Di suatu tempat di tengah dimensi kegelapan, Lilith berdiri di hadapan sebuah singgasana besar yang terbuat dari obsidian hitam. Singgasana itu diduduki oleh sosok yang lebih mengerikan—Beelzebub, penguasa kegelapan yang dikenal sebagai "Tuan atas Kerajaan Iblis". Aura yang memancar darinya begitu menekan, bahkan bagi Lilith.
"Aku kecewa padamu, Lilith," kata Beelzebub dengan suara berat yang bergema di seluruh ruang itu. "Seorang manusia, dengan bantuan penjaga tua seperti Rangda dan Barong, berhasil membuatmu mundur?"
Lilith menundukkan kepala, tidak berani menatap langsung ke mata Beelzebub. "Manusia itu memiliki kekuatan yang tidak biasa, dan topeng Rangda memperkuatnya. Tapi ini hanya sementara. Aku telah menanam benih kegelapan di Gunung Agung. Saat waktunya tiba, kegelapan itu akan tumbuh dan menguasai pulau ini."
Beelzebub memandangi Lilith dengan penuh keraguan sebelum akhirnya tersenyum dingin. "Benar, kita akan memastikan kegelapan itu tidak bisa dihentikan. Aku akan mengirimkan bantuan untukmu. Astaroth dan Belphegor akan bergabung dalam rencana ini. Gunakan mereka dengan bijak, dan pastikan Bali jatuh ke dalam kegelapan selamanya."
Lilith tersenyum tipis, meskipun ia merasa terintimidasi. Dengan tambahan kekuatan dari kedua iblis besar itu, rencananya pasti akan lebih sulit dihentikan.
Kembali ke Bali
Sementara itu, Arya, Rangda, dan Barong kembali ke desa tempat mereka berkumpul. Energi di Gunung Agung telah dipulihkan, tetapi mereka tahu ancaman Lilith masih jauh dari selesai.
"Kita tidak bisa hanya menunggu mereka menyerang lagi," kata Arya dengan tegas. "Kita harus tahu apa rencana mereka berikutnya."
Barong mengangguk. "Kita memerlukan bantuan. Ada makhluk lain di Bali yang bisa menjadi sekutu, tapi mereka sulit untuk dihubungi."
"Maksudmu makhluk penjaga dari dimensi lain?" tanya Arya, penasaran.
"Ya," jawab Rangda. "Makhluk-makhluk seperti Naga Besukih, penjaga spiritual Gunung Agung, atau bahkan Dewa Ratu Ayu, penguasa roh penyeimbang di Bali Selatan. Namun, memanggil mereka membutuhkan kekuatan besar, dan tidak semua akan bersedia membantu."
Arya terdiam, menyadari beban tugas yang harus mereka pikul. Ia memandang topeng Rangda yang terus bergetar lembut di tangannya. Mungkinkah kekuatan dalam dirinya cukup untuk membangkitkan sekutu-sekutu itu?
Misi Baru
Di tengah diskusi mereka, seorang pendeta desa datang dengan wajah pucat. "Ada sesuatu yang aneh di pesisir selatan," katanya. "Banyak penduduk desa yang bermimpi buruk dan merasakan kehadiran makhluk jahat di malam hari. Ada yang mengatakan, pantai di sekitar Tanah Lot mulai dipenuhi kabut hitam yang tidak biasa."
Rangda memicingkan matanya. "Itu bukan kebetulan. Pantai selatan Bali selalu menjadi titik energi besar, dan jika kegelapan mulai muncul di sana, berarti mereka mencoba menguasai elemen air."
Barong mengangguk. "Tanah Lot adalah tempat suci. Jika energi di sana terganggu, itu bisa berdampak pada seluruh keseimbangan pulau ini."
Arya mengepalkan tangan. "Baiklah, kita harus ke sana sebelum terlambat. Jika mereka mengirim iblis lain, kita harus siap."
Rangda menatap Arya dengan tatapan tajam. "Ini tidak akan seperti pertempuran sebelumnya, Arya. Kegelapan semakin kuat, dan kau harus mempersiapkan dirimu lebih baik."
Arya mengangguk dengan keyakinan. "Saya sudah melewati banyak hal, dan saya tidak akan mundur sekarang."
Persiapan di Tanah Lot
Saat mereka tiba di Tanah Lot, pemandangannya sudah berubah drastis. Air laut yang biasanya jernih kini tampak gelap dan berbuih, sementara kabut hitam menutupi seluruh area pura. Angin dingin yang tidak wajar bertiup, membawa bisikan-bisikan aneh yang membuat bulu kuduk merinding.
"Astaroth pasti ada di sini," kata Rangda. "Dia adalah iblis yang menguasai ilusi dan manipulasi pikiran. Jangan biarkan dia bermain dengan perasaanmu."
Barong berdiri di garis depan, siap menghadapi ancaman apa pun yang muncul. "Kita harus bekerja sama lebih erat dari sebelumnya."
Tanpa peringatan, bayangan besar muncul dari kabut. Sosok itu berbentuk naga dengan sisik hitam berkilauan dan mata merah menyala. Astaroth berdiri di atas kepala naga itu, melambaikan tongkat bercahaya gelap.
"Selamat datang di pesta kecilku," katanya dengan suara dingin. "Kalian datang tepat waktu untuk menyaksikan kehancuran Tanah Lot."
Arya, Rangda, dan Barong bersiap menghadapi musuh baru ini. Pertarungan untuk mempertahankan Bali dari kegelapan semakin memuncak, dan mereka tahu bahwa kegagalan bukanlah pilihan.
(Bersambung...)