Chereads / Bloodstained Oath / Chapter 33 - Rasa Takut

Chapter 33 - Rasa Takut

Suasana pagi di tenda terasa hening, hanya diisi oleh desiran angin lembut yang membawa wangi bunga plum putih dari pepohonan di sekitar perkemahan. Cahaya matahari pagi menyelinap masuk melalui celah-celah kain tenda, menciptakan pola-pola samar yang menari di atas permukaan karpet kasar. Namun, di tengah kehangatan pagi, ada perasaan berat yang menekan dada Caelum.

Ia perlahan membuka mata, dan rasa hangat di samping tubuhnya membuat alisnya berkerut. Dengan gerakan hati-hati, ia menoleh ke samping. Wajah Aeris yang polos terlihat terlelap, napasnya teratur, dengan selimut yang sudah hampir terlepas dari tubuhnya.

"Lagi?" gumam Caelum sambil menepuk wajahnya dengan frustrasi.

Selama empat hari perjalanan, Aeris selalu menyelinap ke tendanya tanpa izin. Ia menduga gadis itu takut akan mimpi buruk yang sering menghantui malam-malamnya. Namun, meskipun kesal, ia tidak tega membangunkannya.

Dengan helaan napas panjang, Caelum menarik selimut itu dengan perlahan, menyelimutinya kembali dengan hati-hati. Ia memandang wajah Aeris sejenak, lalu berbisik pelan, "Kau membuatku gila, Aeris."

Ia meraih jaketnya dan melangkah keluar tenda. Udara pagi menyambutnya dengan kesejukan yang menusuk kulit, meskipun sinar matahari mulai menghangatkan tanah. Perkemahan kecil itu terlihat damai. Beberapa pengawal sedang memeriksa peralatan, sementara Idris berdiri di dekat api unggun yang masih menyala, sibuk memutar sepotong daging di atasnya.

"Bangun kesiangan lagi, ya?" seru Idris dengan nada mengejek saat melihat Caelum.

Caelum menatapnya datar, menarik kursi kayu dekat api unggun. "Sepertinya seseorang sangat peduli pada jadwalku. Apakah kau juga akan mulai mencatat jam tidurku, Idris?" balasnya dengan sarkasme.

Idris terkekeh. "Hanya memastikan kau tetap manusia, bukan makhluk malam yang tak butuh tidur."

Caelum tidak menanggapi, hanya mengambil cangkir air yang ditawarkan salah satu pengawal. Ia berjalan ke sisi kereta, mencari air untuk membasuh wajahnya. Pohon muda berdiri kokoh di dekatnya, kulitnya terkelupas dengan tanda-tanda cakaran. Di bawah pohon itu, seorang tahanan terikat, tubuhnya lunglai dengan jejak usaha kabur yang sia-sia.

"Selamat pagi!" Caelum berkata sambil menendang wajah tahanan itu dengan cukup keras untuk membangunkannya.

Pria itu tersentak bangun, matanya melebar dengan kebencian dan ketakutan saat melihat Caelum.

"Namamu?" tanya Caelum dengan suara rendah dan dingin.

Tahanan itu diam, rahangnya terkunci rapat.

Tanpa berkata apa-apa, Caelum meraih tangan pria itu dan mematahkan jari telunjuknya dengan satu gerakan cepat. Jeritan nyaring mengisi udara pagi, menarik perhatian beberapa pengawal di sekitar.

"Aku tanya namamu," ulang Caelum dengan nada lebih tegas. "Jawab, atau aku akan memastikan kau tidak bisa memegang apapun lagi."

Pria itu menggigil, matanya memohon, tapi bibirnya tetap terkunci. Dalam ketakutan yang mendalam, ia kehilangan kendali, menyebabkan genangan kecil terbentuk di tanah di bawahnya.

"Menjijikkan," gumam Caelum sambil melangkah mundur dengan ekspresi jijik.

Idris tiba-tiba muncul, menarik bahu Caelum dengan panik. "Cukup, Caelum! Apa kau ingin membunuhnya di sini? Dia masih berguna!"

Caelum menatap Idris, senyumnya memudar menjadi ekspresi datar. "Aku hanya ingin bertanya. Jika dia memilih untuk tidak menjawab, itu bukan salahku."

Idris menarik napas dalam, mencoba menenangkan dirinya. "Ada cara lain, Caelum. Kita tidak perlu menggunakan kekerasan setiap kali."

Caelum hanya mengangkat bahu acuh tak acuh, lalu berjalan kembali ke tendanya tanpa berkata apa-apa lagi.

Pengawal yang mengamati dari kejauhan hanya menghela napas panjang. "Setidaknya dia tidak membunuhnya kali ini," gumamnya sambil memutar daging yang mulai matang.

---

Di dalam tenda, Caelum menemukan Aeris masih tidur dengan posisi yang berantakan, rambutnya menutupi sebagian wajahnya. Ia mengguncang bahu Aeris perlahan.

"Bangun. Sudah pagi."

Aeris menggeliat, membuka matanya dengan perlahan. Wajahnya merah, mungkin karena malu disuruh bangun. "Ah, maaf, Master! Aku tidak sengaja tidur terlalu lama!" katanya buru-buru sambil duduk tegak.

Caelum hanya mendesah, menunjuk ke arah pintu tenda. "Cepat keluar. Kita sarapan."

Aeris mengangguk cepat, mengambil beberapa detik untuk merapikan rambutnya sebelum keluar dari tenda.

Di luar, Idris melirik Aeris yang masih terlihat berantakan, lalu menoleh ke Caelum dengan senyum menggoda. "Pasangan muda yang terlalu semangat, ya? Kau membiarkannya tidur di tendamu lagi?"

Caelum menatap Idris dengan ekspresi kesal. "Ya bersemangat melihat landak dipagi hari."

Aeris, yang mendengar itu, buru-buru membasuh wajahnya di dekat kereta, mencoba menyembunyikan rasa malunya. Idris dan beberapa pengawal tertawa kecil, menikmati situasi yang jarang terjadi ini.

---

Setelah sarapan selesai dan semua orang mulai merapikan perkemahan, Aeris melangkah mendekati pohon di mana tahanan itu diikat. Pria itu terlihat lemah, wajahnya bengkak karena pukulan tadi. Aeris memandangnya dengan tatapan dingin, seperti memandang sampah yang tidak berguna.

Tanpa peringatan, ia menginjak kaki pria itu dengan keras, menyebabkan tahanan itu berteriak kesakitan.

"Kau mencoba membunuh Master-ku," bisik Aeris dengan suara rendah, penuh amarah. "Apa kau tahu seberapa besar dosamu?"

Tahanan itu mencoba meronta, tetapi ikatannya terlalu kuat. Aeris mengangkat gagang pedangnya, memukul wajah pria itu tanpa ampun.

"Aku seharusnya membunuhmu sekarang," katanya, suaranya gemetar karena emosi. Tangannya mulai meraih pedang di pinggangnya.

"Aeris!" seru Idris, berlari menghampirinya. Ia menahan bahu gadis itu, mencoba menghentikannya. "Kau tidak boleh melakukan ini, tahanan ini belum boleh mati sekarang!"

Aeris menatap Idris dengan tajam, aura membunuh terpancar dari tubuhnya. Bahkan Idris, yang biasanya tidak peduli, mundur setengah langkah.

"Jika kau juga mencoba menyakiti Master-ku, aku akan—"

"Heits cukup sampai disitu!" potong Idris, mengangkat tangannya untuk menenangkan. "Aku tidak akan melakukan hal bodoh seperti itu. Tapi kau harus berhenti. Sekarang. Dan tenangkan pikiranmu."

Aeris menatapnya selama beberapa detik, lalu menurunkan pedangnya dengan enggan. Ia berbalik, meninggalkan Idris sambil menghampiri Caelum yang sedang bersiap di dekat tenda.

"Master, ayo kita pergi," katanya dengan suara ceria, seolah tidak ada yang terjadi.

Idris hanya bisa menggelengkan kepala sambil menghela napas panjang. "Master dan murid... dasar duo psikopat insania," gumamnya sambil memindahkan ikatan tahanan ke kereta.

---

Langit berwarna biru tua, dengan awan-awan yang sesekali meneduhkan sinar matahari yang mulai condong ke barat. Kereta yang membawa Caelum, Aeris, dan Idris bergoyang lembut, roda-rodanya berdecit di atas jalan berbatu. Perjalanan menuju Grynnar hampir usai. Hanya sehari lagi, dan mereka akan tiba di benteng yang megah itu.

"Masterku, lihat! Lihat itu! Hutan ini begitu indah! Aku bahkan bisa merasakan angin yang harum dari sini," seru Aeris dengan antusias, wajahnya mendekat ke jendela.

Caelum membuka satu matanya yang tadinya terpejam. "Angin itu sama seperti di mana pun, Aeris. Kau terlalu mudah terpesona."

"Tentu tidak!" bantah Aeris, mengerucutkan bibir. "Hutan ini punya… pesona! Aura magis! Lihat pohon-pohon itu, Masterku, mereka seperti melindungi kita."

Idris, yang duduk di seberang mereka, menatap Aeris dengan lelah. "Dia seperti anak kecil," gumamnya, memijat pelipisnya. "Bagaimana aku bisa menjaga tahanan itu kalau terus harus mengawasi gadis ini?"

Waktu berlalu, dan kereta terus bergerak. Caelum akhirnya menyerah pada tidur, sementara Aeris, yang tadinya sibuk mengoceh, mulai mengantuk. Ketika matahari mulai condong ke barat, Aeris tertidur, kepalanya bersandar pada bahu Caelum.

Idris menatap pemandangan itu dengan alis terangkat. "Si raja setan yang kejam, memanjakan anak manja? Dunia pasti sudah terbalik," ejeknya, suaranya penuh cemooh.

Caelum membuka satu matanya dengan lesu. "Kalau kau punya masalah dengan ini, kau bisa bergabung dan aku akan meminjamkan bahuku. Siapa tahu itu membuat mulutmu diam."

Idris tertawa terbahak-bahak. "Kau benar-benar ahli dalam membalikkan kata-kata, Caelum."

Tiba-tiba, kereta berhenti mendadak, mengguncang semua penumpangnya. Aeris terbangun dengan mata terbelalak, sementara Idris segera bangkit dan membuka jendela untuk berbicara dengan pengawal di luar.

"Ada apa ini?" tanyanya tajam.

"Goblin, Tuan Idris. Sebelas atau dua belas, mungkin lebih," jawab salah satu pengawal.

"Lalu kenapa berhenti? Urus mereka segera!" Idris memerintahkan.

Namun, sebelum para pengawal bisa bertindak, Caelum mengangkat tangannya, menghentikan mereka. "Tunggu," katanya dengan suara rendah, tetapi penuh otoritas.

Para pengawal bingung, saling berpandangan. Idris menatap Caelum dengan curiga. "Apa yang kau rencanakan sekarang? Jangan bilang kau hanya ingin hiburan dengan membantai mereka sendiri."

Senyum Caelum muncul, dingin dan penuh ancaman. "Bukan itu."

Dia turun dari kereta tanpa menjelaskan lebih jauh, menarik rantai yang mengikat tahanan yang mereka bawa. Tahanan itu gemetar ketakutan, matanya melebar saat melihat goblin-goblin yang bersembunyi di semak-semak.

"Caelum!" seru Idris, melangkah maju. "Apa yang kau lakukan? Jangan sampai tahanan itu terbunuh!"

Caelum menahan Idris dengan satu tangan. "Santai saja. Lihat saja apa yang terjadi."

Dengan senyum tipis yang menyeramkan, Caelum menyerahkan rantai itu kepada Idris. Idris, meski bingung, hanya bisa menurut dan mengamati.

Caelum mendekati goblin-goblin itu dengan langkah santai, seperti seorang pemburu yang menghampiri mangsanya. Dalam waktu singkat, pertarungan dimulai.

Caelum meluncur di antara goblin dengan gerakan yang mematikan, pedangnya berkilat-kilat seperti kilatan petir. Dalam beberapa saat, tujuh dari mereka tergeletak di tanah, tak lagi bernyawa. Namun, lima goblin terakhir sengaja dibiarkannya hidup. Caelum memotong kaki mereka, membuat mereka merangkak dengan kesakitan.

Idris menyaksikan dengan rahang mengeras. "Apa yang kau lakukan sekarang?" tanyanya, setengah marah, setengah bingung.

Caelum mendekatinya lagi, menarik rantai dari tangan Idris. Dia menarik tahanan yang berusaha melawan, lalu mendorongnya ke arah goblin-goblin yang merangkak itu.

"Nama?" tanya Caelum dengan suara datar.

Tahanan itu diam, gemetar ketakutan.

"Baiklah." Caelum mendorongnya ke arah goblin, yang langsung mencakar dan menggigit dengan keputusasaan. Tahanan itu berteriak histeris, tubuhnya tergores dan berdarah.

Setelah beberapa detik, Caelum menendang goblin-goblin itu menjauh. "Aku tanya lagi, siapa namamu?"

Tahanan itu tetap bungkam, meski tubuhnya gemetar hebat.

"Diam lagi?" Caelum mendorongnya kembali ke goblin. Kali ini, teriakan tahanan itu lebih menyayat. Idris tak bisa lagi menahan keterkejutannya.

"Cukup, Caelum," katanya akhirnya. "Kita sudah cukup bermain-main. Perjalanan kita masih panjang."

Caelum memandang Idris dengan kecewa. "Dia tidak mengerti konsekuensi, Idris. Tapi baiklah."

Mereka kembali ke kereta, meninggalkan goblin yang masih merangkak di belakang. Tahanan itu hampir pingsan, tubuhnya lemas, dan wajahnya penuh luka.

Menjelang malam, benteng Grynnar akhirnya terlihat. Aeris bangun, mengusap matanya. "Ah, kita sudah sampai?" tanyanya dengan suara lembut tetapi masih mengantuk.

"Kita sudah sampai," jawab Caelum singkat.

Idris menambahkan dengan senyum mengejek, "Bagaimana tidurmu, Putri Angin?"

Ketika mereka memasuki benteng, langkah tahanan yang diseret rantai menjadi perhatian utama. Lady Althea, Daryn, dan Carl menyambut mereka, tetapi semua terkejut melihat kondisi tahanan itu.

"Ini… apa yang terjadi?" tanya Carl, suaranya gemetar.

Idris hanya menggelengkan kepala. "Jangan tanya padaku."

Senyum Caelum yang dingin membuat Carl bergidik, sementara Daryn menatapnya dengan penuh kewaspadaan.

Aeris, di sisi lain, mulai mengoceh kepada Daryn tentang pemandangan indah selama perjalanan. Namun, bahkan Daryn tak bisa mengabaikan senyum Cerah (menyeramkan) yang terus menghiasi wajah Caelum.

"Permisi, Lady Althea," Caelum berkata dengan nada sopan. "Aku akan membawa tahanan ini ke ruang bawah tanah."

Senyumnya melebar saat dia menarik tahanan yang hampir pingsan itu ke arah kastil, meninggalkan kesan yang membekas di benak semua orang yang menyaksikannya.