Setelah pengalaman aneh itu, pemuda bernama Arya mencoba kembali menjalani kehidupannya seperti biasa. Ia membantu keluarganya di sawah, menghadiri upacara di pura, dan berbincang dengan teman-temannya di desa. Namun, malam-malamnya tak lagi tenang. Setiap kali ia memejamkan mata, ia dibawa ke dunia yang aneh, penuh dengan cahaya berkilauan dan bayangan tak berbentuk yang berbisik dalam bahasa yang sulit dipahami.
Pada suatu malam, ia bermimpi berdiri di tepi sebuah tebing tinggi, menghadap ke arah langit yang terbelah. Di celah langit itu, ia melihat dunia-dunia yang berbeda: ada yang indah dengan lautan berwarna emas, ada pula yang gelap dengan api yang berkobar. Dari celah itu, bayangan besar muncul, menyerupai makhluk dengan sayap patah dan mata bersinar merah.
Suara itu bergema dalam pikirannya:
"Waktumu semakin dekat, Penjaga. Pilihan yang kau buat akan menentukan keseimbangan semua dimensi. Jangan lari dari takdirmu."
Arya terbangun dengan napas tersengal. Dadanya terasa berat, seperti membawa beban yang tak terlihat. Pagi itu, ia memutuskan untuk mencari jawaban. Ia mengunjungi orang tertua di desanya, seorang pria bijak bernama Mangku Wayan, yang sering dianggap penjaga pengetahuan kuno.
Ketika Arya menceritakan apa yang dialaminya, Mangku Wayan mengangguk pelan, seolah sudah menduga sesuatu seperti ini akan terjadi.
"Ah, anak muda," kata Mangku Wayan dengan suara berat, "kau telah dipilih oleh kekuatan yang lebih tua dari yang bisa kau pahami. Pintu yang kau lihat bukanlah sekadar khayalan, itu adalah gerbang menuju dimensi lain, dunia yang terhubung dengan dunia kita. Tapi pintu itu juga membawa bahaya. Jika kau salah melangkah, keseimbangan alam semesta bisa runtuh."
Arya menatap Mangku Wayan dengan cemas. "Apa yang harus aku lakukan?"
Mangku Wayan bangkit perlahan dari duduknya dan mengambil sebuah buku tua dengan sampul kulit yang penuh dengan ukiran. Ia membuka halaman demi halaman, hingga menemukan sebuah gambar yang membuat Arya tertegun. Itu adalah gambar bola cahaya yang mirip dengan yang ia lihat di pura, dengan garis-garis yang menyambungkannya ke berbagai dunia.
"Kau harus belajar memahami kekuatan waktu," lanjut Mangku Wayan. "Tapi untuk itu, kau harus melakukan perjalanan ke Gunung Purba, tempat para penjaga pertama kali diberkahi kekuatan ini. Di sana, kau akan menemukan jawaban, atau mungkin lebih banyak pertanyaan."
Arya merasa takut, tapi juga bersemangat. Ia tahu perjalanannya akan penuh dengan bahaya, tetapi ia juga sadar ia tak bisa mengabaikan tanggung jawabnya. Dengan restu Mangku Wayan dan bekal doa dari keluarganya, ia memulai perjalanan ke Gunung Purba.
Namun, dalam perjalanan, ia mulai merasakan sesuatu yang aneh. Waktu di sekitarnya tampak tak wajar—kadang berjalan lebih lambat, kadang lebih cepat. Bayangan-bayangan mulai muncul di pinggiran matanya, membuatnya merasa diawasi. Pada malam pertama ia berhenti di sebuah hutan kecil untuk beristirahat, kabut kembali turun, membawa bisikan yang mengingatkannya pada pura misterius.
Bisikan itu berkata:
"Kau bukan satu-satunya Penjaga. Ada yang lain, dan tidak semuanya berada di pihakmu."
Arya membuka matanya lebar. Siapa yang dimaksud oleh suara itu? Dan apa yang akan ia temukan di Gunung Purba?
(Bersambung...)