Cahaya matahari pagi menyelinap lembut melalui kabut tipis yang menggantung di atas Fort Grynnar. Kastil itu berdiri kokoh di atas bukit, seperti penjaga abadi yang mengawasi dunia. Udara pagi membawa aroma embun yang segar, bercampur samar dengan wangi logam dari dinding-dinding batu.
Di aula utama, Lady Althea Morris duduk di atas kursi besar yang terukir megah, mengenakan jubah biru tua dengan bordiran emas yang bersinar di bawah cahaya pagi. Rambut hitamnya terpilin sempurna, mencerminkan keteguhan yang melekat dalam sikapnya. Wanita berusia 30-an itu memancarkan aura kewibawaan, namun ada kelembutan yang terselubung di balik tatapannya yang tajam.
Di hadapannya, Caelum berdiri dengan sikap malas. Wajahnya sedikit masam, seperti anak kecil yang tahu akan mendapatkan tugas berat.
"Caelum Insania," panggil Althea dengan nada tegas namun terkendali, setiap suku katanya seperti menghujam udara dengan ketenangan yang dingin.
Sebuah alis Caelum terangkat. "Bisakah Anda berhenti memanggilku begitu? Insania terdengar seperti nama badut," gumamnya sambil memijat pelipisnya, seolah mengusir sakit kepala yang tak pernah ada.
Elira, yang berdiri tak jauh dari situ, menutup mulutnya dengan tangan, menahan tawa yang hampir pecah.
Althea mengabaikan protes itu dengan mudah, suaranya tetap tenang namun tak terbantahkan. "Ada tugas penting untukmu. Kami menerima laporan bahwa perdagangan Zavros bulan lalu menghasilkan keuntungan sebesar 20.000 gold. Setelah dipotong komisi pedagang sebanyak 20%, kita memiliki 16.000 gold bersih. Aku ingin kau pergi ke Zavros untuk mengumpulkan uangnya."
"Jadi aku kurir sekarang?" keluh Caelum sambil melipat tangan di dada.
"Kurir terbaik," jawab Althea, senyum tipis menghias wajahnya.
Sebelum Caelum bisa menanggapi lebih jauh, langkah berat terdengar mendekat. Idris Solan memasuki ruangan, membawa aura tenang yang mengintimidasi. Pria jangkung itu, dengan rambut keperakan yang tertata acak namun elegan, adalah wakil ketua pemberontak. Sorot matanya tajam, tubuhnya atletis, dan kehadirannya seperti bayangan yang selalu siap menghantui musuh.
"Idris?" tanya Caelum skeptis.
Idris mengangguk pelan, senyum ramah menghiasi wajahnya. "Aku sudah mengatur semuanya untuk perjalanan ini."
Dari balik salah satu pilar, suara kecil tiba-tiba terdengar, "Aku ingin ikut! Aku bisa membantu master!"
Caelum memutar tubuh dengan cepat, menatap Aeris dengan ekspresi setengah frustasi. "Apa kau menguping lagi?" tanyanya dengan nada menyerah.
"Aku hanya... kebetulan mendengar!" jawab Aeris penuh semangat, wajahnya bercahaya seperti anak kecil yang baru saja menemukan harta karun.
Caelum menghela napas panjang, menepuk wajahnya. "Misi ini berbahaya. Kita akan masuk ke wilayah Kekaisaran."
"Aku tidak peduli! Aku bisa melindungi diri sendiri!" balas Aeris tanpa ragu, matanya berkilauan dengan tekad.
Idris tertawa kecil, mencairkan suasana. "Jangan khawatir, Caelum. Aku sudah menyiapkan alat penyamaran."
"Seperti apa?"
Idris mengeluarkan botol kecil dari tasnya dan mengangkatnya di depan mereka. "Pewarna rambut."
Caelum memutar matanya, senyum lelah menghiasi wajahnya. "Tentu saja. Penyamaran ini luar biasa..."
---
Perjalanan ke Zavros
Langit cerah menemani perjalanan mereka. Dua kereta kuda melintasi jalan-jalan berbatu, dengan sepuluh pengawal berkuda menjaga di depan dan belakang. Caelum, Idris, dan Aeris berbagi kereta yang sederhana namun nyaman, sementara kereta kedua disiapkan untuk membawa hasil perdagangan.
Rambut Caelum yang kini berwarna cokelat gelap membuatnya terlihat seperti orang asing, meski ekspresi masamnya tetap sama. Aeris, yang duduk di sebelahnya, tampak bersemangat.
"Menurutku kau terlihat keren dengan rambut itu, Master!" katanya sambil tersenyum lebar.
Caelum menggelengkan kepala. "Keren seperti badut pesta."
Aeris tertawa kecil, tapi Idris hanya tersenyum tipis sambil membaca peta perjalanan.
Perjalanan lima hari itu membawa mereka melalui padang rumput luas, hutan lebat yang penuh misteri, dan desa-desa kecil yang menyembunyikan cerita-cerita kelam di balik kesederhanaannya.
Di hari kedua, rombongan melewati jembatan tua di atas sungai deras. Idris, seperti biasa, memindai setiap sudut dengan tatapan penuh kewaspadaan.
"Kau selalu seperti ini?" tanya Caelum, menatap Idris dari sudut matanya.
"Medan perang mengajarkan banyak hal," jawab Idris dengan senyum tipis.
Hari-hari berlalu dengan ritme yang hampir monoton, meski perjalanan itu sendiri penuh dengan kontras. Aeris sering keluar dari kereta, menghirup udara segar dan menikmati pemandangan yang berubah-ubah, sementara Caelum lebih memilih tetap duduk diam, memandang peta perjalanan dengan tatapan kosong. Bahkan di tengah perjalanan, ia tidak bisa menghindari rasa jengah yang selalu menggelayuti dirinya—penyamaran rambut ini sepertinya lebih memperburuk segalanya.
Namun, di balik sikapnya yang keras, ada sesuatu yang lebih dalam, sesuatu yang dipendam dalam kesunyian. Ia terus-menerus bertanya pada dirinya sendiri apakah mereka benar-benar siap untuk memasuki Zavros, sebuah kota yang sarat dengan risiko dan rahasia.
"Master, lihat itu!" Aeris berseru antusias, mengamati sebuah bukit kecil yang tampaknya tak begitu penting.
Caelum melirik sekilas, namun dengan ekspresi datar, ia membalas, "Kita tidak sedang berwisata, Aeris."
Meski begitu, senyum kecil terlintas di wajahnya, sebuah senyum yang hampir tak terlihat, namun cukup untuk menunjukkan bahwa ia tak sepenuhnya acuh. Idris, yang duduk di depan kereta, hanya menggeleng pelan, tampak terhibur oleh dinamika yang terjadi di dalam kereta.
Setelah lima hari, akhirnya mereka tiba di Zavros. Kota itu menyambut mereka dengan hiruk-pikuk yang menggema di setiap sudut jalan. Zavros bukan hanya pusat perdagangan terbesar kedua di Kekaisaran Valderion, namun juga sarang bagi pedagang-pedagang licik dan para mata-mata yang siap memanfaatkan setiap kesempatan. Di sinilah perang di balik layar seringkali lebih mematikan daripada pertempuran di medan perang.
Jalan-jalan utama kota itu dipenuhi oleh pedagang yang menawarkan segala macam barang—rempah-rempah, perhiasan, tekstil dari negeri jauh, dan bahkan senjata. Bangunan batu yang besar dan kokoh berdiri megah, menunjukkan kekuasaan Kekaisaran Valderion, namun ada ketegangan yang tersirat di setiap sudutnya.
"Ini lebih besar dari yang aku bayangkan," gumam Aeris, matanya berbinar-binar melihat keramaian.
Rombongan mereka menuju sebuah mansion besar milik Sir Althar Varros, seorang pedagang kaya yang dikenal dengan koneksi luasnya. Mansion itu terlihat lebih seperti benteng daripada rumah, dengan pagar tinggi dan gerbang besi yang berat.
Begitu mereka memasuki ruang utama mansion, Sir Althar Varros menyambut mereka dengan senyum lebar. Pria paruh baya ini memiliki tubuh gemuk dan wajah ramah yang selalu terlihat senang, seakan tak ada masalah yang cukup besar untuk mengganggunya.
"Kedatangan kalian sangat dinanti," ujar Sir Althar dengan suara yang lembut namun penuh kekuatan.
Setelah berbincang singkat mengenai transaksi yang akan dilakukan, Sir Althar memerintahkan anak buahnya untuk membawa peti berisi gold ke ruang utama. Namun, suasana yang semula terasa formal dan tenang berubah mendadak ketika putranya, Revan Varros, muncul.
Revan adalah pemuda sombong dengan penampilan mencolok, tubuhnya tinggi dengan rambut hitam yang terawat rapi. Wajahnya dihiasi senyum licik yang seolah tahu setiap rahasia dunia ini. Begitu melihat Aeris, senyum itu semakin melebar.
Saat urusan transaksi selesai, Revan mendekati Aeris dengan senyuman menggoda. "Nona, kau terlihat sangat cantik. Apa kau pendamping pria ini?" katanya sambil mencoba menyentuh bahu Aeris.
Caelum langsung berdiri di antara mereka, menatap Revan dengan tatapan dingin yang tajam seperti pisau. "Jangan coba-coba," ujarnya dengan suara rendah, namun penuh ancaman.
"Aku hanya bercanda" Revan hanya tersenyum sombong, mata liciknya terus memandangi Aeris dengan ekspresi menjijikan. Bahkan setelah mendengar ancaman Caelum, menganggapnya ancaman kosong tanpa akan ada tindakan berarti.
Revan bagaikan benda mati yang tak memiliki otak, malah menantang ancaman itu, mencoba menggapai Aeris dengan agresif. Sebelum Aeris sempat bereaksi, Caelum bergerak cepat, menangkap pergelangan tangan Revan dengan gerakan yang penuh kecepatan. Suara retakan halus terdengar saat Revan meringis kesakitan, wajahnya berubah menjadi pucat.
"Aku bilang, jangan coba-coba," ulang Caelum dengan nada yang jauh lebih dingin.
Idris, yang memperhatikan kejadian itu dengan tenang, melangkah maju, menatap Revan dengan tatapan penuh peringatan. "Sebaiknya kau mundur, sebelum tanganmu patah," kata Idris tegas, suaranya berat dan tak terbantahkan.
Revan, yang terkejut oleh reaksi cepat Caelum dan peringatan Idris, mundur dengan ketakutan. Sir Althar, yang menyaksikan kejadian tersebut, segera meminta maaf. "Maafkan anakku, Tuan Idris. Dia memang sering bertindak ceroboh."
Caelum hanya menatap Sir Althar dengan tatapan tajam. "Pastikan dia tidak ceroboh lagi," katanya dengan nada yang lebih tenang namun tetap penuh makna.
Setelah situasi mereda, mereka akhirnya menerima gold yang mereka butuhkan. Transaksi selesai dengan cepat, meskipun ketegangan dari insiden itu masih tersisa di udara.
---
Malam di Penginapan
Malam itu, rombongan mereka menginap di sebuah penginapan sederhana, jauh dari kemewahan mansion Sir Althar. Idris, yang mengatur reservasi, hanya memesan dua kamar dengan single bed.
Caelum, yang mendengar hal ini, langsung menatap Idris dengan tatapan penuh kebingungan dan kesal. "Kenapa cuma dua?" tanyanya dengan nada yang sedikit tertekan.
Idris tersenyum licik, matanya berkilat nakal. "Anggaran terbatas."
Aeris yang mendengar percakapan itu langsung memerah, wajahnya berubah merah seperti buah delima. "Master... kita harus berbagi kamar?" tanyanya, suaranya serak seperti mencoba menahan kebingungannya.
"Aku kira kalian tidak keberatan berbagi kamar," jawab Idris sambil tertawa kecil, matanya berkelip nakal.
Caelum mengusap wajahnya dengan tangan, merasakan beban yang semakin berat di pundaknya. "Idris, kau benar-benar bajingan..."
Idris hanya tertawa, merasa puas dengan reaksinya, lalu berjalan masuk ke kamarnya sendiri dengan langkah ringan. "Nikmati malam kalian," katanya sambil melemparkan senyum bodoh, matanya berkedip nakal.
Caelum menatapnya dengan kesal, namun tak ada kata-kata yang bisa keluar dari mulutnya.
Aeris, yang duduk di tepi tempat tidur, masih terlihat canggung. "Maaf, Master. Aku akan tidur di lantai kalau kau mau."
Caelum menghela napas, mencoba menjaga ketenangan. "Tidak perlu," jawabnya singkat.
Namun, meski kata-katanya tenang, di dalam hati, ia merasa malam itu akan menjadi malam yang sangat panjang.
Chapter 30: Pedagang Zavros
Matahari pagi yang hangat menyinari Fort Grynnar, membawa keharuman embun yang segar. Di aula utama kastil, Lady Althea Morris duduk dengan anggun, mengenakan jubah biru tua dengan bordiran emas. Wanita berusia 30-an ini memancarkan kewibawaan, rambut hitamnya diikat rapi, dan tatapannya tajam namun lembut.
Di depannya, Caelum berdiri dengan wajah sedikit masam. Dia baru saja mendengar akan ada tugas yang diberikan padanya.
"Caelum Insania," panggil Althea, menyebut nama itu dengan nada tegas namun sopan.
Wajah Caelum langsung berubah. Sebuah alisnya terangkat, dan mulutnya membentuk garis cemberut seperti anak kecil yang baru saja dimarahi. "Bisakah Anda berhenti memanggilku begitu? Insania terdengar seperti nama badut," gumamnya sambil memijit pelipisnya.
Elira yang berdiri di dekatnya hampir tertawa, tapi menutup mulutnya dengan tangan.
Althea mengabaikan keluhan itu dan melanjutkan, "Ada tugas penting untukmu. Kami telah menerima laporan bahwa perdagangan bulan lalu menghasilkan keuntungan sebesar 20.000 gold. Setelah dipotong komisi pedagang sebanyak 20%, kita memiliki 16.000 gold bersih. Aku ingin kau pergi ke Zavros untuk mengumpulkan uangnya."
Caelum mendesah berat. "16.000 gold... dan kau ingin aku mengangkutnya seperti kurir?"
"Kurir terbaik," jawab Althea sambil tersenyum tipis. "Kau akan pergi bersama Idris Solan."
Seorang pria jangkung dengan rambut keperakan memasuki ruangan. Idris Solan adalah wakil ketua pemberontak. Pria berusia 35 tahun ini memiliki sorot mata tenang dan tubuh atletis. Dia dikenal karena taktik gerilyanya yang brilian di perbatasan Eldoria, membuat pasukan Kekaisaran kewalahan selama bertahun-tahun. Dengan senyum ramah, dia memasuki ruangan.
"Idris?" tanya Caelum dengan nada skeptis.
"Ya, aku sudah menyiapkan segala sesuatu untuk perjalanan ini," jawab Idris sambil tersenyum tenang.
Sebelum Caelum sempat merespons, Aeris yang bersembunyi di belakang pilar tiba-tiba berteriak, "Aku ingin ikut! Aku bisa membantu master!"
Caelum memutar badannya dengan cepat, menatap Aeris dengan ekspresi tak percaya. "Apa kau menguping lagi?" tanyanya dengan nada putus asa sambil menepuk wajahnya.
"Aku hanya... kebetulan mendengar!" jawab Aeris dengan penuh semangat.
Caelum mendesah, jelas-jelas frustasi. "Misi ini berbahaya. Kita akan masuk ke wilayah Kekaisaran."
"Aku tidak peduli! Aku bisa melindungi diri sendiri!" seru Aeris dengan mata bersinar-sinar.
Idris tertawa kecil. "Semuanya akan baik-baik saja, Caelum. Aku sudah menyiapkan alat penyamaran."
Caelum menatap Idris dengan skeptis. "Penyamaran macam apa?"
Idris mengeluarkan sebuah botol kecil dari tasnya. "Pewarna rambut."
"Benar-benar penyamaran kelas dunia," gumam Caelum sambil memutar mata.
Di sudut ruangan, Althea dan Idris saling bertukar pandang dan tersenyum kecil. "Mereka selalu begini, ya?" bisik Althea.
"Sepertinya begitu," jawab Idris sambil tertawa pelan.
---
Pagi berikutnya, Caelum, Idris, dan Aeris berangkat menuju kota Zavros. Kota itu adalah pusat perdagangan terbesar kedua di Kekaisaran Valderion, setelah ibu kota. Zavros dikenal dengan pasar besarnya yang selalu ramai dan menjadi sumber pendapatan utama Kekaisaran.
Rombongan mereka terdiri dari dua kereta kuda dan sepuluh pengawal. Satu kereta digunakan untuk mereka bertiga, sementara kereta lainnya disiapkan untuk membawa uang hasil perdagangan.
Caelum yang kini berambut cokelat gelap berusaha menyesuaikan diri dengan penyamaran, tetapi tetap merasa kesal. "Penyamaran ini hanya mengubah warna rambut. Jika seseorang benar-benar mengenalku, ini tidak akan membantu."
Aeris yang duduk di sebelahnya tersenyum ceria. "Menurutku kau terlihat keren dengan rambut itu, Master!"
"Ya, keren seperti badut di pesta," balas Caelum sambil menyandarkan kepala di kursi.
"Ini cukup efektif. Kau tidak akan dikenali dengan mudah," jawab Idris santai.
Caelum memutar matanya. "Kalau begitu, aku juga bisa memakai topeng badut sekalian."
Aeris tertawa kecil mendengar komentar sarkastik itu, sementara Idris hanya tersenyum maklum.
---
Perjalanan menuju Zavros memakan waktu lima hari. Untuk menghindari kecurigaan, mereka memilih rute memutar melalui jalan-jalan kecil di perbatasan Kekaisaran.
Pemandangan sepanjang perjalanan berubah-ubah, mulai dari padang rumput luas, hutan lebat, hingga desa-desa kecil yang terlihat damai meski berada di bawah bayang-bayang Kekaisaran. Aeris sering kali keluar dari kereta untuk menikmati udara segar, sementara Caelum tetap duduk sambil membaca peta perjalanan.
Di hari kedua, rombongan melewati sebuah jembatan tua di atas sungai yang deras. Idris mengawasi setiap sudut dengan mata tajam, memastikan tidak ada jebakan.
"Kau selalu waspada," komentar Caelum.
"Pengalaman di medan perang mengajarkan banyak hal," jawab Idris sambil tersenyum tipis.
Aeris, yang duduk di kereta, memandangi sungai dengan kagum. "Indah sekali! Master, lihat itu!"
"Master, lihat itu! Bukankah bukit itu indah?" tanya Aeris dengan antusias.
Caelum hanya melirik sekilas. "Kita tidak sedang dalam perjalanan wisata, Aeris."
Namun, senyuman kecil terlintas di wajahnya, meski ia berusaha menyembunyikannya. Idris, yang duduk di depan kereta, memperhatikan interaksi mereka dan hanya menggeleng pelan, merasa terhibur.
Setelah lima hari perjalanan, mereka akhirnya tiba di Zavros.
---
Bagian 4
Zavros adalah kota yang megah dan sibuk. Jalan-jalan utamanya dipenuhi pedagang dari berbagai daerah, menjual segala macam barang mulai dari rempah-rempah hingga perhiasan mewah. Bangunan-bangunan batu dengan arsitektur khas Kekaisaran berdiri megah di sepanjang jalan.
"Kota ini lebih besar dari yang kuduga," gumam Aeris dengan mata berbinar.
Mereka menuju sebuah mansion besar milik pedagang kaya di Zavros, Sir Althar Varros. Dia adalah pria paruh baya dengan tubuh gemuk dan wajah ramah dan bersahabat, serta memiliki tata krama yang baik.
Sir Althar Varros segera menyambut kedatangan rombongan Idris, dia sudah mempersiapkan ruangan yang nyaman dan mewah untuk transaksi.
Setelah berbincang-bincang singkat, Althar memerintahkan anak buahnya untuk membawa peti berisi gold ke ruang utama. Namun, suasana berubah ketika putranya, seorang pemuda sombong bernama Revan Varros, muncul.
Saat urusan transaksi selesai, Revan mendekati Aeris dengan senyuman licik. "Nona, kau terlihat cantik sekali. Apa kau pendamping pria ini?" katanya sambil mencoba menyentuh bahunya.
Caelum langsung berdiri di antara mereka, tatapannya tajam seperti pisau. "Jangan coba-coba," katanya dengan suara rendah namun penuh ancaman.
Sebelum Aeris sempat bereaksi, Caelum berdiri di antara mereka dengan tatapan dingin.
Namun, saat tangannya hampir menyentuh bahu Aeris, Caelum dengan cepat menangkap pergelangan tangan Revan. Suara retakan pelan terdengar, membuat Revan meringis kesakitan.
"Aku bilang jangan coba-coba," ulang Caelum, kali ini dengan nada yang lebih dingin.
"Aku sarankan kau mundur sebelum tanganmu patah." Idris dengan tegas memperingati Revan, menatapnya dengan serius.
Revan mundur ketakutan, sementara Althar segera meminta maaf. "Maafkan anakku, Tuan Idris. Dia memang sering bertindak ceroboh."
Caelum hanya menatapnya tajam. "Pastikan dia tidak ceroboh lagi."
Setelah situasi mereda, mereka akhirnya menerima gold yang mereka butuhkan. Hari itu berakhir dengan suasana yang lebih tenang, meski insiden kecil itu masih membekas di benak Aeris.
---
Malam itu, mereka menginap di sebuah penginapan sederhana. Idris, yang mengatur reservasi, sengaja hanya memesan dua kamar dengan single bed.
"Kenapa cuma dua?" tanya Caelum kesal.
Idris tersenyum licik. "Anggaran terbatas."
Aeris langsung memerah. "Master... kita harus berbagi kamar?"
"Aku kira kalian tidak keberatan berbagi kamar," kata Idris sambil tersenyum jahil.
Caelum mengusap wajahnya dengan tangan, mencoba menahan kesal. "Idris, kau bajingan benar-benar... Membuatku pusing..."
Idris hanya tertawa, merasa puas dengan leluconnya sambil berjalan masuk ke kamarnya sediri. "Nikmati malam kalian" matanya berkedip sebelah dengan ekspresi bodoh.
Caelum menatapnya dengan kesal tapi sudah tidak bisa berkata-kata.
Aeris duduk di tepi tempat tidur, masih dengan pipi yang merona. "Maaf, Master. Aku akan tidur di lantai kalau kau mau."
"Tidak perlu," balas Caelum singkat, berusaha tetap tenang.
Namun, ia merasa malam itu akan menjadi malam yang sangat panjang.