Mentari pagi menyinari halaman kastil Grynnar, memantulkan cahayanya pada pedang-pedang yang tengah beradu di arena latihan. Caelum berdiri tegap, wajahnya sedikit santai, meski masih menyiratkan kewibawaan. Di depannya, Aeris dengan lincah bergerak, menyerang dan bertahan dengan teknik yang semakin terasah.
"Lebih cepat, Aeris," ujar Caelum sambil melangkah ke samping, matanya tajam mengamati setiap gerakan muridnya. "Jangan biarkan lawan membaca niatmu."
"Baik, Master!" Aeris tersenyum cerah sambil menyerang dengan gerakan cepat.
Di pinggir arena, Torren, Daryn, dan Elira berdiri memperhatikan. Mereka tersenyum melihat perubahan dalam diri Caelum.
"Lihat itu," kata Torren dengan nada puas. "Cael mulai berubah... Dia jadi sedikit lebih.. ceria. Seperti kegelapan dalam dirinya perlahan memudar."
Daryn mengangguk, menatap Caelum yang tersenyum tipis kepada Aeris. "Benar. Melihat ini membuatku lega. Aku sempat khawatir dendam dan amarahnya akan menghancurkan dirinya sendiri. Kehadiran Aeris tampaknya memberikan pengaruh positif."
"Tidak," Torren menyela, dengan nada setengah bercanda. "Mungkin itu karena kata-kata bijakku tentang membuka bar setelah perang." Ia tersenyum bangga, namun nada suaranya berubah sendu. "Cael itu... sebenarnya menginginkan perdamaian."
Elira mendengus kecil, lipatan di dahinya menunjukkan rasa kesal yang lucu. "Jangan terlalu percaya diri, Torren. Cael mulai berubah sejak Aeris datang. Terlebih setelah kejadian di Peperangan Di Elaria. Dia bahkan lebih peduli dengan pendapat kita sekarang. Tapi, dia itu jadi terlalu overprotektif kepada murid kesayangannya ituu."
Nada sarkasme dalam suara Elira membuat Daryn terkekeh. "Lagipula, kau tahu dari mana Cael menginginkan perdamaian, Torren?"
Toren tersenyum misterius. "Saat kami berbincang di pinggir sungai beberapa waktu lalu—"
"Ehh?!" seru Elira dan Daryn serempak, mata mereka membulat. "Kapan? Kenapa kami tidak diajak?"
Torren tertawa keras, puas melihat reaksi mereka. Elira memalingkan wajah dengan ekspresi kesal bercampur cemburu, sementara Daryn hanya geleng-geleng kepala, tertawa kecil.
-
-
-
Pasar Grynnar pagi itu ramai dengan hiruk-pikuk pedagang dan pembeli. Wangi roti panggang dan rempah-rempah memenuhi udara, bercampur dengan suara tawar-menawar yang tiada henti. Caelum, Aeris, dan Elira berjalan di tengah keramaian, mencari kebutuhan logistik untuk pasukan pemberontak.
"Master, kita harus beli ini!" Aeris menunjuk tumpukan kain lembut di salah satu kios. "Bukankah ini cocok untuk bahan seragam baru kita?"
Caelum mendesah, meski ada senyum tipis di wajahnya. "Aeris, kita di sini untuk membeli makanan, bukan mencari bahan baju baru."
"Tapi, Master—" Aeris memajukan bibirnya dengan ekspresi memelas.
Elira menyela dengan nada menggoda. "Cael, kau harus belajar memanjakan muridmu sekali-sekali. Lagipula, dia kan anak kesayanganmu?"
Caelum melirik Elira dengan alis terangkat. "Kalau begitu, kau yang bayar. Aku yakin dompetmu cukup tebal untuk itu."
Elira tertawa kecil, meski ada semburat merah di pipinya. "Huh, kau memang tidak berubah, Cael. Selalu saja sarkastis."
Aeris terkikik, memegang lengan Caelum seperti anak kecil yang mengandalkan kakaknya. "Master, aku lapar. Ayo kita beli sesuatu dulu."
"Kau selalu lapar, Aeris," kata Caelum, namun ia menyerah dan memimpin mereka ke kios makanan. Elira hanya menggeleng, matanya melirik Aeris dengan sedikit cemburu, meski ia tetap tersenyum.
Pagi itu mereka bertiga bersenang-senang, seperti ingin melupakan keletihan dimasa peperangan ini, mencoba menikmati kehidupan.
-
-
-
Di ruang pertemuan kastil Grynnar, Azrin berdiri di depan beberapa pemimpin pemberontak, termasuk Caelum, Elira, dan Daryn. Wajahnya serius, namun ada senyuman tipis yang ia tunjukkan.
"Aku harus kembali ke Eldoria untuk sementara waktu," katanya. "Kita perlu memastikan kekuatan pemberontakan tetap solid di pusat."
Caelum mengangguk, meski matanya menunjukkan sedikit kebingungan. "Siapa yang akan menggantikanmu di sini?"
Azrin mengisyaratkan ke arah seorang wanita yang berdiri di sudut ruangan. Wanita itu berusia sekitar 30-an, dengan rambut hitam panjang yang diikat rapi. Wajahnya keras, namun memiliki aura tenang.
"Ini adalah Althea Marris," kata Azrin. "Dia akan menjadi wakilku untuk mengurus fort Grynnar."
Caelum terkejut. "Dia? Bukankah dia yang selalu berada di garis depan pertempuran?"
Azrin tersenyum. "Justru karena itu. Dia sudah terbukti mampu memimpin di medan perang. Aku percaya dia bisa mengurus Grynnar dengan baik. Dia punya pengalaman soal ini."
Althea melangkah maju, membungkuk sedikit. "Senang bekerja sama dengan Anda, Tuan Caelum."
Caelum hanya mengangguk, meski pikirannya masih bertanya-tanya mengapa bukan salah satu komandan pemberontak lainnya, seperti Geralt Vermund, yang terkenal dengan strategi bertahannya, atau wakil ketua pemberontak, Idris Solan, yang memiliki pengaruh besar di kalangan rakyat. Namun, ia memutuskan untuk menyimpan pikirannya sendiri.
-
-
-
Malam itu, ruang makan kastil Grynnar dipenuhi oleh suara tawa. Para anggota The Crimson Blades duduk mengelilingi meja besar, mengenang perjalanan mereka dari awal hingga kini.
"Masih ingat saat Raedan mencoba memanjat tebing tapi malah terjatuh?" kata Torren sambil tertawa terbahak-bahak.
"Aku tidak akan melupakan ekspresinya saat itu," tambah Daryn. "Seperti melihat hantu!"
Semua orang tertawa, termasuk Elira yang menepuk meja dengan keras.
Di sisi lain meja, Aeris terus mengganggu Caelum, menarik-narik lengan bajunya. "Master, kenapa kau tidak ikut tertawa? Aku ingin melihat ekspresi lucumu."
Caelum mendesah, tapi akhirnya menyerah. Ia menepuk kepala Aeris dengan lembut. "Sudah, diamlah. Kau ini seperti anak kecil."
Aeris tersenyum cerah, menutup matanya seperti menikmati perhatian itu. "Tapi aku suka kalau Master memperhatikan aku."
Elira yang melihat itu langsung ikut campur. "Hei, aku juga mau diperlakukan seperti itu!" katanya sambil mengguncang lengan Caelum.
"Sudah, kalian ini kenapa?" keluh Caelum, wajahnya merah karena malu. Ia melirik Daryn dan Torren, meminta pertolongan, namun mereka malah tertawa semakin keras.
Malam itu diwarnai oleh canda dan tawa, memberikan momen indah di tengah masa-masa perang. Untuk sesaat, mereka melupakan dunia yang keras di luar sana dan menikmati kebersamaan mereka.