Bulan hampir penuh, dan cahayanya yang lembut menyelinap melalui tirai tipis jendela penginapan kecil itu, memantulkan cahaya ke segala arah. Di dalam kamar yang sederhana namun cukup nyaman, suasana hening. Hanya terdengar suara napas pelan Aeris yang tertidur pulas di tempat tidurnya. Namun, tidur Aeris jauh dari kata anggun. Selimutnya berantakan, satu kakinya menjulur ke samping tempat tidur, dan rambutnya yang biasanya rapi kini kusut menutupi sebagian wajahnya. Begitu nyata gambaran seorang gadis muda yang masih berjuang dengan mimpi buruknya, bahkan dalam tidur.
Di sudut ruangan, Caelum duduk di kursi kayu yang sudah sedikit lapuk, dekat jendela. Ia menatap keluar ke jalanan Zavros yang mulai lengang, hanya disinari oleh cahaya temaram dari lampu-lampu kota. Jalan-jalan berbatu itu sunyi, seolah menyimpan banyak rahasia. Dengan tangan yang menyangga dagu, ia melirik ke arah Aeris yang terbaring, dan hembusan napas panjang keluar dari bibirnya.
"Hei, gaya tidurmu seperti itu, dan kau masih mengaku seorang ksatria?" gumamnya dengan nada sarkastik, meskipun ujung bibirnya terangkat membentuk senyum lembut, yang hanya ia tunjukkan pada dirinya sendiri. Matanya tetap terfokus pada gadis yang masih tertidur.
Tatapannya kemudian berpindah kembali ke luar jendela. Pikirannya terperangkap dalam bayangan masa lalu—senyum ibunya yang hangat, suara lembutnya yang selalu menenangkan, meskipun semuanya kini hanyalah kenangan yang mulai memudar. Tetapi, sebelum ia sempat tenggelam dalam memori itu, sebuah teriakan mengagetkannya.
"Tidak! Jangan!" Aeris tiba-tiba terbangun, tubuhnya berkeringat, dan matanya yang besar terlihat panik, berkelip-kelip seolah berusaha mencari kenyamanan. Caelum berdiri dengan cepat, langkahnya ringan meski terasa berat oleh kepedihan yang ia simpan.
"Aeris, ada apa?" tanyanya, suaranya lebih lembut daripada biasanya, jauh lebih empati. Ia melangkah mendekat, khawatir melihat kecemasan yang terpancar jelas di wajah Aeris.
Aeris memandangnya dengan mata berkaca-kaca, tatapannya kabur sejenak sebelum menunduk, mencoba mengatur napasnya yang masih terengah-engah. "Aku… aku bermimpi buruk, Master," ujarnya, suaranya bergetar. "Tentang saat Kekaisaran menyerang kotaku. Mereka membakar semuanya… Mereka… membunuh orang tuaku di depan mataku…" Air mata mulai menetes, membasahi pipinya.
Caelum terdiam sejenak, hatinya tersentuh mendalam, namun ia tahu ia harus tetap tenang. Matanya menggelap, mengingat tragedi serupa yang pernah ia alami. Tanpa banyak bicara, ia duduk di samping Aeris, meletakkan tangan di bahunya dengan lembut, mencoba menenangkan gadis itu.
"Aku mengerti bagaimana rasanya. Tapi kau masih hidup, Aeris. Itu artinya kau diberi kesempatan untuk melawan, untuk membuat mereka membayar," katanya dengan nada yang lebih serius, lebih dalam dari yang biasanya ia tunjukkan. Mata Aeris menatapnya, penuh rasa terima kasih meskipun kesedihan masih terlihat jelas di wajahnya.
Aeris mengangguk perlahan, meskipun air mata masih menetes. "Terima kasih, Master… aku… aku tidak tahu harus berkata apa."
"Tidurlah," ujar Caelum, suara lembutnya berubah menjadi penuh kasih sayang. Ia menarik selimut yang berantakan dan menyelimutinya dengan rapi, berusaha membuat gadis itu merasa lebih nyaman. Aeris perlahan memejamkan mata, dan Caelum kembali duduk di kursinya, memastikan ia tetap terjaga, meski tubuhnya ingin sekali beristirahat.
---
Pagi hari tiba dengan cepat. Di ruang makan penginapan yang sederhana namun hangat, Idris sudah duduk menikmati roti panggang dan secangkir kopi. Ia tampak santai, seperti tidak ada yang bisa mengganggunya. Ketika Caelum dan Aeris akhirnya masuk, Idris langsung melontarkan senyum lebar, tampak lebih ceria dari biasanya.
"Wah, pagi yang cerah untuk pasangan muda," ejek Idris, matanya berkilat nakal saat ia mengangkat cangkirnya dengan santai.
"Aku tidak dalam suasana hati untuk leluconmu, Idris," balas Caelum dengan nada malas, sambil duduk di kursi berhadapan dengannya. Aeris hanya menanggapi dengan senyum kecil, terlalu sibuk menyantap makanannya yang terlihat sangat lezat.
"Tenang, Tuan Insania. Jangan terlalu serius. Kau bahkan lebih tua dari umurmu," lanjut Idris, masih dengan nada bercanda yang khas.
"Dan kau bahkan lebih bodoh dari usiamu," Caelum menjawab sambil mengambil secangkir teh, memandang Idris dengan mata yang penuh sindiran.
Percakapan mereka penuh dengan ejekan ringan, yang biasa terjadi di antara mereka. Idris terus menggoda sementara Aeris tetap fokus pada sarapannya, jarang sekali ia mengalihkan perhatian dari makanan. Setelah makan selesai, Idris pergi berpamitan dengan si pedagang untuk memastikan semua urusan selesai, sementara Aeris menatap Caelum dengan mata penuh harap.
"Master, bisakah kita jalan-jalan sebentar?" tanyanya dengan nada manja, suaranya lembut dan penuh permintaan.
Caelum menghela napas panjang, matanya mengerut sedikit. "Kau tahu kita harus segera kembali, kan?"
"Sebentar saja. Hanya sampai Idris kembali," rengeknya, membuat Caelum akhirnya menyerah dengan kesal.
"Baiklah, tapi jangan terlalu jauh," katanya akhirnya, dengan nada yang sedikit cemas. Aeris bersorak kecil, melompat kegirangan dan langsung menarik tangan Caelum untuk berjalan bersamanya.
---
Kota Zavros adalah kota besar yang penuh kehidupan. Jalanan dipenuhi oleh pedagang yang menjajakan barang dagangan mereka, mulai dari kain sutra, rempah-rempah, hingga perhiasan mahal. Suara tawar-menawar terdengar di mana-mana, sementara aroma roti panggang dan daging panggang memenuhi udara. Ada semacam kegembiraan yang menular di setiap sudut kota.
Aeris tampak sangat antusias, berlari dari satu kios ke kios lain dengan mata berbinar. "Master, lihat ini! Ini sangat cantik!" katanya sambil menunjuk gelang perak yang dihiasi batu biru yang berkilau, menarik perhatian dari para pejalan kaki yang lewat.
"Kau tahu kita di sini bukan untuk belanja, kan?" Caelum mengingatkan, meskipun ia akhirnya tetap membayar gelang itu.
Mereka juga berhenti di sebuah kios makanan kecil, di mana Aeris mencoba berbagai makanan lokal dan memaksa Caelum mencicipinya, dengan penuh semangat.
"Rasanya enak, kan?" tanyanya, suaranya penuh dengan antusiasme, matanya bersinar-sinar.
"Ini terlalu manis," komentar Caelum datar, meskipun sebenarnya ia tidak keberatan mencoba berbagai makanan tersebut.
Ketika Idris akhirnya kembali, ia menemukan Caelum yang terlihat kelelahan, membawa banyak kantong belanjaan, sementara Aeris menggandeng tangannya dengan ceria, tampaknya sangat senang dengan perjalanan ini.
"Jadi, kalian benar-benar pergi belanja?" Idris bertanya dengan nada bercanda, matanya menyipit lucu.
"Dia memaksa," jawab Caelum singkat. sementara Aeris membanggakan perjalanannya. "Lihat ini Idris Masterku sangat baik, kau pasti iri."
"Iya, iya, kita berangkat sekarang, Insania kecil kita," Idris menimpali, membuat Aeris cemberut dengan tidak puas. Caelum hanya bisa menghela napas panjang.
---
Rombongan akhirnya meninggalkan Zavros. Kereta kuda mereka berjalan perlahan melalui jalanan berbatu yang panjang, dengan sepuluh pengawal mengawal mereka. Suasana perjalanan cukup lancar, namun menjelang malam hari, mereka memasuki sebuah hutan gelap yang sepi.
Caelum yang duduk di depan kereta tiba-tiba merasakan sesuatu yang aneh. Ia melirik sekeliling dengan tatapan tajam, merasa ada yang tidak beres. Senyum jahat muncul di wajahnya, seolah ia sudah menanti sesuatu. "Kita akan punya sedikit hiburan," katanya dengan suara rendah, matanya berkilau tajam.
Beberapa menit kemudian, bayangan-bayangan muncul di antara pepohonan. Sekelompok orang bersenjata mengepung mereka dari segala arah. Ada sekitar tiga puluh orang, masing-masing memegang pedang, busur, atau tombak.
"Hah, bandit?" Idris bertanya dengan alis terangkat, matanya penuh rasa ingin tahu.
"Tidak," jawab Caelum, matanya menyipit seiring ketegangan yang semakin terasa. "Petualang bayaran."
Aeris langsung menghunus pedangnya dengan semangat. "Aku akan membunuh mereka semua!" katanya dengan mata yang bersinar, penuh tekad.
Caelum menepuk kepalanya dengan lembut, mencoba menenangkan gadis itu. "Duduk di dalam. Jangan buat masalah."
Aeris mengerucutkan bibirnya, namun ia menurut. Sementara itu, Caelum turun dari kereta dengan langkah tenang, menarik pedangnya, Lunargleam, bersinar redup di bawah cahaya bulan yang temaram. Ia melangkah maju dengan keyakinan, matanya tajam menatap para penyergap yang mulai mendekat. Setiap gerakannya penuh ketenangan, seolah tahu bahwa pertempuran ini sudah ditentukan sejak awal.
"Hanya tiga puluh orang? Kupikir akan butuh lebih banyak," ejeknya, senyum meremehkan terukir di bibirnya. Suaranya dingin, penuh tantangan.
Seorang pria yang tampak seperti pemimpin mereka melangkah maju, mengangkat pedang dengan tegas. "Serahkan uangmu, atau mati."
"Coba ambil," tantang Caelum, suaranya datar namun mengandung ancaman yang jelas.
Dengan gerakan kilat, Caelum menyerang. Pedangnya bergerak begitu cepat, seperti kilatan cahaya yang hanya bisa diikuti oleh mata yang sangat terlatih. Dalam sekali ayunan, dua orang tewas, tubuh mereka terbelah dengan sempurna. Para penyerang yang tersisa tidak siap menghadapi kecepatan dan keterampilan Caelum. Beberapa di antara mereka mencoba menyerang dengan tombak dan pedang, namun gerakan mereka terlalu lambat untuk menghadapi seorang petarung seperti Caelum.
Caelum berputar, menghindari serangan tombak yang meluncur cepat ke arahnya. Dengan satu gerakan cepat, ia menikam penyerangnya di leher, darah memancar dari luka yang dalam. Ia bergerak seperti bayangan, setiap tebasannya akurat dan mematikan.
Idris, yang masih berada di kereta, menggelengkan kepala melihat aksi Caelum. "Dia benar-benar tidak butuh bantuan," katanya dengan suara miring, namun matanya penuh rasa takjub.
Pertarungan berlangsung singkat namun brutal. Caelum bergerak cepat, setiap serangan terarah, setiap langkah penuh presisi. Dalam waktu singkat, hampir seluruh penyerang tergeletak mati, hanya menyisakan satu orang yang masih hidup, pemimpin mereka.
Caelum mendekat ke pemimpin tersebut, menempelkan pedangnya yang bersinar di leher pria itu. Matanya bersinar dengan kilauan kejam, senyum tipis mengembang di wajahnya. "Kau akan menjelaskan siapa yang mengirimmu. Jika kau berguna, kau mungkin akan tetap hidup sampai kita kembali ke Fort Grynnar."
Pria itu gemetar, keringat dingin mengalir di dahinya. Ia tahu bahwa melawan Caelum berarti kematian. Tidak ada pilihan lain selain menurut.
Caelum tersenyum jahat, lalu menyeret pria itu kembali ke kereta. Dengan darah yang masih menetes dari pedangnya, ia kembali duduk dengan santai, seolah tidak terjadi apa-apa.
"Perjalanan ini jadi lebih menarik," katanya dengan nada dingin, pandangannya kosong, seperti tak ada rasa belas kasihan di dalam dirinya. Aeris memandangnya dengan campuran kekaguman dan ketakutan. Ia tidak bisa sepenuhnya memahami bagaimana Caelum bisa begitu tenang, bahkan setelah membunuh begitu banyak orang.
Kereta mulai bergerak lagi, meninggalkan hutan yang kini dipenuhi tubuh-tubuh para penyerang yang tak bernyawa. Angin malam berhembus, membawa aroma hutan yang basah dan sepi, sementara Caelum, dengan sikap tenang yang penuh kewaspadaan, memandang jauh ke depan. Menantikan seperti apa masa depan orang yang ia tangkap.