Di tengah siang yang terik, kamp pemberontak di dataran Elaria berdiri di bawah langit yang cerah, meskipun pertempuran kemarin meninggalkan jejaknya yang dalam. Tenda-tenda yang seharusnya kuat kini terlihat koyak dan usang, tak mampu lagi melindungi dari luka-luka perang yang baru saja berlalu. Angin sepoi-sepoi berhembus melewati mereka yang tengah beristirahat, tubuh yang letih dipenuhi harapan dan sedikit euforia setelah kemenangan yang akhirnya mereka raih. Namun bagi Caelum, kebahagiaan itu seolah tak lagi ada.
Di luar tenda, Caelum duduk termenung, wajahnya terbungkus lelah, terbalut kabut kebingungannya sendiri. Ketika Azrin datang menghampirinya, suasana semakin hening. Azrin, meskipun tubuhnya juga rapuh setelah pertempuran sengit itu, mencoba menawarkan sedikit kenyamanan. Dia duduk di sebelah Caelum, matanya menatap luka-luka yang belum sepenuhnya sembuh di tubuh ahli strategi tersebut.
"Bagaimana keadaanmu?" tanya Azrin, suara lembut namun penuh perhatian, seolah berusaha menembus kesunyian yang menyelimuti hati Caelum.
Caelum menoleh sedikit, bibirnya pucat, namun matanya memancarkan kekhawatiran yang mendalam. "Tubuhku... mulai membaik. Efek dari Gelang Krenor cukup membantu," jawabnya pelan, namun ada kesan kosong di sana, "Tapi... Aeris. Dia belum bangun. Aku khawatir."
Azrin mengangguk, tangannya yang kuat diletakkan di bahu Caelum, memberi sedikit ketenangan meski tak dapat menghapus kegelisahan yang mencengkeram. "Caelum, kemenangan ini... tidak ada artinya jika kita kehilangan orang yang kita cintai. Menyelamatkan diri kita dulu, itu yang penting," Azrin berbicara dengan serius, namun ada kelembutan di matanya, seolah ingin menenangkan perasaan si ahli strategi.
Caelum menghela napas panjang, matanya kembali terfokus pada Aeris yang terbaring di tenda perawatan. "Aku yang membawanya ke sini. Aku yang membawa dia ke medan perang ini," kata Caelum, suaranya bergetar.
Azrin menatapnya lama, lalu mencoba mengalihkan perhatian Caelum ke hal lain yang lebih penting. "Fioris... dia mundur. Pasukannya diperkirakan akan mundur ke kota terdekat, mungkin sepuluh hari perjalanan dari sini. Pasukan mereka kini tinggal sekitar 4000 orang. Kita masih harus waspada."
Caelum mengangguk, lebih tenang setelah mendengar kabar itu. "Aku tidak akan membiarkan mereka menguat lagi. Setelah Aeris pulih, kita akan bergerak lagi."
Azrin menatap Caelum dengan tatapan yang penuh pengertian, seolah ingin memastikan bahwa pemimpin pemberontak ini tidak terlalu keras pada dirinya sendiri. "Kau sudah melakukan yang terbaik, Caelum."
Mereka terdiam, membiarkan keheningan meresap, seolah dunia di sekitar mereka berputar dengan cara yang berbeda. Masa depan yang tak pasti menyelubungi mereka, tetapi sejenak, mereka hanya duduk, membiarkan perasaan mereka tercermin dalam kebisuan itu.
---
Pasukan pemberontak mulai membersihkan medan perang, darah dan abu yang mencemari tanah tak lagi bisa disangkal. Tubuh-tubuh yang tergeletak memberi kesan bahwa mereka sudah tak lagi mengingat siapa yang menang dan siapa yang kalah. Namun, bagi Caelum, pemandangan itu tak lebih dari beban yang harus dihadapinya, meskipun kemenangan mereka baru saja diraih.
Dia berjalan pelan di antara tubuh-tubuh yang tergeletak, tubuhnya terluka, tangan yang menyentuh pedang terasa nyeri, namun pikirannya terfokus pada satu hal: Aeris. Ia berhenti di depan tubuh High Guard Fioris yang tergeletak, tak bernyawa, wajahnya yang penuh kebencian dan keangkuhan kini berubah menjadi ekspresi kosong. Caelum menundukkan kepala, matanya yang tidak melihat kemenangan apa pun. Dengan tangan yang gemetar, ia memungut dua benda dari tubuh High Guard—sepasang anting berkilau dan pedang yang tampak sangat indah. "Ini untukmu, Aeris," gumamnya pelan, seolah memberi penghormatan terakhir pada seorang teman sekaligus musuh.
Benda-benda itu disimpannya di kantong kulitnya, lalu ia melangkah menuju tenda perawatan, tempat Aeris masih terbaring tak sadar. Ia menatap tubuhnya yang terbaring lemah, tangan menggenggam gelang Krenor yang terpelihara dengan baik, dan Caelum memasangkannya pada pergelangan tangan Aeris. "Kau harus bangun, Aeris," bisiknya dengan penuh harapan yang seolah tak akan pernah pudar.
---
Hari berlalu, pasukan pemberontak melangkah menuju Fort Grynnar. Kemenangan mereka disambut dengan sorak sorai dari warga kota. "Pembebas! Pembebas!" mereka berteriak, berlari keluar dari rumah mereka, bertepuk tangan dan menyambut dengan suka cita. Namun bagi Caelum, kebahagiaan itu terasa samar.
Di dalam benteng, suasana riuh saat para prajurit dan pemimpin pemberontak menerima penghargaan mereka. Tetapi Caelum hanya duduk terdiam di sudut ruangan, wajahnya tanpa ekspresi. "Aku gagal," bisiknya pada dirinya sendiri.
Elira dan Daryn mendekat, berusaha menyemangati. "Cael, kita menang! Setidaknya kita tidak kalah," kata Elira, mencoba menepuk bahu Caelum dengan lembut.
Caelum menatap mereka, matanya lelah, penuh keletihan yang tak bisa disembunyikan. "Ini bukan kemenangan bagiku, Elira. Fioris masih hidup. Aeris belum sadar."
Daryn menepuk punggung Caelum dengan keras. "Kau terlalu keras pada dirimu sendiri. Kita sudah mengusir mereka dari Padang Elaria. Itu kemenangan besar!"
Meski kata-kata mereka mencoba menghibur, Caelum tetap terdiam, perasaan kosong mengisi hatinya. Bagi Caelum, pertempuran belum berakhir.
---
Satu minggu kemudian, Aeris akhirnya terbangun. Caelum yang mendengar kabar itu langsung berlari menuju ruang perawatan, jantungnya berdebar kencang.
Begitu memasuki ruangan, ia melihat Aeris duduk di kasurnya, menatap ke luar jendela, wajahnya yang pucat diterangi cahaya matahari yang lembut. Sesuatu dalam diri Caelum merasa waktu seolah berhenti sejenak, membiarkan mereka berdua meresapi momen itu.
"Aeris," suara Caelum terdengar rendah, hampir seperti bisikan.
Aeris menoleh, mata mereka bertemu, dan untuk pertama kalinya sejak pertempuran itu, Caelum merasakan kedamaian yang sangat ia butuhkan.
Aeris tersenyum, meskipun wajahnya masih pucat. "Master... aku benar-benar memalukan, ya?" ujarnya, sedikit malu, namun senyum itu terasa begitu menenangkan bagi Caelum.
Caelum duduk di sampingnya, menggenggam tangan Aeris dengan lembut. "Tidak, Aeris. Kau tidak memalukan. Aku hanya bersyukur kau bangun," jawab Caelum dengan suara yang hampir pecah, matanya berkaca-kaca.
Aeris tertawa pelan, merasakan kelegaan yang terpancar dari diri Caelum. "Tapi master... kau terlalu khawatir. Lihat, aku baik-baik saja," kata Aeris sambil mengelus kepala Caelum dengan lembut.
Caelum tersenyum, meskipun sedikit canggung. "Kau memang tak pernah berubah, Aeris."
Aeris tersenyum cerah, "Aku hanya ingin mengatakan yang sebenarnya, master."
Di saat itu, dunia di sekitar mereka terasa lebih ringan, meskipun masih ada banyak hal yang belum selesai. Namun, untuk saat itu, mereka bisa merasakan kedamaian, sesuatu yang sangat langka bagi mereka.
---
Sore itu, di ruang makan The Crimson Blade di benteng Grynnar, makan malam berlangsung dengan suasana yang lebih tenang dari biasanya. Namun, Caelum tampak jauh dari bahagia. Ia memegang sebuah surat kabar yang baru saja ia baca, matanya tajam menyusuri tulisan-tulisan di sana.
Aeris, yang duduk di sampingnya, mencoba mengingatkan. "Master, makan dulu. Jangan terlalu fokus pada surat kabar."
Namun, Caelum tak mendengarkan, matanya terfokus pada kabar terbaru tentang pemberontakan mereka. "Dari Guild Petualang?" gumamnya, suaranya berubah menjadi tak percaya. "Apa... ini?!"
Daryn yang duduk di seberangnya langsung mengambil surat itu, membacanya dengan suara keras. "Caelum Insania, seorang ahli strategi militer yang jenius dan cerdik. Namun, tindakannya yang gila dan melanggar moral manusia membuatnya menjadi ancaman besar. Dia membantai pasukan tanpa ampun dan memotong tangan seorang wanita, Jenderal Fioris Lilium. Imbalan bagi siapa saja yang berhasil menangkap Caelum Insania adalah 150.000 gold."
Semua orang di meja tertawa terbahak-bahak, kecuali Aeris yang sedikit cemas. "Kalian terlalu kejam padanya!" serunya, berusaha membela Caelum.
Elira tersenyum lebar, "Jadi itu sebabnya ada harga di kepalamu?"
Torren menambahkannya, "Jenius militer yang gila! Hahaha! Kamu tahu, Caelum, ini benar-benar membuatmu terlihat lebih keren!"
Daryn kembali membaca berita tersebut dengan nada mengejek. "Hmm, mari kita lihat," gumannya pelan, kemudian membaca dengan keras, "Dengan semua pencapaian baik dan buruknya, Guild Petualang dengan rendah hati memberi julukan 'Insania' pada individu tersebut. Hahaha."
Semua tertawa terbahak-bahak, mengolok-olok nama belakang baru Caelum yang terdengar absurd. Namun, meski semua tertawa, mereka sepakat bahwa nama itu... cukup menggambarkan dirinya dengan tepat.
Aeris cemberut, berteriak membela Caelum walaupun tak banyak yang mendengarkan. Sementara itu, Caelum hanya menunduk, wajahnya merah padam karena malu.
Namun, di tengah segala kegilaan itu, ada sesuatu yang menghangatkan hatinya—teman-temannya, meski dalam bentuk cemoohan, akan selalu ada di sana untuk mendukungnya.