Chereads / Bloodstained Oath / Chapter 36 - Pebisnis

Chapter 36 - Pebisnis

Udara pagi di Kastil Grynnar masih dingin, embun membasahi rerumputan, dan suara jangkrik berganti dengan kicauan burung. Matahari baru saja menembus cakrawala, mengusir bayangan malam. Namun di tengah suasana damai itu, Carl sudah merasa lelah hanya dengan berdiri di gerbang kastil, menatap dua orang yang akan menjadi temannya selama perjalanan ini: Caelum dan Idris.

"Kenapa aku harus ikut?" keluh Carl sambil melipat tangan. Suaranya lirih, hampir seperti berbicara pada dirinya sendiri, tapi cukup keras untuk didengar Idris yang sedang memeriksa tali pelana kudanya.

Idris, dengan senyum cerahnya yang selalu membuat Carl jengkel, menoleh. "Karena kau asisten Cael, tentu saja. Dan nasib buruk adalah paket lengkap dari pekerjaan ini."

Carl mendengus, menatap tajam ke arah Idris. "Tentu saja. Karena aku sangat suka menjadi asisten pria paling menyebalkan di dunia ini."

Caelum, yang sibuk memeriksa peliharaannya—seekor makhluk kecil bernama Poci—akhirnya angkat bicara, suaranya santai namun penuh sarkasme. "Carl, aku sangat menghargai semangat kerjamu. Teruslah seperti itu, dan mungkin kau akan mendapatkan penghargaan 'Asisten Tahun Ini'."

Carl mendengus lagi, kali ini lebih keras. "Aku merasa seperti sudah mencalonkan diri untuk penghargaan 'Korban Tahun Ini'."

Di sisi lain, Lady Althea berdiri di gerbang kastil, melambaikan tangannya dengan senyuman yang anggun. Di sebelahnya, Aeris berdiri dengan ekspresi kesal.

"Master Cael!" seru Aeris, mencoba untuk terakhir kalinya. "Bawa aku juga! Aku bisa berguna di perjalanan!"

Caelum hanya menoleh sebentar, memberikan senyuman tipis yang penuh arti. "Aeris, tugasmu adalah menjaga kastil ini. Jangan khawatir, aku akan kembali sebelum kau sempat merindukanku."

Aeris mendengus, melipat tangannya. Carl yang melihat itu hanya bisa menghela napas. Semua orang di sekitar Caelum tampaknya terjebak dalam lingkaran kesialan ini, pikirnya.

---

Saat matahari mulai merangkak ke puncaknya, perjalanan mereka sudah jauh dari Kastil Grynnar. Tapak kuda terdengar berirama di jalan berbatu, sementara Carl terus menggerutu.

"Kenapa aku harus ikut?" ulang Carl, kali ini dengan nada lebih putus asa. "Idris bisa saja menggantikanku! Atau bahkan Poci!"

Idris tertawa terbahak-bahak. "Poci? Carl, dia bahkan tidak bisa bicara. Tapi aku yakin dia mungkin lebih setia daripada kau!"

Caelum menoleh sedikit, matanya memancarkan kilatan tajam. "Carl, perjalanan ini adalah tugas, bukan liburan. Jadi berhenti mengeluh sebelum aku menemukan cara baru untuk melatih kesabaranmu."

Carl mendecak, menundukkan kepala sambil memandangi jalan berdebu di depannya. Aku benar-benar sedang menjalani hukuman ini.

---

Malam pertama mereka mendirikan tenda di dekat sebuah aliran sungai kecil. Carl, dengan enggan, bertugas membuat api unggun sementara Idris mengurus kuda-kuda. Caelum duduk santai di dekat Poci, memberi makan peliharaannya dengan makanan anjing.

Idris mendekat, membawa potongan daging. Dia melirik Caelum dan mengerutkan alis. "Kau benar-benar memberinya makanan anjing?"

Caelum mengangkat bahu, wajahnya terlihat biasa saja. "Dia seekor anjing, jadi makanan anjing adalah hal yang masuk akal."

Idris tertawa kecil, lalu memotong daging itu menjadi potongan-potongan kecil. "Kau tahu, aku tidak yakin Poci akan setuju dengan definisi 'anjing' yang kau berikan padanya."

Carl, yang mendengar percakapan itu dari dekat api unggun, mendengus. "Kalian berdua benar-benar gila. Aku satu-satunya orang waras di sini."

Idris tertawa, lalu melanjutkan mempersiapkan makan malam. "Carl, aku rasa jika kau terus seperti ini, kau bisa mencalonkan diri untuk penghargaan 'Pelancong Paling Menyedihkan'."

Carl memutar matanya. "Lucu sekali, Idris. Benar-benar lucu."

---

Hari kedua perjalanan terasa lebih berat. Matahari sudah hampir tenggelam ketika Idris tiba-tiba berhenti di jalan, matanya menatap ke arah rombongan kecil yang tampaknya sedang dikepung oleh kawanan goblin.

"Kita harus membantu," ujar Idris dengan nada tegas. Dia langsung memerintahkan Caelum untuk turun dari kuda.

Caelum mendesah panjang, lalu melompat dari pelananya. "Idris, kau benar-benar suka menyulitkan hidupku," gumamnya, tapi dia tetap menghunus pedangnya dan berjalan santai menuju kawanan goblin itu.

Dalam hitungan detik, suara teriakan goblin memenuhi udara, diikuti oleh suara pedang yang menghantam daging. Carl hanya bisa menggeleng, melihat Caelum kembali dengan ekspresi santai seolah-olah tidak terjadi apa-apa.

"Jadi?" Caelum menoleh ke Idris. "Sudah cukup heroik untukmu, atau kau ingin aku menyelamatkan lebih banyak orang hari ini?"

Idris tertawa kecil, sementara Carl mendekat dengan ekspresi lelah. "Aku yang harus mengangkat kereta mereka dan memperbaiki roda yang patah, sementara kau malah bermain-main dengan Poci," keluh Carl, menatap Caelum dengan tatapan jengkel.

Caelum hanya mengangkat bahu, kembali memberi makan Poci dengan makanan babi kali ini. "Carl, kau harus belajar menikmati momen kecil dalam hidup. Lihatlah Poci, dia tidak pernah mengeluh."

Carl hanya menggelengkan kepala, merasa nilai moral kehidupan manusia sudah hilang dari Caelum. Dia benar-benar psikopat.

---

Malam itu, mereka berkemah bersama keluarga pelancong yang telah mereka bantu. Pasangan tua itu terus berterima kasih kepada Idris, sementara dua anak perempuan mereka memandangi Caelum dengan rasa penasaran.

"Itu apa?" tanya salah satu dari mereka, menunjuk ke arah Poci. "Goblin mutan?"

Caelum hanya tertawa kecil, tidak menjawab, sementara Carl memutar matanya. "Tidak, itu bukan goblin mutan. Itu... peliharaan pribadinya."

Anak laki-laki tertua, yang tampaknya berusia sekitar enam belas tahun, mendekati Carl dengan ragu-ragu. "Apakah kalian ini ksatria?" tanyanya penuh rasa ingin tahu.

Carl mendesah panjang. "Tidak, kami bukan ksatria. Aku hanya pelancong biasa yang kebetulan terjebak dengan satu psikopat dan satu pelawak."

Anak itu tertawa kecil, meski terlihat bingung. "Siapa pelawaknya, dan siapa psikopatnya?"

Carl menunjuk dengan acuh tak acuh. "Dia pelawak," ujarnya, menunjuk ke Idris. "Dan yang itu," sambungnya, menunjuk Caelum, "adalah psikopat."

Anak itu menatap Caelum dengan bingung. "Dia kelihatan seumuran denganku. Kenapa dia begitu kuat?"

Carl mendesah lagi, kali ini lebih berat. "Percayalah, nak, jangan mencoba memahami dia. Jangan mengaguminya, apalagi mencoba menirunya. Berurusan dengan dia hanya akan membawa bencana."

Anak itu mengangguk pelan, masih terlihat bingung, tapi dia tidak bertanya lagi. Sementara itu, Caelum hanya duduk diam, memberi makan Poci dengan senyum tipis di wajahnya, seolah-olah dia tidak peduli dengan dunia di sekitarnya.

---

Saat matahari kembali terbit, mereka melanjutkan perjalanan. Dari kejauhan, gerbang Zavros mulai terlihat. Carl menatap gerbang itu dengan campuran rasa lega dan lelah.

"Semoga ini semua berakhir dengan cepat," gumamnya pelan, berharap dewa Luxis mendengar doanya.

Kerumunan di gerbang kota tampak seperti sungai manusia yang tak berujung. Carl berdiri bersama rombongannya, matanya menyapu antrian panjang yang bergerak lamban. Sinar matahari menyengat kulitnya, tetapi keringat di punggungnya bukan karena panas.

"Kenapa selalu seperti ini?" gumam Carl sambil melirik Caelum, yang berdiri tenang dengan poci terikat di kuda di sebelahnya.

Anak-anak perempuan dari keluarga pelancong yang mereka temani terus melirik ke arah Caelum, bisik-bisik di antara mereka. Carl mendesah. Apa dia benar-benar tampan? Tidak, dia lebih mirip iblis dengan senyum psikopat.

Di sisi lain, Idris sedang berbicara hangat dengan keluarga pelancong itu, tertawa kecil seperti mereka adalah teman lama. "Kita akan bertemu lagi di lain waktu, bukan?" ujar Idris, mengulurkan tangan.

"Semoga perjalanan Anda diberkati, Tuan Idris," jawab kepala keluarga itu dengan hormat.

Saat antrian mereka maju, Carl tak bisa menahan perasaan was-was yang menggelayuti pikirannya. Semua ini hanyalah awal. Hal yang lebih buruk pasti menunggu.

---

Mereka akhirnya masuk ke dalam kota, keramaian pasar menyambut dengan bau rempah, debu, dan teriakan pedagang. Orang-orang menoleh ke arah rombongan mereka, terutama pada poci yang digantung di sisi kuda Caelum.

"Apakah itu… goblin?" bisik seorang penduduk kepada temannya.

Carl merasa wajahnya memerah. Dia mempercepat langkah, berusaha menjauh dari tatapan penasaran orang-orang.

"Tenang saja, Carl," kata Idris sambil berjalan santai. "Tak ada yang menyangka kau seorang penyiksa poci."

Carl menggeram pelan. "Kau sama sekali tidak membantu."

Sementara itu, Caelum sama sekali tidak peduli. Dia berjalan dengan ekspresi dingin, mengabaikan bisik-bisik di sekelilingnya.

"Serius, tidakkah dia merasa aneh membawa makhluk itu keliling kota?" pikir Carl.

---

Di depan gerbang besar mansion Sir Althar, dua penjaga berdiri tegak. Idris mendekati mereka dengan senyum ramah.

"Selamat sore, kami ingin bertemu dengan Sir Althar. Bisakah Anda menyampaikan pesan bahwa Idris dan rombongannya sudah tiba?" ujar Idris dengan nada sopan.

Penjaga itu menatap mereka curiga, matanya tertuju pada poci yang digantung di sisi kuda Caelum. "Sir Althar tidak mengoleksi peliharaan aneh seperti ini. Apa ini sejenis goblin mutan?" tanyanya ragu.

Caelum terkekeh pelan, sementara Idris menahan tawa. Carl, di sisi lain, mengusap wajahnya dengan frustrasi.

"Poci ini bukan untuk dijual," jawab Caelum datar, membuat penjaga itu semakin bingung.

"Baiklah… saya akan memberitahu Sir Althar," kata penjaga itu akhirnya, membuka gerbang untuk mereka.

---

Mansion Sir Althar megah, dihiasi ornamen emas dan ukiran rumit di sepanjang dinding. Mereka dibawa ke ruang tamu yang luas, di mana Sir Althar sudah menunggu. Pria tua itu tersenyum lebar, tetapi senyumnya memudar saat pandangannya jatuh pada poci.

"Apakah itu goblin mutan? Atau sesuatu yang lebih buruk?" tanyanya sambil terkekeh kecil.

Caelum tersenyum tipis, tetapi matanya memancarkan sesuatu yang dingin. Idris tertawa pelan, sementara Carl hanya bisa menahan napas.

"Sir Althar," kata Caelum dengan nada serius, "Kenapa tidak duduk dulu?"

Sir Althar tersentak, menyadari ketegangannya sendiri. "Ah, tentu saja. Maaf atas ketidaknyamanan ini. Silakan duduk."

Mereka semua duduk, suasana perlahan menjadi lebih santai. Tetapi ketegangan di bawah permukaan tetap terasa.

"Jadi, apa yang membawa kalian ke sini?" tanya Sir Althar, mencoba terdengar ramah.

Idris membuka mulut, tetapi sebelum dia sempat bicara, Caelum memotong dengan nada dingin, "Panggil anakmu."

Sir Althar terdiam, bingung. "Apa maksudmu?"

"Jangan khawatir, kami hanya ingin bicara," jawab Caelum sambil tersenyum.

Carl merasa ada yang salah. Ini pasti akan menjadi buruk.

---

Revan muncul beberapa menit kemudian, wajahnya terlihat lelah dan kesal. Dia menuruni tangga dengan langkah berat, tetapi pandangannya berubah tajam saat melihat Caelum yang duduk santai di sofa.

"Tuan Idris, ini anakku, Revan," kata Sir Althar, mencoba memecahkan ketegangan.

Idris melirik Revan dengan tatapan penuh arti. "Revan, ada sesuatu yang ingin kami bicarakan. Kau tahu tentang serangan terhadap karavan kami, bukan?"

Revan mengerutkan kening, tetapi tetap tenang. "Saya tidak tahu apa yang Anda bicarakan."

"Benarkah?" Caelum bangkit, berjalan perlahan mendekati Revan. Dalam sekejap, dia menarik rambut Revan dan membenturkan kepalanya ke meja. Suara kayu berderak memenuhi ruangan.

"Kau ingat siapa ini?" Caelum mendorong kepala Revan ke arah poci.

Revan berteriak kesakitan, mencoba melawan. "Aku tidak tahu apa yang kau maksud!"

Sir Althar bangkit, terkejut. "Apa yang kau lakukan?! Ini keterlaluan!"

Penjaga di ruangan itu segera menghunus pedang, tetapi Idris mengangkat tangan, mencoba menenangkan situasi. "Tunggu. Biarkan ini selesai dulu."

Caelum tersenyum dingin, lalu membenturkan kepala Revan lagi. "Lihat baik-baik. Ingat suara ini."

Poci yang sejak tadi diam akhirnya berbicara, suaranya serak dan terbata. "Re..van… a..ku."

Wajah Revan berubah pucat, matanya membesar. Dia ingat.

"Itu… itu tidak mungkin…" Revan tergagap, mencoba menyangkal.

"Masih ingin berbohong?" tanya Caelum dengan nada tenang, tetapi ancaman dalam suaranya jelas.

Revan akhirnya menyerah. "Baik! Baik! Aku mengaku! Aku yang mengirim mereka!"

Sir Althar terjatuh kembali ke kursinya, wajahnya penuh penyesalan. "Revan… bagaimana bisa kau melakukan ini?"

Penjaga itu mundur, menurunkan pedang mereka.

Idris menarik napas panjang, menenangkan dirinya. "Sir Althar, kami tidak datang untuk membuat keributan. Kami hanya ingin menyelesaikan ini dengan baik."

"Bagaimana caranya?" tanya Sir Althar, suaranya lemah.

"Kami ingin perjanjian baru," kata Idris. "Potongan keuntunganmu turun dari 20% menjadi 10%, dan kau menjual barang kami tanpa mengambil keuntungan selama tiga bulan."

"Itu… itu terlalu banyak…" protes Sir Althar.

"Anggap saja ini kompensasi," kata Idris sambil tersenyum ramah.

Sir Althar mengangguk lemah, akhirnya menerima. Dia menampar wajah Revan dengan keras, memaksanya meminta maaf.

Revan melakukannya dengan enggan, suaranya bergetar.

Carl memperhatikan Caelum yang tersenyum puas. Dia benar-benar gila.

"Dan satu lagi," tambah Idris.

Sir Althar menatapnya dengan takut. "Apa lagi?"

Tatapan mata Idris, Caelum dan Carl mengkilat, membuat sir Althar merasa semakin tegang, mempertanyakan apa yang mereka inginkan setelah memerasnya begitu banyak? setelah masuk ke mansionnya seperti orang barbar, lalu menyiksa anaknya dengan sangat kasar.