Tenda utama pemberontakan dipenuhi ketegangan. Para pemimpin pemberontak dan anggota The Crimson Blades berkumpul di meja besar yang penuh peta, catatan, dan perhitungan strategis. Caelum duduk di ujung meja, memandang sekelilingnya, matanya tajam seperti elang, namun ada sesuatu yang buram di balik tatapannya.
"Kita sudah mendapatkan Fort Vallaris, dan sekarang benteng Grynnar ada di depan kita." Suara Azrin, pemimpin pemberontak, tegas namun penuh beban. "Ini adalah benteng yang memiliki titik strategis sangat penting. Jika kita menguasainya, kita dapat mengontrol setengah jalur supply Kekaisaran. Tetapi ada masalah besar. Kita kekurangan pasukan. Kita hanya memiliki 5.000 orang, dan banyak dari mereka adalah petani yang belum terlatih.
Fort Grynnar sangat penting, Jika diibaratkan Fort Vallaris adalah kunci, maka Fort Grynnar adalah pintunya, pintu yang membuka peluang kita untuk memenangkan peperangan ini."
Caelum menyandarkan dagunya pada tangan, mendengarkan, tetapi pikirannya jauh. Elira, yang duduk di sebelah Daryn, hanya menunduk. Dia merasa cemas, meskipun pertempuran besar telah berakhir, dia merasa ada sesuatu yang hilang dalam tim mereka.
"Kekaisaran sedang sibuk di berbagai tempat, tetapi kita masih sangat kekurangan pasukan, Caelum. Apa yang akan kita lakukan?" tanya Carl, dengan nada ragu. "Apakah kita terus melawan dengan jumlah kita yang kecil? Seperti yang dikatakan Azrin, jika fort Grynnar jatuh, jalur perdagangan dan suplai makanan mereka akan berkurang cukup drastis."
Caelum terdiam. Sesekali matanya melirik peta yang ada di meja, lalu kembali menatap ke arah mereka. Azrin menunggu jawaban, tetapi Caelum tidak terburu-buru memberi respons.
"Kita harus merekrut lebih banyak orang." jawab Caelum dengan suara tenang namun penuh keyakinan. "Kita akan merekrut siapa saja yang bersedia untuk berjuang bersama kita. Kita akan melatih mereka untuk menjadi pasukan yang lebih besar. Bahkan jika kita hanya memiliki 5.000 orang, kita bisa merekrut dua kali lipatnya, bahkan lebih."
Semua orang dalam ruangan bersemangat mendengar kata-kata Caelum. Torren dan Daryn saling berpandangan, kemudian Azrin mengangguk, menyetujui rencana tersebut.
"Aku setuju. Kita akan memperkuat pasukan kita, memperluas jaringan kita di daerah sekitar dan merekrut sebanyak mungkin orang yang kita bisa. Kita sudah kehilangan banyak orang, tapi jika kita ingin melanjutkan revolusi ini, kita harus melakukannya."
Caelum, yang mendengarkan, tersenyum kecil. Perekrutan ini adalah bagian dari permainan yang lebih besar—dia tahu ini adalah langkah penting untuk mengalahkan Kekaisaran, apapun harga yang harus dibayar.
"Elira, aku ingin kau bantu mengatur perekrutan ini. Torren, pastikan siapkan suplai untuk mereka aman dan telah disiapkan. Kita akan melakukan ini dengan cepat dan segera." Caelum memerintahkan dengan nada tegas. "Ini adalah kesempatan kita untuk memperbesar kekuatan kita dan mempersiapkan serangan besar selanjutnya."
Elira hanya mengangguk, wajahnya penuh kekhawatiran. Daryn dan Torren berunding sebentar, lalu mereka bergerak untuk melaksanakan perintah Caelum.
Caelum berdiri, lalu pergi menuju tenda pribadinya, meninggalkan suasana rapat yang penuh ketegangan. Langkahnya berat, dan di dalam dirinya, ada perasaan yang semakin mendalam—beban yang semakin besar.
---
Di dalam tenda pribadi Caelum, api kecil menyala di tungku api. Udara terasa dingin, tetapi lebih dingin lagi bagi Caelum yang duduk terdiam di pojok, menatap kosong ke arah api yang berkedip-kedip.
Caelum duduk terdiam, dikelilingi oleh keheningan yang menyelimutinya. Hanya suara desiran api yang terdengar, meskipun tak bisa mengusir rasa berat di dadanya.
Bayangan ibunya muncul dalam pikirannya, wajahnya yang lembut namun penuh kesedihan menatap Caelum dengan tatapan kosong. Dalam bayangan itu, Lorienne, ibunya yang telah mati di tangan Kekaisaran, hanya diam, berdiri tak bergerak.
Di sisi lain, Raedan, mentor sekaligus walinya yang telah membimbing Caelum selama ini, juga muncul. Raedan yang senantiasa berpesan untuk tidak biarkan dendam menguasai, untuk mencari sesuatu yang lebih besar dari balas dendam. Namun, Raedan juga hanya diam. Tak ada kata-kata, tak ada suara. Hanya tatapan mereka berdua, seolah menilai setiap keputusan yang telah Caelum buat.
Caelum menggenggam erat tangannya. Ia merasa seperti terperangkap dalam ruang hampa yang tak bisa ia jelaskan. Bayangan ibunya dan Raedan semakin mendekat, dan meskipun mereka tidak berbicara, perasaan bersalah yang membebani hatinya semakin berat.
"Aku tidak bersalah…" suara Caelum bergetar, ia berbicara pada bayangan itu, berbicara pada dirinya sendiri. "Aku hanya mencoba untuk melindungi Daryn, Elira, Torren, Carl, dan The Crimson Blades. Aku tidak bersalah... Aku tidak bersalah! Jangan menatapku seperti itu!"
Seiring dia berbicara, air matanya mulai mengalir, tetapi dia tak peduli. Caelum menundukkan wajahnya, berusaha meyakinkan dirinya sendiri. "Ibu, bukankah ibu terbunuh oleh mereka? Kenapa ibu hanya diam saja? Ibu, katakan sesuatu… Aku melakukan semua ini demi membalaskan dendammu, Bu… Aku tidak melakukan hal yang salah! Maafkan aku, Ibu. Maafkan aku…"
Namun, bayangan ibunya hanya diam, tak memberi respon. Bayangan Raedan juga tidak bergerak, hanya memperhatikan dengan tatapan penuh iba. Wajah Raedan mengandung rasa kasihan, namun ada kekosongan di mata Caelum yang tidak bisa dijelaskan. "Raedan… kenapa kau diam saja?" suara Caelum bergetar, mencoba mencari jawaban dari bayangan tersebut. Tapi tidak ada yang menjawab.
Saat itu, Elira yang mendengarkan dari luar tenda, tidak tahan lagi. Elira berlari menuju Caelum dan tanpa berpikir panjang memeluknya erat, menangis sejadi-jadinya. Air mata Elira jatuh deras di punggung Caelum. "Cael… aku minta maaf… aku tidak tahu bagaimana rasanya. Tapi kau tidak sendirian, Cael…"
Caelum terkejut, tetapi seiring pelukan itu, ada rasa kelegaan yang tidak bisa ia ungkapkan. Tangan Caelum menggenggam erat tubuh Elira, yang menangis di pelukannya. "Maafkan aku… aku tidak tahu kenapa…" suara Caelum serak, merasakan kebingungan dan kesedihan yang mendalam. Seperti ada sesuatu yang hilang darinya, namun tidak bisa dijelaskan dengan kata-kata.
Daryn dan Torren, yang mendengar suara tangisan Elira dan melihat adegan itu, mendekat dengan hati yang penuh kekhawatiran. Mereka berdiri di belakang Caelum dan Elira, menyaksikan dengan tatapan penuh rasa kasihan. Daryn berbisik, "Cael, kita semua ikut bersamamu. Tapi… taktik yang kau gunakan terlalu kejam. Kita harus mencari cara yang lebih baik."
Caelum tetap diam, tubuhnya membeku, namun ia merasa sedikit lebih ringan dengan keberadaan mereka di sampingnya. Torren, yang juga merasa kasihan namun tak bisa mengungkapkan itu, menepuk pundaknya. "Dendam tidak akan menyelesaikan segalanya, Cael. Tapi kami akan tetap mengikuti keputusanmu. Kami akan terus berjuang bersamamu. Namun, ingat, kita harus menjaga moral kita."
Caelum mengangguk pelan, meskipun dalam dirinya ada suara yang meragukan kata-kata mereka. Namun, dalam hatinya, ia tahu bahwa mereka hanya berusaha melindungi dia. "Bukannya tidak sopan ya, masuk tenda orang tanpa izin?" Caelum berkata pelan dengan nada datar, berusaha meredakan ketegangan yang ada.
Daryn dan Torren terkekeh pelan, meskipun suasana masih penuh ketegangan. "Hanya kali ini, Cael,tolong biarkan saja." Daryn mengusap wajahnya, mencoba meredakan suasana.
Elira tetap memeluk Caelum, tangisannya pelan. "Aku tidak ingin kehilanganmu, Cael… Aku tidak ingin kita semua menjadi monster."
Caelum terdiam, menyadari betapa dalam pengaruh tindakannya terhadap orang-orang di sekitarnya. "Aku tidak tahu harus bagaimana…" Caelum berbisik, hampir tidak terdengar. Daryn dan Torren saling berpandangan, merasa kasihan pada pemimpin mereka, yang sebenarnya masih dipenuhi keraguan, namun sudah terlalu jauh terjebak dalam jalan yang dipilihnya.
-
-
-
Tidak terasa perekrutan berjalan lebih cepat dari yang diperkirakan. Dalam waktu hanya beberapa hari, 2.000 orang bergabung dengan pemberontakan yang dipimpin Azrin. Mereka datang dari berbagai latar belakang, sebagian besar adalah orang-orang yang kehilangan keluarga mereka di tangan Kekaisaran. Pasukan pemberontak semakin kuat, namun Caelum tidak puas begitu saja. Dia ingin lebih, ingin mencari seseorang yang memiliki potensi lebih dari sekadar prajurit biasa.
Hari itu, Caelum berada di garis depan perekrutan, berkeliling menyeleksi setiap orang dengan cermat. Matanya tajam, mencari seseorang yang memiliki tekad yang sama sepertinya. Dan kemudian, di antara kerumunan, Caelum melihatnya—seorang gadis muda, dengan rambut silver panjang dan mata merah yang membara penuh amarah. Ekspresinya adalah gambaran dari kebencian yang mendalam, bagai menggambarkan kekejaman dunia yang telah merenggut semua yang dia miliki.
Caelum mendekat, dan mata gadis itu menatapnya dengan penuh tekad, namun ada sesuatu yang dia lihat di mata itu—sesuatu yang sangat familiar. Itu adalah kemarahan yang sama yang pernah dia rasakan saat dia kehilangan ibunya.
"Nama?" tanya Caelum dengan nada datar, meskipun dalam dirinya, ia merasa seperti melihat bayangan dirinya sendiri.
"Aeris." jawab gadis itu dengan suara dingin. "Aku ingin menjadi prajurit. Aku ingin membalas Kekaisaran yang telah membunuh keluargaku dengan tanganku sendiri!"
Caelum menatapnya, merasakan perasaan yang aneh. "Kau akan menjadi lebih dari itu, Aeris. Kau akan mencapai keinginanmu, bahkan lebih. Aku akan merekrutmu ke dalam The Crimson Blades. Aku menginginkan orang sepertimu."
Aeris hanya menatapnya sejenak, lalu akhirnya mengangguk. "Aku akan ikut. Aku akan menunjukkan pada mereka apa yang telah kurasakan!"
Caelum merasa sebuah perubahan, sebuah koneksi dengan gadis muda itu. Dia mengingat dirinya sendiri ketika pertama kali bergabung dengan Mercenary, penuh kebencian, penuh kemarahan, dengan tekad untuk membalas dendam Sepertinya, Aeris memiliki potensi yang sama. Dan dia tahu—Aeris adalah orang yang akan membantunya membawa pasukan pemberontak mencapai kemenangan.
Caelum merasakan koneksi itu, dan saat itu juga ia tahu bahwa Aeris akan menjadi bagian penting dalam pemberontakan ini. Dan dia merasa, mungkin inilah saatnya untuk memperbaiki semua kesalahan yang telah ia buat. Dia berjanji untuk melindungi gadis itu, seperti dirinya dulu yang dilindungi oleh Raedan.
---
Minggu berikutnya, pelatihan untuk rekrutan baru dimulai. Suasana di kamp pelatihan penuh dengan suara semangat dan teriakan pelatih yang memberi instruksi. Caelum memantau setiap latihan, memilih orang-orang yang memiliki kemampuan luar biasa, dan memberikan mereka pelatihan khusus.
Di sisi lain, Elira mulai merasa terisolasi, meskipun ada banyak orang di sekitar mereka. Meskipun ia tahu bahwa mereka sedang berjuang untuk tujuan yang lebih besar, hatinya dipenuhi keraguan.
Suatu sore, saat pelatihan sedang berlangsung, Caelum mendekati Elira yang sedang duduk di dekat api unggun. "Elira... kau tidak terlihat seperti biasanya. Apa yang mengganggumu?"
Elira menatapnya, air mata hampir mengalir di wajahnya. "Aku... aku takut, Cael. Aku takut kita akan kehilangan segalanya."
Caelum duduk di sampingnya, meletakkan tangan di pundaknya. "Aku akan menjaga kita semua, Elira. Tidak ada yang perlu kau khawatirkan."
Tapi Elira tahu—Caelum sudah terlalu jauh terjerumus dalam jalannya. Dan itu adalah jalan yang sangat gelap.
-
-
-
Kabar tentang pembantaian hutan Arovia dan tindakan kejam Caelum menyebar ke seluruh penjuru dunia. Di guild petualang yang terletak di kota Drakmora, suasana semakin memanas. Para petualang dari berbagai ras—manusia, elf, dwarf dan beastkin—berkumpul di aula guild. Mereka berbicara dengan keras, membahas berita terbaru tentang Caelum dan The Crimson Blades, serta harga tinggi yang dipasang untuk kepalanya.
Di antara kerumunan itu, seorang pria muda berdiri di pojok ruangan, menatap selebaran buronan yang menggambarkan wajah Caelum. Varek, seorang petualang muda yang tampaknya tidak banyak dikenal, mengernyitkan dahi saat melihat gambar itu. Dia tahu bahwa petualang dari seluruh dunia mulai mencari informasi tentang Caelum dan kelompok pemberontak yang dipimpinnya.
Di meja utama, seorang pria tinggi dengan rambut hitam panjang dan pakaian pelindung mewah berdiri sambil menunjukkan selebaran buronan tersebut kepada kelompok yang duduk di hadapannya. Gaius, pemimpin Guild of Shadows, sebuah kelompok petualang terkenal di Drakmora, sedang memimpin pertemuan tersebut. Pria itu dikenal sangat jenius dalam merencanakan pemburuan dan selalu berhasil menangkap target berharga. Kini, dengan harga kepala Caelum yang melonjak tinggi, para petualang di guild ini merasa ada kesempatan besar untuk meraup keuntungan.
"Kalian semua tahu apa yang harus dilakukan. Caelum adalah penjahat perang yang dibenci oleh Kekaisaran." Gaius berbicara dengan nada tajam, memandang semua orang di ruangan itu. "Dengan harga yang ditawarkan, siapa yang tidak ingin memburunya? Para pemberontak itu tidak hanya melawan Kekaisaran, mereka juga telah menjadi ancaman bagi banyak masyarakat. Jika kita bisa menangkap Caelum dan membawa kepalanya ke Kekaisaran, itu akan menjadi keuntungan besar."
Varek, yang sejak awal tidak terlalu yakin dengan keputusan Gaius, merasa ada yang tidak beres. Sebagai seorang petualang yang telah berkelana cukup lama, dia tahu bahwa tidak ada yang lebih berbahaya daripada memancing kemarahan seseorang seperti Caelum, yang dikenal karena kecerdikannya dalam pertempuran. Namun, rasa ingin tahu yang kuat membuatnya mendekati Gaius setelah pertemuan selesai.
"Gaius, apakah kau benar-benar yakin kau bisa menangkapnya?" tanya Varek dengan hati-hati, melangkah maju. "Dari apa yang kudengar, Caelum bukanlah orang yang mudah untuk ditangkap. Semua orang yang berusaha mengejarnya selalu berakhir dengan kegagalan."
Gaius menatapnya dengan senyuman sinis. "Kau benar, Varek. Caelum memang licik dan berbahaya. Tetapi aku sudah merencanakan ini dengan matang. Aku akan mengajakmu, jika kau benar-benar ingin terlibat dalam perburuan ini. Kita akan pergi ke wilayah Kekaisaran dan mulai memburunya. Aku sudah mendengar kabar bahwa pasukan Kekaisaran sendiri juga ingin menangkapnya, jadi kita harus cepat."
Varek mengangguk, meskipun dia merasa waspada terhadap apa yang akan mereka hadapi di depan. Namun, ada semangat petualang dalam dirinya yang tidak bisa dibendung. "Baiklah, aku akan ikut. Aku ingin melihat langsung bagaimana Caelum bertindak."
Gaius menepuk bahunya, senyum kecut muncul di wajahnya. "Kau tidak akan kecewa, Varek. Ini akan menjadi perburuan yang legendaris."
---
Sementara itu, di sisi pemberontakan, Caelum kembali berhadapan dengan kesibukan baru. Perekrutan telah selesai, dan 2.000 orang baru telah bergabung dengan pasukannya. Seiring meningkatnya jumlah pasukan, suasana di kamp pemberontak juga semakin tegang. Pelatihan intensif dilakukan setiap hari untuk mempersiapkan mereka menghadapi pertempuran besar yang akan datang.
Di tengah hiruk-pikuk itu, Caelum duduk di bawah pohon, beristirahat jauh dari keramaian, memikirkan kembali keputusan-keputusan yang telah ia buat. Tidak ada yang bisa menutupi rasa sesal dalam dirinya. Meskipun pasukan mereka semakin besar, dan strategi yang ia rancang semakin matang, ada sesuatu yang hilang dalam dirinya. Sesuatu yang tidak bisa dia temukan di medan perang.
Pada saat itu, Aeris, gadis muda yang baru saja bergabung dengan The Crimson Blades, mendekat dengan langkah ringan. Rambut silver panjangnya tergerai di belakang, mata merahnya penuh tekad dan memancarkan aura kemarahan yang sama dengan yang pernah Caelum rasakan. Namun ada sesuatu dalam tatapannya yang berbeda—sebuah perasaan bahwa Aeris itu berbeda, perasaan bahwa tatapan itu adalah amarah yang masih murni belum tercemar hal-hal lain seperti keserakahan yang normalnya dimiliki manusia.
"Aku... aku ingin belajar lebih banyak, Caelum," kata Aeris dengan suara tegas, namun ada kekhawatiran di matanya. "Aku ingin tahu bagaimana caranya melawan mereka. Kekaisaran telah merenggut seluruh keluargaku. Aku ingin membalasnya berkali-kali lipat dengan tanganku sendiri."
Caelum menatap Aeris dengan penuh perhatian. "Kau akan belajar lebih banyak di sini," jawabnya. "Kami akan berlatih setiap hari, dan aku akan mengajarimu bagaimana cara bertarung seperti The Crimson Blade, dan panggil aku Cael."
Aeris mengangguk, dan Caelum bisa merasakan tekadnya yang mendalam, dalam dirinya, Aeris adalah sosok yang sangat mirip dengannya di masa lalu. Seseorang yang dipenuhi dengan tekad untuk membalas dendam, tekas yang mendorong keinginan untuk menjadi lebih kuat apapun yang terjadi.
Caelum tahu bahwa jalan yang dia pilih kini sudah sangat berbeda dari dulu. Ini bukan lagi sekadar perang dan balas dendam; ini adalah ujian bagi dirinya sendiri, untuk menemukan siapa dia sebenarnya, dan apakah dendam yang membakar dirinya dapat memberinya tujuan hidup yang ia dambakan. Tapi bagi Aeris perjalanannya masih baru dimulai.
---
Setelah beberapa hari penuh pelatihan, dan dengan perekrutan baru yang semakin banyak, pemberontak mulai mempersiapkan serangan ke benteng Grynnar, yang dikenal sebagai benteng paling tangguh yang dimiliki Kekaisaran di dekat wilayah Eldoria. Benteng ini sangat strategis dan akan memberi mereka keuntungan besar jika bisa dikuasai. Namun, untuk itu, mereka membutuhkan pasukan yang lebih besar dan lebih terlatih.
Di tengah semua persiapan ini, berita mengenai tindakan Caelum yang membakar hutan Arovia semakin menyebar. Guild-guild petualang yang mengalihkan perhatiannya ke Caelum dan The Crimson Blades, menyebarkan selebaran buronan ke seluruh cabang, yang menawarkan hadiah tinggi untuk siapa saja yang bisa menangkapnya. Di Drakmora, kota para petualang, kisah Caelum yang membakar habis hutan itu menjadi topik utama pembicaraan.
Di tengah hiruk-pikuk itu, beberapa kelompok petualang mulai merencanakan perjalanan mereka ke Kekaisaran, berencana untuk mengejar Caelum demi imbalan yang besar. Namun, tak banyak yang tahu betapa besar bahaya yang sebenarnya tersembunyi di balik nama Caelum.