Chapter 11 - Dokter itu ?

Membalas pengkhianatan suami dan Sahabatku (11)

Karena masih terasa pusing, Via memilih berangkat naik taksi untuk pergi ke rumah sakit. Rasanya tak mungkin baginya untuk menyetir mobil sendiri dalam keadaannya yang sedang tidak enak badan seperti sekarang ini.

Badannya benar-benar terasa mual.

"Bu, Via mau ke rumah sakit dulu ya." Ucap Via pada ibu Nazwa yang tengah membaca majalah di kursi yang ada di teras luar rumahnya.

Bu Nazwa menaruh majalahnya ke meja, ia melihat pada Via dengan khawatir karena tahu keadaan putrinya tengah tidak baik-baik saja.

"Loh, tadi katanya mau istirahat ?"

"Via gak kuat, Bu. Kayaknya ini gak bisa ditidurkan. Kepala Via rasanya benar-benar pusing. Badan Via juga terasa mual, gak enak banget."

"Kalo gitu ibu antar, ya ?"

"Jangan, Bu. Via akan naik taksi aja." Sergah Via yang tak mau merepotkan Ibunya.

"Oh yaudah deh kalo itu mau kamu. Tapi kamu mesti hati-hati ya, Nak."

"Iya, Bu."

"Oh iya, Bu. Rasya udah pulang ya ?" tanya Via sambil melihat pada Rumah Rasya yang bersebelahan dengan rumahnya.

"Ah, masa ?"

"Via lihat Rasya di apartemen, Bu. Via pikir ibu sudah tahu."

"Ibu juga gak tau, Vi. Ibu gak pernah lihat Rasya juga. Apa iya ya ? Rasya sudah pulang ? Yang ibu tau sih ayahnya Rasya, Pak Bram sekarang ini lumpuh, Nak ?"

Deg. Via cukup terkejut mendengarnya.

"Lumpuh, Bu ?"

"Iya. Baru sekitar dua mingguan yang lalu. Katanya Pak Bram jatuh di kamar mandi. Ibu cuman suka lihat Pak Bram dirawat sama susternya. Ibu gak pernah lihat ada Rasya."

Via terdiam syock mendengarnya.

"Rasya pasti sedih jika tahu soal ini, Bu."

*****

Setelah sampai rumah sakit, suster menyuruhnya untuk masuk ke ruangan periksa. Via masuk membuka pintu ruangan itu.

Ceklek.

Deg.

Jantungnya seakan berhenti berdetak untuk beberapa detik begitu melihat seorang lelaki yang tengah duduk sambil main handphone di meja dokter. Lelaki itu menunduk dan tak sadar akan kehadiran pasiennya.

"A-pa aku tidak salah lihat ?" Dalam hati Via berucap tak percaya.

"Ra-Rasya ?" Rasanya tak menyangka dia bisa bertemu Rasya kembali. Lelaki yang tengah main ponsel itupun langsung mendongakan kepalanya. Rasya ikut tertegun saat melihat wanita yang ada di hadapannya.

Dengan masih tertegun, Rasya berdiri. Pandangannya tak lepas menatap wanita berhijab dihadapannya. Ada perasaan yang sangat sangat rindu dalam hatinya.

"Vi-ya ?" ucap Rasya yang sama tak menyangka. Ia pun menaruh ponselnya ke meja tanpa mengalihkan pandangannya dari Via.

Baik Rasya ataupun Via, keduanya saling menatap penuh haru.

Rasya menjulurkan tangannya untuk menyalami wanita yang masih ia cintai dalam hatinya itu. Dengan senang hati Via meraih uluran tangan lelaki yang dia anggap sebagai sahabat lelaki terbaik yang dia punya itu.

Keduanya saling berjabat tangan dan masih saling bertatapan haru. Ingin sekali rasanya Rasya memeluk Via, namun ia tahu Via adalah wanita baik-baik yang lebih layak untuk dihormati. Dan ia juga sadar, jika dirinya hanyalah sebatas sahabat bagi Via.

Tak lama kedua tangan pun saling melepaskan.

"Alhamdulillah. Kita ketemu lagi ya, Sya ? Kamu sejak kapan ada di Indonesia ? Kenapa kamu gak bilang sama aku kalo kamu udah pulang, Sya ?" tanya Via beruntun dengan perasaan yang haru.

Rasya hanya terkekeh. Sudah lama ia berusaha melupakan Via dengan tetap tinggal di Singapura. Namun, Ia merasa semuanya sia-sia. Perasaannya pada Via tak kunjung hilang juga.

Jika bukan karena mesti merawat ayahnya yang sekarang tengah lumpuh, Rasya sangat tidak mau pulang ke Indonesia dan mesti bertemu Via lagi. Hingga saat ini, Ia merasa belum sanggup melihat Via menjadi milik lelaki lain.

"Iya, Vi. Aku baru pulang tiga hari yang lalu."

Via manggut-manggut. Tatapannya melihat penuh takjub pada Rasya yang kini sudah memakai jas dokter.

"Hebat kamu. Kamu benar-benar bisa mewujudkan impian kamu untuk menjadi dokter, Sya."

"Kamu masih ingat dengan impian aku, Vi ?"

"Iyalah. Aku gak mungkin lupa."

"Aku pikir kamu udah lupa sama aku, Vi."

Via terkekeh dengan ucapan Rasya.

"Enggak mungkinlah, Sya. Kamu kan sahabat lelaki tebaik aku."

Ada perasaan nyeri dalam hatinya Rasya saat Via mengatakan jika dirinya hanyalah sahabatnya. Meskipun, kenyataannya memanglah benar. Namun, rasanya benar-benar menyakitkan.

Lelaki itupun hanya terkekeh.

"Justru kamu yang kayaknya udah lupa sama aku, Sya. Dua tahun kemarin, tiba-tiba nomor handphone dan semua sosmed kamu gak aktif. Padahal enam tahun kita masih saling berkabar. Kamu kemana coba ?" tanya Via yang sudah lama ingin menanyakan soal ini.

Rasya menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Mendengar pertanyaan Via membuatnya bingung untuk menjawab.

Ia merasa tak mungkin mengatakan yang sebenarnya jika dia tidak mau pulang ke Indonesia selain karena tidak mau bertemu dengan ayahnya, ia juga tidak mau bertemu lagi dengan Via yang sudah menikah.

"Eu-- Iya, Vi. Handphone aku hilang. Jadi semua nomor handphone kamu dan teman-teman aku yang ada di Indonesia semuanya juga ikut hilang. Aku juga jadi sudah lama enggak main sosmed." Jawab Rasya beralasan.

Via manggut-manggut meskipun jawaban Rasya terdengar kurang masuk akal. Namun, ia memilih untuk tidak terus bertanya. Ia mengerti jika sepertinya Rasya merasa terganggu ketika cerita hidupnya terlalu diketahui orang lain.

"Oh iya, kamu punya keluhan apa ke sini ?" tanya Rasya yang berusaha menghindari agar Via tak bertanya hal lebih lagi.

"Oh iya. Kepala aku pusing, Sya. Badan aku juga gak enak. Rasanya mual." Keluh Via.

"Yaudah, kamu tiduran dulu di hospital bed, ya. Aku akan periksa."

Via pun menuruti. Ia membaringkan tubuhnya di hospital bed. Sedangkan, Rasya dengan wajah serius mulai memeriksa Via.

Tatapan Via menatap pada Rasya yang tengah memeriksa-nya. Sebagai wanita normal, Ia tidak bisa membohongi jika Rasya semakin terlihat tampan. Pikirannya pun bertanya-tanya siapa wanita yang bisa dicintai oleh sahabatnya yang menurutnya dingin itu ?

Degup jantungnya Rasya semakin terasa berdegup kencang saat Via terlihat memperhatikannya. Namun, Rasya berusaha terlihat biasa saja. Dan untungnya, tak lama Via memejamkan matanya sehingga dia tidak merasa terlalu panik lagi.

Saking paniknya, Rasya sampai merasakan ada bercak keringat di pelipisnya.

Disaat Via memejamkan matanya, Rasya berusaha mencuri pandang. Ia menatap dengan perasaan yang masih sangat mencintai wanita yang dia tatap itu. Via terlihat semakin cantik dan meneduhkan hatinya ketika matanya itu terpejam.

"Sudah, Vi." ucap Rasya. Via kembali membuka kedua bola matanya.

Setelah selesai memeriksa Via, Rasya mengambil sapu tangan yang dia simpan di saku jas dokternya. Ia me-lap keringatnya. Perasaannya benar-benar terasa gugup.

Rasya pun kembali ke meja dokternya. Ia duduk sambil masih me-lap keringatnya.

Sambil turun dari ranjang pasien, Via hanya melihat pada Rasya dengan heran karena melihat Rasya begitu gugup. Ia menghampiri Rasya dan duduk di tempat semula.

*****

Setelah selesai diperiksa, Via berharap dirinya tidak hamil.

"Jadi aku kenapa, Sya ?" tanya Via tak sabar ingin tahu jawabannya. Lelaki dihadapannya itu, memasukkan kembali sapu tangannya ke saku. Ia menatap pada Via.

"Badan kamu drof. Apa kamu juga sedang banyak pikiran dan kurang istirahat ?" tanya Rasya.

Dalam hatinya ia merasa heran karena dari hasil pemeriksaan Via banyak pikiran. Ia tidak sanggup melihat wanita yang masih sangat ia cintai itu tidak bahagia.

Via menghembuskan nafasnya yang terasa lega karena ternyata dia tidak hamil.

"Aku memang sedang banyak pikiran dan kurang istirahat, Sya."

Rasya manggut-manggut. Ingin rasanya dia mengetahui apa yang menjadi beban pikiran Via. Ia ingin menjadi tempat Via bercerita. Namun, lagi-lagi ia menyadarkan dirinya bahwa dia bukan orang yang lebih berhak atas semua itu.

"Kalo gitu, aku tulis dulu resepnya, ya ?" Rasya menulis resepnya.

"Ini resepnya." Via meraih kertas resep yang Rasya berikan.

"Semoga cepat sembuh, ya." Ucap Rasya dengan tatapan lirih. Ia merasa sedih begitu mesti melihat Via dalam kondisi sakit seperti ini.

"Amin, Sya." Sambil memasukkan resep ke dalam tas, Via menjawab.

"Aku minta maaf ya karena saat kamu menikah aku gak datang." ucap Rasya.

Via tersenyum melihatnya.

"Iya, gak papa. Aku ngerti 'kok. Kamu sendiri 'kan yang bilang, kalo kamu gak bisa datang karena saat itu hari pertama kamu kerja menjadi dokter di Singapura ?"

Rasya mengangguk, mesti sebenarnya bukan karena itu alasannya. Ia merasa tak sanggup untuk melihat Via menikah dengan lelaki lain dan akhirnya dia memilih untuk tetap tinggal di Singapura. Lalu, kerja menjadi dokter selama hampir dua tahun di Singapura.

"Ya... Meskipun, aku pengennya kamu datang di hari berkesan dalam hidup aku. Tapi aku juga ngerti kalo karier kamu menjadi seorang dokter itu adalah impian kamu. Jadi aku ngerti 'kok." Ucap Via.

Rasya hanya terkekeh.

"Iya. Aku benar-benar minta maaf, ya ?"

"Iya, tenang aja. Hem... Kamu sendiri udah punya pasangan ?" Sambil senyum-senyum Via menanyakan itu. Ia penasaran dengan sahabatnya itu setelah delapan tahun tidak bertemu.

Namun Rasya hanya menggeleng sambil terkekeh.

"Aku lagi gak punya pasangan, Vi."

"Serius ?" tanya Via yang tak percaya dengan menohok. Masalahnya, Rasya terlihat tampan dan mapan. Harusnya ia mudah sekali untuk mendapatkan wanita. Pasti banyak wanita yang mau kepadanya. Pikirnya.

"Aku serius." Jawab Rasya dengan tatapan lekat.

"Kamu pasti terlalu pilih-pilih 'kan ?"

Lagi-lagi Rasya terkekeh.

"Aku hanya belum bisa melupakan wanita yang masih sangat aku cintai, Vi. Tapi, sekarang wanita itu udah menjadi milik orang lain." Dengan tatapan lekat pada Via, Rasya mengucapkan itu.

Via manggut-manggut sambil senyum-senyum. Tak menyangka ada juga wanita yang dicintai oleh sahabatnya yang dingin itu. Bahkan ia tak menyangka, jika Rasya sampai susah melupakan wanita itu.

"Wanita itu pasti sangat istimewa ya, bagi kamu ?" tanya Via penasaran.

"Sangat. Ia sangat istimewa buat aku."

"Hem.. boleh dong aku tahu ? Ada fotonya ?"

Mendengar itu, Rasya langsung melihat jam ditangannya. Ia langsung berdiri hingga membuat Via bingung.

"Aku waktunya istirahat. Kamu mau ikut ke kantin ?" tanya Rasya. Ia merasa beruntung karena kebetulan jam istirahat tiba. Jadi dia bisa menghindar dari pertanyaan Via.

"Tapi, aku takut nanti suami kamu marah jika sampai dia lihat aku sama kamu. Nanti dia berpikir yang macam-macam." Lanjut Rasya sebelum Via menjawab pertanyaan- nya.

Via merasa jika Rasya memang sengaja menghindar agar tidak ditanya soal wanita yang dicintainya itu. Ia pun berdiri, menenteng tas yang dia bawa.

"Eum.. kayaknya aku mau langsung pulang aja, Sya."

"Oh yaudah, kalo gitu. Hati-hati ya."

Via mengangguk.

*****

Saat Via keluar dari rumah sakit, rasanya ingin sekali Rasya mengantarkannya pulang disaat Via tengah sakit. Ia pun memilih mengikuti Via dari belakang.

Dari lobby rumah sakit, sambil memasukkan satu tangannya ke saku jas dokter, Ia memperhatikan Via dari mulai Via menunggu taksi hingga sampai akhirnya Via tak terlihat lagi dalam pandangannya. Ia ingin memastikan wanita yang dia cintai itu baik-baik saja.

"Sampai kapan aku terus terjebak mencintai kamu, Vi ? Nyatanya delapan tahun tidak bertemu, tidak bisa membuat aku menghilangkan perasaan ini pada kamu."

"Sampai kapan aku memendam perasaan ini ? Aku takut persahabatan kita akan hancur jika aku mengungkapkannya, Vi." Lirihnya dalam hati.

*****

Bersambung....