Malam menjelang di lapangan Grynnar. Langit yang tadinya dipenuhi kicauan burung kini beralih menjadi panggung bagi lolongan serigala dan jerit burung hantu. Jangkrik memulai orkestranya, memenuhi keheningan malam yang menggantung di udara. Di tengah semua itu, langkah mantap terdengar, suara sepatu menginjak bebatuan keras dengan irama yang konsisten.
Caelum berjalan dengan percaya diri, bayangan tubuhnya memanjang di bawah cahaya rembulan. Di belakangnya, Carl menyeret sosok terikat yang hampir tidak menyerupai manusia lagi—"Poci," nama yang diberikan Caelum untuk tahanan mereka, meskipun Carl masih merasa aneh mendengarnya.
Wajah Caelum bersimbah bercak darah yang telah mengering, memberikan kesan mengerikan yang semakin diperkuat oleh senyum tipisnya. Di sisi lain, Carl tampak lesu, wajahnya suram seakan membawa beban berat yang tak kasat mata. Tangannya yang memegang rantai sedikit gemetar, namun ia terus mengikuti di belakang tanpa mengeluh, setidaknya untuk sekarang.
Ketika mereka sampai di depan pintu kayu berukir indah, Caelum mengetuk perlahan.
"Masuk," suara lembut namun tegas Lady Althea terdengar dari dalam.
Caelum mendorong pintu, dan mereka melangkah masuk. Ruangan itu dipenuhi aroma bunga yang manis, bercampur dengan harum kayu dari furnitur berukir. Sebuah meja besar dengan dekorasi mewah berada di tengah ruangan, ditemani beberapa kursi yang tampak empuk. Cahaya rembulan masuk melalui jendela besar, memberikan suasana misterius.
Di dalam, Lady Althea duduk dengan anggun, wajahnya menunjukkan ekspresi serius. Di sampingnya, Idris berdiri dengan santai, kedua tangannya disilangkan di dada. Percakapan mereka berhenti ketika mata keduanya tertuju pada sosok yang merangkak di lantai, ditarik seperti binatang.
Carl menghindari tatapan mereka, sementara Caelum berjalan maju dengan senyuman lebar.
"Apa itu?" Lady Althea akhirnya membuka suara, alisnya terangkat tinggi. "Goblin mutan?"
Tawa Caelum pecah seketika, menggema di ruangan. Idris, meski tidak sepenuhnya paham, ikut tersenyum kecil, merasa ada sesuatu yang lucu.
"Ini bukan goblin mutan, Lady Althea," Caelum menjawab dengan nada riang. "Kenalkan, ini Poci, anjing kecilku."
"Poci?" Idris dan Lady Althea serempak bertanya, bingung.
"Ya, benar. Poci." Caelum menatap mereka dengan senyum penuh arti.
Carl akhirnya angkat bicara, suaranya canggung. "Dia... tahanan yang mereka bawa dari Zavros. Orang yang menyerang rombongan Cael."
Wajah Lady Althea berubah, matanya membelalak. "Bagaimana mungkin manusia bisa berubah menjadi seperti itu?"
Idris memperhatikan lebih saksama. Mata satu-satunya milik Poci menatap kosong, wajahnya yang hilang setengah kulitnya memberikan pemandangan mengerikan. Tubuhnya penuh luka yang sudah setengah sembuh, namun bentuknya kini menyerupai makhluk yang hanya ada dalam mimpi buruk.
"Pantas saja sepertinya aku pernah melihatnya," gumam Idris. Ia menatap lebih lama, lalu mengangguk pelan. "Ya, ini memang tahanan itu." Matanya menyorotkan rasa ngeri. "Tapi bagaimana kau bisa membuat manusia menjadi seperti ini, Caelum?"
Caelum mengangkat bahu dengan santai. "Hanya sedikit kreativitas, Idris. Jadi pertam—"
Lady Althea langsung menyela, suaranya tegas meskipun terdengar ada rasa jijik. "Ehem. Tidak perlu dijelaskan dengan rinci."
"Oh, baiklah," Caelum menjawab sambil tersenyum, tidak menunjukkan tanda kecewa sama sekali.
"Dan apa yang kau dapatkan dari... penyiksaan ini?" lanjut Lady Althea, berusaha mengabaikan Poci yang menggeliat seperti cacing di lantai.
Caelum melipat tangannya, tatapannya berubah serius. "Poci adalah seorang petualang bayaran yang dikirim oleh Revan, anak Sir Althar. Mereka mendapat informasi bahwa rombongan kita membawa uang dalam jumlah besar. Bahkan, mereka sudah dibayar di muka. Namun itu bukan alasan utama kenapa dia begitu rapat menutup mulutnya."
Carl mengalihkan pandangan, seolah ingin melepaskan dirinya dari pembicaraan itu.
"Alasan sebenarnya," lanjut Caelum, "adalah karena keluarganya. Istri dan anak-anaknya disandera oleh Revan. Jika dia buka mulut, mereka akan dibunuh."
Ruangan itu hening. Lady Althea memejamkan matanya sejenak, menghela napas berat. "Jadi kekhawatiranku benar. Ini semua akibat tindakanmu yang selalu impulsif, Caelum. Kau memicu masalah besar dengan menyerang anak pedagang kaya itu."
Idris, yang dari tadi diam, tiba-tiba tertawa terbahak. "Tentu saja! Itulah akibat dari sifat overprotektifmu terhadap Aeris. Meretakkan tulang tangan seorang bocah hanya karena dia ingin menyentuh Aeris!"
"Setidaknya aku mencoba melindungi Aeris," Caelum menjawab dingin, lalu menambahkan dengan nada sarkastik, "Tidak seperti seseorang yang hanya tahu berdiri di sana sambil tertawa."
"Tertawa adalah cara terbaik menghadapi dunia yang penuh kebodohan ini, Caelum," balas Idris dengan nada santai masih tertawa kecil.
Lady Althea mengetukkan jarinya ke meja, mengembalikan perhatian semua orang. "Cukup! Ini bukan hal yang lucu. Kita sedang menghadapi situasi serius."
Caelum mengangguk, lalu melanjutkan. "Tapi jangan khawatir. Aku punya rencana."
"Oh? Dan apa rencanamu kali ini?" Idris bertanya dengan nada skeptis.
"Kalian bawa Poci ke Zavros, ke kediaman Sir Althar. Biar Idris tunjukkan pada mereka hasil kerja anaknya, dan gunakan ini untuk memeras mereka. Dengan sedikit diplomasi... dan mungkin ancaman, masalah ini bisa kita kendalikan."
Lady Althea berpikir sejenak, mengusap dagunya. "Itu bukan ide yang buruk."
"Tapi kenapa harus aku yang pergi?" Idris menyela. "Ini bukan masalah yang aku buat. Bukankah lebih baik kau sendiri yang melakukannya, Caelum?"
Caelum menatap Idris dengan dingin. "Karena aku tahu kau tidak berguna di sini. Setidaknya kau bisa membantu dengan melakukan sesuatu yang sederhana."
Idris tersenyum tipis, menerima hinaan itu tanpa emosi. "Bagus sekali, Caelum. Selalu tahu cara merayu orang."
"Sudah cukup kalian berdua!" suara Lady Althea meninggi. Ia menghela napas panjang, lalu menatap mereka satu per satu. "Aku akan mengirim surat untuk Azrin terlebih dahulu. Setelah itu, kita akan putuskan langkah berikutnya."
Carl, yang dari tadi hanya berdiri diam seperti bayangan, mengangguk pelan tanpa berkata apa-apa. Ia merasa lega bahwa percakapan itu hampir selesai. Malam ini terasa terlalu panjang baginya.
"Kalau begitu, aku akan mengembalikan Poci ke selnya," katanya pelan, menarik rantai dengan perlahan.
Ketika mereka keluar, Carl sempat berbisik pada Poci, "Aku tidak tahu bagaimana nasibmu bisa seburuk ini. Tapi meludah ke wajah Caelum adalah kesalahan besar."
Poci hanya menggonggong pelan, suaranya terdengar lebih seperti lolongan daripada gonggongan. Carl berhenti sejenak, menatapnya dengan iba. Di matanya, Poci bukan lagi manusia.
Ia menghela napas panjang dan berbisik, "Kau benar-benar sudah kehilangan segalanya."
---
Di ruang makan khusus Crimson Blade, matahari menyelinap masuk melalui jendela besar, menghangatkan meja kayu besar yang dipenuhi hidangan sederhana namun menggugah selera. Daging panggang, roti mentega, kentang rebus, dan sayuran segar tersaji berlimpah. Tawa dan canda menghiasi ruangan itu, menciptakan suasana yang hampir melupakan kerasnya kehidupan yang mereka jalani di luar kastil Grynnar.
Daryn, dengan senyum lebar, mengulurkan potongan daging ke Elira yang mengangkat alis, pura-pura tersinggung. "Kau pikir aku tak mampu mengambilnya sendiri, ya?" godanya.
"Tentu bisa, tapi aku harus memastikan tamu kehormatan kita terlayani dengan baik," jawab Daryn sambil terkekeh.
Carl, yang duduk di sisi meja, mulai makan dengan lahap. Ini adalah momen langka di mana ia bisa bersantai tanpa bayangan Caelum yang selalu menghantuinya dalam beberapa hari terakhir. Namun, kenyamanannya segera terganggu ketika Torren, yang duduk di seberangnya, menatapnya tajam.
"Jadi, Carl," kata Torren dengan nada santai namun penuh maksud, "apa saja yang kau lakukan bersama Cael akhir-akhir ini? Kalian terlihat... sangat sibuk. Menurut Elira dan Daryn, kalian bahkan sempat ke penjara."
Carl, yang tengah mengunyah, tersedak mendengar pertanyaan itu. "Uhuk! Uhuk!" Ia memukul dadanya sambil mencoba bernapas.
Elira segera menyodorkan gelas air. "Minum ini, cepat," katanya cemas.
Carl meraih gelas itu dengan tangan gemetar dan meneguk isinya. Ia menatap Torren dengan pandangan tidak percaya. "Apa-apaan, Torren? Tidak bisakah kau menunggu sampai aku selesai makan?"
Daryn mengangkat tangannya, berusaha menenangkan. "Mungkin sebaiknya kita tidak membicarakan itu sekarang. Ini waktu makan."
"Betul," tambah Elira dengan anggukan cepat.
Namun, Torren mengerutkan dahi. "Kenapa? Apa yang salah dengan bertanya?"
Aeris, yang sejak tadi sibuk mengunyah kentang dengan tenang, kini menatap Carl penuh minat. "Ya, Carl, aku juga ingin tahu. Kau selalu bersama Master Cael akhir-akhir ini. Aku bahkan mulai berpikir dia lebih menyukaimu daripada aku."
Carl mengangkat tangan, mencoba menghentikan mereka. "Tidak ada yang perlu diceritakan. Kami hanya melakukan... tugas biasa."
"Tugas biasa?" Aeris menyipitkan matanya curiga. "Jangan coba-coba mengalihkan pembicaraan."
Torren mengangguk setuju. "Ya, ceritakan. Kau tahu kami tak akan berhenti bertanya."
Daryn dan Elira saling berpandangan, lalu menggeleng pelan. Namun mereka tahu Carl tak akan bisa menghindar.
Akhirnya, Carl menyerah. Ia meletakkan garpunya dan mendesah berat. "Baiklah, kalian yang memaksa mendengar ini."
Ia mulai bercerita tentang interogasi yang dilakukan Caelum, menggambarkan detail penyiksaan yang ia saksikan. Wajahnya menunjukkan campuran rasa bersalah dan trauma saat ia berbicara.
Elira menutupi wajahnya dengan tangan, sedangkan Daryn hanya bisa menghela napas panjang.
Aeris, di sisi lain, mengangkat bahu acuh tak acuh. "Oh, itu saja? Kupikir sesuatu yang lebih menarik." Ia kembali fokus pada makanannya.
Torren melongo, kehilangan kata-kata.
"Sudah kubilang jangan membahas ini saat makan," gumam Elira, melirik Torren dengan tatapan penuh kemenangan.
Torren mengusap wajahnya, mencoba mengusir rasa mual. "Baiklah, itu salahku."
Carl hanya mengangkat bahu. "Aku sudah memperingatkan kalian." Tapi ingatannya tentang interogasi itu membuat nafsu makannya lenyap.
Pintu ruang makan tiba-tiba terbuka, dan suasana hening seketika. Caelum melangkah masuk dengan langkah percaya diri, menatap mereka semua dengan tatapan penuh teka-teki. Hanya Aeris yang tampaknya tidak terganggu, melanjutkan makannya dengan tenang.
"Kenapa semua terlihat seperti baru saja melihat hantu?" tanya Caelum dengan nada sarkastik.
Carl, mencoba menghilangkan ketegangan, menyahut, "Kami hanya terkejut kau, si 'paling tepat waktu', bisa terlambat makan siang."
Caelum menatap Carl dengan senyum tipis. "Lucu sekali, Carl. Tapi aku baru saja mengirim surat penting untuk Azrin. Itu hal yang lebih penting daripada menemani pemalas sepertimu makan siang."
Ia duduk di kursi kosong di samping Aeris, mengambil potongan daging, dan mulai makan tanpa ragu.
Carl memperhatikannya dengan heran. "Bagaimana kau bisa tetap nafsu makan setelah... semua yang kau lakukan?"
Caelum hanya tersenyum tanpa menjawab.
Tak lama, ketukan terdengar di pintu. Semua orang saling bertatapan sebelum Torren memberikan izin masuk.
Seorang prajurit masuk dengan hormat. "Maaf mengganggu, tapi Lady Althea meminta Caelum dan Carl menemuinya segera."
Caelum menatap Carl dengan senyum jahil. "Kedengarannya penting."
Carl memijat pelipisnya, merasa frustrasi. "Kenapa aku juga harus ikut?"
Setelah menyelesaikan makan, Caelum dan Carl mengikuti prajurit itu menuju ruang kerja Lady Althea. Ruangan itu dingin, dipenuhi cahaya lembut dari batu sihir yang menjaga suhu tetap sejuk meski matahari terik di luar. Lady Althea duduk di balik mejanya, membolak-balik dokumen, sementara Idris berdiri di dekat jendela, tampak ceria seperti biasa.
Idris menyapa dengan senyuman lebar. "Caelum, Carl, selamat datang di 'ruangan keputusan sulit.'"
Caelum mengangguk santai. "Ada apa kali ini?"
Lady Althea meletakkan dokumennya dan menatap mereka dengan serius. "Aku baru saja menerima balasan dari Azrin. Mengenai Sir Althar dan anaknya, kita sudah diberi instruksi untuk mengambil tindakan. Caelum, Carl, kalian akan berangkat besok."
Carl mendesah panjang, menatap Lady Althea dengan lelah. "Kenapa aku? Lima hari terakhir bersama Cael sudah cukup membuatku lelah."
Caelum menyeringai. "Kau terdengar seperti anak kecil yang mengeluh karena tugas sekolah."
Lady Althea tertawa kecil. "Tentu saja kau ikut, Carl. Kau asisten Caelum dalam interogasi, bukan? Dan Caelum sudah pasti pergi karena dia penyebab masalah ini."
Idris, yang sejak tadi diam, tertawa keras. "Carl, selamat menikmati perjalananmu bersama Caelum. Kurasa ini akan menjadi pengalaman yang... berkesan."
Lady Althea menatap Idris dengan tajam. "Kenapa kau tertawa, Idris? Kau juga ikut."
Idris terdiam sejenak sebelum mengeluh, "Kenapa aku harus ikut? Aku tidak membuat masalah."
"Kau akan menjadi perwakilan resmi kami," jawab Lady Althea dengan nada tegas.
Caelum dan Carl saling bertukar pandang, lalu menatap Idris dengan senyum mengejek.
Idris memaksakan tawa, mencoba menyembunyikan kekesalannya. "Aku yakin perjalanan ini akan sangat menyenangkan."
Lady Althea mengakhiri pertemuan itu dengan menjelaskan rencana keberangkatan mereka esok pagi. Mereka semua meninggalkan ruangan dengan perasaan campur aduk, siap menghadapi perjalanan yang tampaknya akan penuh tantangan—dan mungkin sedikit kekacauan.