Setelah keluar dari Goa Lawa, Arya memutuskan untuk mengikuti petunjuk dari topeng Rangda. Energi yang terpancar dari topeng itu terasa aneh, seperti ada kekuatan yang membimbingnya. Setiap kali ia memegang topeng tersebut, pandangannya seolah melihat bayangan samar-samar: gunung yang menjulang tinggi, laut yang berkilau di bawah sinar bulan, dan sebuah desa yang terlihat begitu sunyi, seolah terhenti oleh waktu.
Desa itu membuat Arya penasaran. Ia ingat cerita ibunya tentang sebuah desa kuno yang sering disebut dalam mitos, Trunyan, tempat jiwa-jiwa yang telah pergi tetap berada di ambang dunia. Tanpa ragu, ia memutuskan untuk mencari desa itu.
Perjalanannya membawanya ke tepian Danau Batur, sebuah danau yang dikelilingi oleh pegunungan tinggi. Di atas permukaan air yang tenang, bayangan Gunung Batur terlihat megah dan misterius. Penduduk setempat menyarankan Arya untuk menyewa perahu kecil jika ingin mencapai Trunyan, karena desa itu hanya dapat diakses melalui air.
Ketika ia mendayung perahu, udara terasa berubah. Suhu menjadi lebih dingin, dan kabut tipis mulai menutupi permukaan danau. Semakin dekat ia ke desa, semakin kuat aroma yang tajam, seperti bau dupa bercampur dengan sesuatu yang tidak dikenalnya.
Saat perahu mencapai daratan, Arya melihat sesuatu yang membuat jantungnya berdebar. Di tepi desa, berjajar tengkorak manusia yang diletakkan dengan rapi di altar batu. Pepohonan besar dengan daun yang lebat menaungi area tersebut, tetapi satu pohon menarik perhatiannya, Pohon Taru Menyan, pohon legendaris yang konon mengeluarkan aroma khas untuk menetralisir bau jasad.
Desa itu tampak sepi, tetapi Arya merasakan sesuatu yang mengawasi. Ia berjalan perlahan menyusuri jalan setapak di desa, melihat rumah-rumah tradisional yang tampak seperti tak berpenghuni. Namun, setiap langkahnya terasa lebih berat, seperti ada yang mencoba menghentikannya.
Di tengah desa, ia menemukan sebuah altar besar yang dihiasi kain poleng (kain hitam putih) dan bunga sesajen. Topeng Rangda di tangannya mulai bergetar, seolah merespons sesuatu. Sebelum ia sempat bereaksi, suara halus namun dingin terdengar di belakangnya.
"Apa yang kau cari di sini, anak manusia?"
Arya berbalik cepat. Di depannya berdiri seorang wanita tua dengan rambut putih panjang, matanya tampak kosong tetapi penuh dengan kebijaksanaan. Wanita itu mengenakan pakaian tradisional Bali, tetapi aura di sekitarnya membuat Arya merasa bahwa ia bukan manusia biasa.
"Saya mencari jawaban," kata Arya, suaranya terdengar tegas meskipun jantungnya berdebar. "Tentang waktu, dimensi, dan takdir saya."
Wanita itu tersenyum tipis. "Jawaban selalu ada di sekitarmu, tetapi hanya mereka yang cukup berani yang bisa memahaminya. Namun, di sini, kau juga akan menemukan pertanyaan baru."
Ia mengangkat tangannya, dan desa itu berubah. Rumah-rumah yang tadinya tampak sepi kini penuh dengan kehidupan, penduduk desa beraktivitas seperti biasa, tetapi mereka tampak tidak menyadari kehadiran Arya. Mereka melintasinya seperti bayangan. Arya menyadari ia sedang melihat masa lalu.
Wanita tua itu menunjuk ke arah altar besar. "Di sinilah segalanya bermula. Desa ini adalah penjaga keseimbangan antara dunia hidup dan dunia gaib. Tetapi sesuatu telah berubah. Keseimbangan itu mulai goyah, dan kau adalah bagian dari jawaban."
Arya mendekati altar. Ketika ia menatap ukiran di atasnya, ia melihat simbol yang sama dengan yang ada di topeng Rangda. Namun, di samping simbol itu, ada simbol lain yang menyerupai gerbang melingkar, simbol yang ia lihat di gua sebelumnya.
Sebelum Arya bisa bertanya, wanita tua itu menghilang. Namun suaranya tetap terdengar, bergema di udara.
"Kembalilah ke Danau Batur saat bulan purnama. Kau akan menemukan petunjuk yang kau butuhkan. Tapi ingat, waktu tidak berpihak padamu. Gerbang telah terbuka, dan mereka yang tidak seharusnya ada di sini sudah mulai bergerak."
Arya merasa bulu kuduknya berdiri. Ia tahu ini bukan sekadar petualangan; ada sesuatu yang jauh lebih besar sedang terjadi. Ia kembali ke perahunya, tetapi sebelum meninggalkan desa, ia menoleh sekali lagi ke arah altar. Di antara bayangan pohon, ia melihat siluet wanita tua itu, berdiri diam dengan senyuman samar di wajahnya.
Ia mendayung kembali ke tepian Danau Batur, tetapi perasaan aneh terus menghantuinya. Siapa sebenarnya wanita itu? Dan apa yang dimaksud dengan gerbang yang terbuka?
Arya tahu bahwa bulan purnama hanya beberapa hari lagi, dan ia harus mempersiapkan diri untuk menghadapi apa pun yang menantinya.
(Bersambung...)