Fort Grynnar telah jatuh. Setelah pertempuran sengit yang mengorbankan banyak nyawa, pasukan pemberontak berhasil menaklukkan benteng yang dulunya menjadi simbol kekuatan Kekaisaran di wilayah ini. Namun, di tengah sorak kemenangan, satu sosok tampak terpisah dari keramaian: Caelum.
Di medan perang yang penuh mayat dan bau besi darah, Caelum melangkah perlahan. Tombaknya—sebuah senjata yang kini dihiasi empat tengkorak—tergenggam erat di tangannya. Tengkorak Zerek, Krenor, Marcus, dan kini Lord Darius tersusun rapi di ujung tombak itu. Baginya, itu bukan hanya simbol kemenangan, tetapi juga pengingat dari perjalanan berdarah yang telah ia tempuh.
Di antara tubuh-tubuh yang tergeletak, Caelum menemukan jasad Lord Darius. Meski tubuhnya yang besar dan gagah kini tak bernyawa, sisa keangkuhan sang pemimpin terlihat dari cincin emas berukir lambang Kekaisaran yang masih melingkar di jarinya. "Ini milikmu, Darius," bisiknya dengan nada datar. Ia menarik cincin itu perlahan, menatapnya sejenak sebelum menyimpannya.
Ia melanjutkan langkahnya, menyisir medan perang sambil mengumpulkan "souvenir." Kalung emas, aksesori pasukan Kekaisaran, hingga peralatan perang yang berharga ia kumpulkan dengan hati-hati. Saat senja mulai menyelimuti benteng, ia berjalan menuju kastil utama, tempat para pemimpin pemberontak tengah berkumpul.
---
Di ruang rapat kastil, suasana hangat dengan tawa kecil mengisi udara. Azrin memimpin diskusi dengan senyumnya yang biasa, mencoba mencairkan ketegangan di antara mereka. "Jadi, dengan jatuhnya Fort Grynnar, jalur perdagangan Kekaisaran kini berada dalam kendali kita. Ada ide bagaimana memanfaatkannya?" tanyanya sambil melirik anggota yang hadir.
Elira, yang biasanya jarang bicara dalam rapat besar, mengangkat tangannya ragu. Sebelum sempat bicara, Azrin menyela dengan nada bercanda, "Gadis pemanah cantik yang sering menangis punya ide rupanya."
Wajah Elira memerah. "Apa maksudmu sering menangis?! Aku jadi malas bicara!" ujarnya kesal, tetapi raut wajahnya tetap malu-malu.
Tawa kecil meledak di sekitar meja, mencairkan suasana yang tadinya serius. Setelah beberapa detik, Azrin mengangkat tangannya, meminta maaf sambil tersenyum. "Baiklah, aku serius sekarang. Apa idemu, Elira?"
Elira berdiri dengan canggung. "Daripada menghentikan operasional jalur perdagangan ini, bagaimana kalau kita saja yang mengambil alih? Kita bisa menjual atau membeli barang seperti biasa, tetapi untuk keuntungan kita."
Sebelum ada yang menjawab, suara langkah berat terdengar. Pintu besar ruangan terbuka, memperlihatkan Caelum yang baru saja masuk. Armor besinya memantulkan cahaya lilin di ruangan itu, dan di tangannya terlihat cincin milik Lord Darius yang sedang ia bersihkan dengan teliti.
"Jangan hentikan operasionalnya," ujar Caelum datar, langsung duduk di kursi kosong di meja itu. Keheningan sejenak melanda ruangan. Semua yang hadir merasakan atmosfer berubah menjadi lebih tegang dengan kehadirannya.
"Kenapa? Apa aku terlihat seperti setan?" tanyanya sinis, menyadari perubahan suasana.
"Tidak, hanya saja... armor dan langkahmu cukup mengagetkan," Elira mencoba mencairkan suasana dengan senyum kecil.
Caelum mendengus, lalu tersenyum tipis. "Dasar cengeng, Elira. Tepat seperti kata Azrin tadi."
"Apa?! Kau juga?!" Elira berteriak kesal, membuat orang-orang di ruangan itu tertawa kecil lagi.
"Baiklah," Azrin meluruskan posturnya, mencoba kembali fokus. "Caelum, bagaimana pendapatmu tentang rencana Elira?"
Caelum menghela napas. "Ide yang bagus. Ambil alih jalur ini. Gunakan untuk kebutuhan kita, lalu jual sisanya... ke Kekaisaran."
Ruang rapat seketika hening. Semua orang menatap Caelum, bingung dan kaget dengan sarannya.
"Ke Kekaisaran?!" seru Torren tak percaya.
"Ya. Jual dengan harga tinggi. Biarkan mereka membeli barang-barang mereka sendiri sambil kita menekan ekonomi mereka perlahan," jelas Caelum santai.
Vera tersenyum licik. "Kau benar-benar licik, Cael. Tapi siapa yang akan menjadi perantara kita?"
"Itu tugas kalian untuk memikirkan," jawab Caelum singkat sambil berdiri dari kursinya. "Aku sudah cukup bicara. Lanjutkan diskusi ini tanpaku."
Ia meninggalkan ruangan, berjalan menuju halaman luar kastil, meninggalkan para pemimpin pemberontak dengan pikiran yang campur aduk antara takjub dan bingung.
---
Di bawah pohon besar di halaman benteng, Aeris sedang berlatih. Peluh membasahi tubuhnya, tetapi ia terus mengayunkan pedangnya dengan penuh semangat. "1.998... 1.999... 2.000..." hitungannya terdengar jelas di udara.
Caelum mendekatinya dari belakang, membawa sebuah kotak kecil. Ia berhenti beberapa langkah darinya, mengamati Aeris dengan senyum lembut. "Seperti inikah rasanya menjadi Raedan dulu?" gumamnya pelan.
Aeris menghentikan latihannya, menyadari kehadiran seseorang. Ia menoleh dan langsung berseru, "Master Cael!"
"Berapa kali harus kukatakan, jangan panggil aku master," jawab Caelum dengan nada lelah sambil menyerahkan kotak yang ia bawa.
"Apa ini?" tanya Aeris, matanya berbinar-binar seperti anak kecil.
"Makan siang. Pelayan bilang kau belum makan."
Aeris tersenyum lebar. "Terima kasih, Master Cael!"
"Berhenti memanggilku begitu."
"Tidak bisa! Master Cael adalah idolaku!" ujar Aeris dengan nada manja.
Caelum menghela napas panjang. "Terserah."
---
Di bawah pohon besar, Caelum duduk dengan santai, matanya terpejam, menikmati ketenangan setelah perang yang berat. Sementara itu, Aeris sudah mulai menikmati makan siangnya dari kotak yang telah Caelum berikan sebelumnya.
"Master~," panggil Aeris, suaranya penuh keinginan untuk menggoda.
"Hmm?" Caelum membuka matanya sebentar, suaranya datar. "Jangan panggil aku master."
"Hehe," Aeris tersenyum nakal. "Tapi Master Cael adalah Masterku," katanya dengan sedikit berlebihan, seolah ingin membuat Caelum terganggu.
Caelum menghela napas berat, matanya kembali terpejam. "Haaah, terserah saja," jawabnya, nada suaranya menunjukkan keputusasaan.
"Hehehe, Master~ terima kasih selalu membawakanku makan siang," ucap Aeris dengan senyum puas, menyuap makanan dari kotak yang telah Caelum berikan.
Caelum membuka matanya, melirik sekilas ke arah Aeris yang tampak begitu menikmati hidangannya. "Mulai besok, ambil sendiri," katanya, suaranya datar tanpa emosi.
"Eehh—tapi..." Aeris berhenti sejenak, matanya memohon.
"Aku lelah," jawab Caelum, suaranya tidak mengandung rasa bersalah sedikit pun. Ia mengubah posisinya untuk lebih nyaman. "Aku akan tidur."
Aeris mendesah, terlihat sedikit kecewa, namun kemudian kembali melanjutkan makan dengan gembira, seolah tak terganggu oleh sikap Caelum yang selalu sama.
---
Di dalam kastil, rencana besar mulai disusun. Di luar, senja yang merah menyala menjadi saksi atas sebuah kemenangan dan strategi baru. Namun, jauh di balik semuanya, benih konflik dan ketegangan perlahan tumbuh, menyelimuti langkah-langkah pemberontak berikutnya.