain bertengkar." Gumamnya sambil menyetir mobilnya.
๐๐๐
Sedangkan Via. Ia masih terus berusaha melepaskan pergelangan tangannya dari Amar yang malah semakin kuat memegang pergelangan tangannya. Via merasa tangannya sakit.
"Mas! Aku bilang lepasin! Tangan aku sakit tau gak!"
Amar tetap tidak memperdulikan.
"Aku ingin kamu tarik ucapan kamu, Vi. Aku mohon, kamu jangan gugat pisah aku. Aku gak mau kehilangan kamu, Sayang."
Amar semakin takut kehilangan Via. Ia tetap ingin Via menarik ucapannya.
Karena Amar tidak mau juga melepaskan tangannya. Via memilih memukul-mukulkan satu tangannya dengan keras ke dadanya Amar agar Amar merasakan sakit.
BUGH! BUGH! BUGH! BUGH!
Amar merasa sedikit kesakitan. Namun dia tetap tidak mau melepaskannya. Akhirnya, Via pun kembali menampar Amar.
PLAK! PLAK! Dua kali Via menampar satu pipinya Amar dengan cukup keras. Kali ini Amar melepaskan tangannya dari pergelangan tangan Via.
Bukan karena masalah sakitnya atas tamparan Via, tapi ia menyadari jika apapun usahanya, Via tetap bersikeras dengan keputusannya.
Nafas Via tersenggal-senggal setelah marah. Ia pun memilih masuk kedalam rumah meninggalkan Amar yang terdiam tertegun.
Via langsung mengunci pintu rumahnya.
"Sayang." Panggil Bu Nazwa pada Via. sejak tadi Bu Nazwa melihatnya lewat tirai. Ia ingin membantu Via. Namun, ia tahu putrinya itu pasti bisa menghadapinya.
Via menoleh pada ibunya. Bu Nazwa langsung memeluk putrinya yang ia tahu bahwa putrinya tengah hancur.
Air mata pun akhirnya menetes diiringi tangis sesenggukan Via. Pelukan ibunya seakan menjadi tempat untuk meluapkan kesedihannya.
Ia menangis sesenggukan di pelukan Bu Nazwa. Bu Nazwa mengelus punggung putrinya. Ia berusaha mengerti kondisi putrinya itu.
Sedangkan Amar, ia memilih pulang dengan keadaan dirinya yang terasa kacau. Baginya terasa sia-sia untuk membuat Via luluh. Ia merasa putus asa karena semakin terasa tidak punya harapan lagi untuk membuat Via kembali lagi bersamanya.
BUK! BUK! BUK!
Berkali-kali ia memukul setir mobilnya sambil menyetir dan merutukki dirinya sendiri.
"Argghhh! Kenapa semua jadi kacau seperti ini!" BUGH! BUGH! BUGH!
๐๐๐
Rasya masuk ke pintu rumahnya, kemudian ia melihat ayahnya tengah di meja makan bersama perawatnya yang sedang menyiapkan makanan. Ia melengos saja pergi dan hendak pergi ke dalam kamarnya.
"Rasya!" Seru ayahnya membuat Rasya menghentikan langkahnya. Rasya terdiam tanpa mau menoleh.
"Akhirnya kamu mau pulang lagi ke rumah, Nak." Dengan perasaan haru Pak Bram berucap sambil menatap putra satu-satunya itu.
Ia sangat senang karena dipikirnya Rasya mau tinggal serumah dengannya. Bola matanya sampai terasa berkaca-kaca akan kehadiran anaknya. Ia berharap, Rasya sudah mulai mau memaafkannya.
"Saya kesini cuman untuk mau mengambil beberapa pakaian untuk di apartemen. Bukan untuk tinggal disini." Tanpa membalikkan badan Rasya berucap dingin, kemudian ia melanjutkan kembali langkahnya.
Sedangkan, dalam hatinya ia sudah merasa cukup tenang karena tahu ayahnya baik-baik saja. Tapi dia tetap tidak mau terus melihat wajah ayahnya. Ia memilih untuk pergi ke apartemennya Setelah ini.
Pak Bram hanya bisa terdiam getir dengan perasaan yang pedih atas kesalahannya sendiri hingga membuat putranya sangat membencinya. Perawat yang bernama Riani itu hanya terdiam berdiri dan ikut merasa sedih akan hubungan anak dan ayah yang kurang baik.
Rasya masuk ke dalam kamarnya. Ia berdiri sambil melepaskan jas dokternya dan menaruhnya diatas tempat tidur.
Kemeja yang ia pakai juga ia lepas hingga hanya menyisakan kaos polosnya yang bewarna putih. Hari ini ia merasa lega karena sesi kerjanya di rumah sakit sudah selesai.
Tak lama iapun membaringkan tubuhnya yang terasa lelah itu. Kedua tangannya menopang kepalanya. Tatapannya melihat ke atas langit-langit kamar dengan pikiran yang memikirkan kejadian dengan ayahnya tadi.
Ia sendiri tidak tahu, sampai kapan ia terus membenci ayahnya sendiri. Tiba-tiba ia teringat dengan wanita pelacur yang sudah menjadi penyebab ibunya meninggal.
"Bagaimana dengan wanita pelacur simpanan ayahku itu ?! Apa dia masih hidup atau sudah mati ? Apa ayahku masih ada hubungan dengannya. Cih! Sampai kapanpun aku tidak akan memaafkan perempuan iblis itu!" Desisnya dengan perasaan yang dipenuhi kebencian.
*****
Bersambung...