Malam di Kastil Grynnar terasa sunyi dan melankolis. Di luar, burung hantu melengking di antara pepohonan tua yang bergoyang perlahan oleh hembusan angin dingin. Lilin-lilin di dinding kastil berkedip tak stabil, cahayanya memantul di lantai batu yang dingin dan berdebu.
Di ruang kerjanya, Lady Althea berdiri di dekat jendela yang terbuka. Angin dingin merayap masuk, membawa bau tanah basah dan daun kering. Dengan gerakan halus, dia menutup jendela itu, memastikan tidak ada udara malam yang bisa mengganggu kerjanya.
Di hadapannya, Idris duduk dengan lesu, segelas wine di tangannya. Mata pria itu terlihat lelah, lingkaran gelap di bawahnya menjadi bukti bahwa dia belum sempat istirahat sejak kembali dari perjalanan panjang.
Lady Althea duduk di kursinya, mengarahkan pandangan tajam ke Idris. "Bagaimana laporanmu, Idris?" tanyanya, suaranya tenang namun penuh otoritas.
Idris mengangkat gelasnya sebelum meneguk wine dengan perlahan. "Aku berhasil mengumpulkan 16.000 emas dari pedagang di Zavros," jawabnya santai, suaranya serak. "Perdagangan berjalan lancar. Tak ada hambatan berarti."
Lady Althea mengangguk, sudut bibirnya melengkung dalam senyuman kecil. "Kerja bagus, Idris. Ini akan membantu memperkuat posisi kita—"
"Tapi," potong Idris, meletakkan gelasnya di meja. "Ada sedikit masalah."
Lady Althea menghentikan ucapannya, alisnya terangkat. "Masalah?" tanyanya sambil menatap Idris dengan tajam. "Apa ini ada hubungannya dengan tahanan yang dibawa Caelum?"
Idris mengalihkan pandangan, terlihat ragu sejenak sebelum mengangguk pelan. "Tepatnya, ini soal anak Sir Althar."
"Anak Sir Althar?" Nada suara Lady Althea berubah tajam. "Apa maksudmu?"
"Caelum..." Idris berhenti, menghela napas panjang sebelum melanjutkan, "...meretakkan tulang anaknya."
Lady Althea membelalakkan mata. Tangannya mengepal di atas meja, tetapi dia tetap menahan diri. "Kenapa bisa terjadi? Jelaskan!"
Idris menggulung lengan bajunya, gestur gelisahnya terlihat jelas. "Revan, anak Sir Althar, membuat masalah lebih dulu. Dia melecehkan Aeris di depan Cael. Kau tahu bagaimana Caelum... dia terlalu melindungi Aeris. Tapi semuanya sudah selesai, tidak ada yang perlu dikhawatirkan."
Lady Althea menghela napas lega, meskipun rasa kesal masih terlihat di wajahnya. "Baguslah kalau itu tidak melebar. Kita tak bisa mengambil risiko kehilangan Sir Althar... mereka adalah sumber emas kita yang berharga."
Idris mengangguk, terlihat semakin lelah. "Kalau begitu, apakah aku bisa istirahat sekarang?"
"Tentu," jawab Lady Althea sambil melambaikan tangan. "Kau sudah bekerja keras."
Idris berdiri, tubuhnya sedikit limbung sebelum dia melangkah pergi. Malam itu menjadi penutup bagi Idris, tetapi bagi Caelum, cerita baru baru saja dimulai.
---
Pagi hari di Kastil Grynnar diawali dengan kokok ayam yang memecah kesunyian. Udara dingin merayap masuk melalui celah-celah dinding batu, membuat siapa pun yang masih terlelap enggan beranjak dari selimut.
Namun, Caelum sudah bangun sejak subuh. Dengan wajah yang lebih cerah dari biasanya, dia menyelesaikan rutinitas paginya. Setelah mandi dengan air dingin yang membuat kulitnya menggigil, dia mengenakan pakaian santainya dengan rapi.
Caelum menatap pantulan dirinya di cermin. Senyum kecil muncul di bibirnya—sebuah pemandangan yang jarang terlihat.
Dia berjalan keluar dari kamarnya, langkahnya mantap menuju koridor. Sesampainya di depan pintu kamar Carl, dia berhenti sejenak. Tanpa ragu, dia mengangkat kakinya dan...
DUAR!
Pintu itu terbuka dengan paksa, menyebabkan suara keras yang menggema di sepanjang lorong.
Carl, yang masih tidur, terbangun dengan wajah panik. Rambutnya berantakan, matanya masih setengah tertutup. "WHAA BAJINGAN—APA—SIAPA—"
Caelum berdiri di ambang pintu, tangannya menyilangkan dada. "Bangun, Carl. Sudah waktunya sarapan," katanya dengan nada dingin namun penuh sarkasme.
Carl menatapnya dengan ekspresi bingung, lalu mengusap wajahnya. "Apa-apaan ini, Caelum? Kenapa kau mendobrak pintuku pagi-pagi begini?"
"Kau tidur seperti babi," jawab Caelum santai, senyum tipis di wajahnya. "Sekarang cepat bersiap, kita punya urusan penting."
Carl mengerutkan kening, masih bingung dengan sikap Caelum yang cerah—sesuatu yang sangat tidak biasa. "Apa kau sakit? Kenapa kau terus tersenyum?"
"Cepat bersiap, Carl," jawab Caelum tanpa menjelaskan. "Dan jangan lupa, ini sudah jam sembilan."
"Jam sembilan pagi itu masih pagi!" gerutu Carl sambil berdiri dengan enggan.
Caelum mengabaikannya dan mulai berjalan menuju ruang makan. Carl mengikutinya dengan langkah lesu, masih mengeluh tentang pagi yang terlalu cepat baginya.
Sesampainya di ruang makan, suasana di sana cukup ramai. Aeris, Elira, Daryn, dan Torren duduk di meja, berbicara dengan santai. Dari kelompok pemberontak, Idris, Lady Althea, dan Geralt juga terlihat menikmati sarapan mereka.
Aeris, yang pertama kali melihat Caelum, langsung melompat dari kursinya dan berlari menghampirinya. "Master!" serunya ceria.
Caelum hanya mengelus rambutnya sekilas sebelum duduk di kursi yang kosong. "Makanlah. Kau butuh energi."
Carl, dengan wajah lesu, duduk di sampingnya. Saat dia mulai mengisi piringnya, Elira meliriknya dengan penuh rasa ingin tahu. "Carl, kenapa kau datang bersama Caelum? Bukankah itu hal yang langka?"
Carl mendesah panjang. "Psikopat itu mendobrak pintuku dan menyeretku ke sini," jawabnya.
Meja makan itu dipenuhi dengan tawa. Bahkan Lady Althea, yang biasanya serius, tidak bisa menahan senyum kecil.
Caelum menatap Carl dengan tajam, tetapi Carl berpura-pura tidak memperhatikan. Aeris, di sisi lain, cemberut. "Master tidak pernah membangunkanku seperti itu..." gumamnya dengan nada penuh iri.
Caelum hanya menghela napas panjang, lalu melanjutkan makannya tanpa menanggapi lebih lanjut.
Setelah selesai makan, Caelum berdiri, menarik Carl yang masih mengunyah. "Ayo, Carl. Kita sudah terlambat."
"Untuk apa?" tanya Carl, bingung dan sedikit cemas.
Caelum tidak menjawab, hanya menariknya keluar dari ruang makan.
Aeris, Elira, dan Daryn yang masih duduk di meja saling bertukar pandang. Rasa penasaran memenuhi pikiran mereka.
"Ke mana kalian akan pergi?" tanya Aeris polos.
Carl mencoba memberikan alasan. "K-kami hanya akan... melatih anjing yang aku temukan!"
Caelum menginjak kakinya dengan keras, membuat Carl meringis kesakitan. "Betul," tambah Caelum dengan tenang. "Anjing itu butuh disiplin."
Elira memiringkan kepalanya, curiga. "Anjing? Sejak kapan ada anjing di kastil ini?"
Daryn, yang juga curiga, berbisik pada Elira, "Kita ikuti saja mereka. Aku yakin ada sesuatu yang terjadi."
Elira mengangguk setuju, dan mereka berdua bersiap mengikuti Caelum dan Carl dari kejauhan.
Sementara itu, Lady Althea dan Idris hanya saling berpandangan. Tanpa berkata apa-apa, mereka tahu apa yang sebenarnya terjadi.
---
Lorong panjang kastil itu sunyi, kecuali suara langkah kaki yang bergema, menorehkan irama monoton dalam keheningan. Carl, dengan ekspresi setengah jengkel dan setengah lelah, terus mengikuti Caelum yang berjalan di depan tanpa suara. Perjalanan mereka terasa seperti tiada akhir—melewati ruang perawatan, ke gudang kebun, lalu ke tempat pandai besi. Di setiap pemberhentian, Caelum hanya mengambil sedikit barang, entah potion, alat, atau sekadar sesuatu yang tampak sepele.
"Kenapa kita harus muter-muter begini?" keluh Carl akhirnya, menghentikan langkahnya dengan tangan terlipat. "Kalau tujuannya cuma itu-itu aja, kenapa nggak langsung aja, Caelum? Serius, ini bikin pusing."
Caelum tidak menjawab. Dia hanya melirik Carl sekilas, senyuman kecil bermain di sudut bibirnya sebelum melanjutkan langkah dengan tenang. Sikapnya yang tidak tergesa-gesa, seolah waktu adalah hal terakhir yang perlu dikhawatirkan, membuat Carl semakin frustrasi.
---
Langkah mereka akhirnya membawa mereka ke lapangan kastil. Carl memperhatikan Caelum dengan penuh kebingungan saat mereka melintasi tanah berbatu, menuju pintu masuk gelap yang menganga di sisi lain lapangan. Aroma lembap bercampur besi menyeruak, menggantung di udara saat pintu menuju penjara bawah tanah terbuka.
"Disini?" tanya Carl, ragu, sembari menahan napas ketika hawa dingin dari dalam penjara menyambut mereka.
Caelum mengangguk sambil tersenyum cerah, senyuman yang justru membuat bulu kuduk Carl berdiri. Ada sesuatu yang mengerikan di balik keramahan itu. Ketika Carl menyadari apa yang ada di balik pintu itu, ekspresi wajahnya berubah drastis. "Ini... ini soal tahanan itu, kan?" tanyanya, suaranya hampir berbisik.
"Kau cepat tanggap," jawab Caelum ringan. "Ambil alat-alat dan potion yang sudah kita kumpulkan tadi. Bersiaplah. Kita akan mulai."
Carl menelan ludah, akhirnya memahami tujuan mereka berkeliling kastil seperti orang bodoh tadi. Dengan enggan, dia memunguti barang-barang yang ada di dalam tas mereka, menyiapkannya seperti seorang asisten yang malas.
"Kenapa nggak bilang dari tadi? Serius, kalau kau kasih tahu—"
"Kau terlalu bodoh untuk menebak sendiri," sela Caelum dengan nada sarkastik, senyuman cerah itu tetap terpaku di wajahnya. "Pikirkan ini sebagai pelajaran, Carl."
Carl hanya menghela napas panjang, malas berdebat.
---
Di dalam sel, tahanan itu masih tergeletak, tubuhnya lemas, wajahnya hampir tak berwarna. Dia tampak tenggelam dalam tidur yang tidak nyaman, bahkan mungkin tidak sadar sama sekali. Tanpa peringatan, Caelum menuangkan cairan dari botol kecil ke tubuhnya. Cairan itu langsung bereaksi, menimbulkan asap tipis saat menyentuh kulit.
Jeritan mengerikan menggema di ruangan sempit itu. Tubuh tahanan itu melompat seperti terkena kejutan listrik, kulit di tempat cairan itu mengenai mulai memerah dan terkelupas. Carl, berdiri di sudut ruangan, meringis ngeri, membayangkan rasa sakit yang dialami pria itu.
"Bangun, anjing kecil," ucap Caelum dengan nada ringan. "Waktunya kita belajar berbicara, siapa namamu anjing kecil?"
Tahanan itu hanya menatap Caelum dengan mata penuh kebencian dan rasa sakit. Tanpa berkata apa-apa, dia meludah ke arah wajah Caelum.
"Oh, brilian," gumam Carl pelan, menggeleng tak percaya. "Kau benar-benar tidak tahu siapa yang sedang kau hadapi, ya?"
Caelum menghapus ludah itu dengan perlahan, wajahnya tetap tenang. "Baiklah, jika kau tidak punya nama..." Dia mengeluarkan pencapit besar dari tas yang mereka bawa, menjepit kuku jari kelingking tahanan itu. "...aku akan memberimu nama."
Tahanan itu menggertakkan giginya, tetapi tidak cukup cepat untuk menghentikan teriakan yang keluar dari mulutnya saat kukunya tercabut. Carl menahan diri untuk tidak memalingkan wajahnya, ekspresi wajahnya campuran antara ngeri dan kasihan.
"Kukunya keras juga," komentar Caelum santai, seolah dia sedang membicarakan cuaca. "Kita lanjut ke berikutnya."
---
Di luar penjara, Elira dan Daryn berdiri di dekat lapangan latihan, melihat pintu masuk penjara yang besar dan berat.
"Kau yakin dia masuk ke sini?" tanya Elira, menyipitkan matanya, mencoba mencari tanda-tanda kehidupan di dalam kegelapan.
"Ya," jawab Daryn. "Aku melihatnya melintasi lapangan tadi. Kalau dia tidak keluar lagi, dia pasti masih di dalam."
"Tunggu," Elira mengangkat satu alis, mengarahkan pandangannya ke penjaga yang bersandar di dinding dekat pintu. "Kau tahu siapa yang ada di bawah?"
Penjaga itu hanya tersenyum, mengangkat bahu. "Kenapa kalian tidak lihat sendiri?"
Mereka saling pandang, ragu sejenak sebelum akhirnya memasuki penjara bawah tanah. Suara langkah mereka bergema di lorong sempit, hingga Daryn tiba-tiba menghentikan langkahnya. Dia memberi isyarat agar Elira diam.
"Gunakan sihir matamu," bisiknya. "Lihat apa yang terjadi di sana."
Elira mengangguk, memusatkan sihir pada matanya untuk melihat ke dalam sel tempat suara-suara aneh berasal. Ketika gambaran di depannya menjadi jelas, dia menelan ludah dengan gugup. "Dia sedang mencabut kuku tahanan itu," bisiknya dengan nada dingin. "Semua kuku di tangan kanannya sudah habis. Tinggal dua di tangan kirinya."
Daryn menutup matanya, menarik napas panjang. "Jadi begitu, tahanan kemarin ya. Kalau begitu... Kita sudah tidak punya urusan di sini."
Elira setuju tanpa ragu. Karena rasa penasaran mereka sudah terbayar. Mereka berbalik, meninggalkan penjara dengan langkah cepat, wajah mereka diliputi ekspresi aneh. Tidak mau tahu tentang kejadian itu.
---
Sesi penyiksaan terus berlanjut. Caelum melangkah mendekat ke tahanan yang kini menggigil, darah mengalir dari jari-jarinya yang sudah tidak memiliki kuku.
"Masih tidak mau bicara?" tanyanya dengan senyum tipis. "Mulutmu terlalu rapat."
Ketika tidak ada jawaban, Caelum mengangkat tangannya, menarik salah satu gigi bawah tahanan itu dengan paksa. Jeritan kembali memenuhi ruangan. Carl, yang berdiri di sudut dengan potion di tangannya, tidak lagi mampu menyembunyikan rasa jijiknya.
"Potion kita habis," lapornya pelan.
Caelum mengangguk, meletakkan alat-alatnya dengan hati-hati. "Kalau begitu, kita sudahi untuk hari ini." Senyumannya mengerikan, bayangan di wajahnya terlihat seperti sebuah ironi dari mimpi buruk.
---
Tiga hari berturut-turut, sesi itu terus berlangsung. Jeritan tahanan dan suara tulang yang terkoyak menghiasi penjara. Carl, meski enggan, tetap mengikuti perintah Caelum, meskipun setiap harinya dia harus menahan rasa mual yang semakin menjadi-jadi.
Di hari ketiga, tahanan itu akhirnya menyerah. Dengan suara serak dan tubuh yang gemetar, dia mulai berbicara. Tetapi kata-katanya tidak jelas, seperti orang yang kehilangan kontrol atas mulutnya.
"Apa yang kau katakan?" tanya Caelum, mendekatkan wajahnya ke tahanan.
Ketika kata-kata itu tetap tidak jelas, Caelum mengangkat alat lain. Kali ini, dia mencungkil bola mata tahanan itu dengan gerakan perlahan, menyebabkan jeritan yang lebih parah dari sebelumnya.
"Bicaralah dengan jelas," perintah Caelum, nada suaranya datar, meskipun matanya memancarkan api kegilaan.
Tahanan itu, dengan sisa-sisa energinya, kembali berbicara, kali ini lebih jelas. Caelum mendekat, mendengarkan dengan saksama, hingga akhirnya senyuman kecil muncul di wajahnya.
"Jadi begitu..." gumamnya pelan, suara tawanya memenuhi ruangan, membuat Carl merinding di tempatnya, bertanya-tanya pada diri sendiri apa yang didengar Caelum?
---