Chereads / Petualangan dan Cinta Bersama Abdi Negara / Chapter 18 - Pulang Ke Jawa

Chapter 18 - Pulang Ke Jawa

 Ketika hari perpisahan tiba, aku merasakan sesuatu yang tak bisa diungkapkan dengan kata-kata. Redo memelukku erat di bandara, dan di saat itu juga, aku merasa seolah-olah dunia berhenti sejenak. Matanya menatapku dengan penuh harapan, seolah ingin memastikan aku tahu bahwa meskipun kami terpisah oleh jarak, cinta kami akan tetap tumbuh.

"Jarak ini hanya sementara. Kita akan segera bersama lagi, lebih lama, dan lebih kuat," kata Redo dengan suara yang penuh keyakinan, tetapi aku bisa merasakan ketulusan dan haru dalam setiap kata-katanya.

Air mataku mengalir, tak bisa kuhentikan meskipun aku mencoba tersenyum. Aku tahu, ini adalah perpisahan sementara, dan meskipun rasanya sangat sulit, aku yakin bahwa cinta kami akan tetap bertahan meskipun kami berjauhan. Kami berdua tahu bahwa ini bukan akhir, melainkan awal dari perjalanan panjang yang akan kami jalani bersama.

 Sebelum aku benar-benar harus perjalanan pulang, kami masih memiliki sedikit waktu untuk menikmati kebersamaan kami. Di ruang tunggu yang cukup sepi, aku dan Redo duduk berdampingan. Tak banyak yang kami bicarakan, karena terkadang, keheningan justru mengungkapkan lebih banyak daripada kata-kata. Redo terus memelukku, tidak ingin melepaskanku. Aku bisa merasakan kehangatan tubuhnya yang menyelimuti diriku, memberi rasa aman yang sulit dijelaskan. Tak ada kata yang bisa menggambarkan perasaan itu, tetapi ada kenyamanan dalam kebersamaan yang begitu sederhana.

 Akhirnya, Redo mengeluarkan ponselnya dan mengusulkan untuk berfoto bersama, sebelum balik ke jawa. Redo mengangguk setuju, dan kami duduk berdampingan, saling tersenyum lebar sebelum aku menekan tombol kamera. Dalam foto itu, meski ada kesedihan di mata kami, senyum kami tetap tulus, seolah ingin menunjukkan bahwa meskipun jarak memisahkan, kami tetap bersama selalu dekat di hati.

 Namun, saat kami sedang menikmati kebersamaan itu, tiba-tiba Redo menyadari bahwa rokoknya tertinggal di meja dekat kafe yang terletak di ruang kaca bandara. Tanpa berpikir panjang, ia langsung bangkit dan bergegas menuju meja tersebut untuk mengambil rokoknya namun aku berinisiatif aku saja yang ambilkan rokoknya. Tiba-tiba sebuah kejadian kecil terjadi yang mengusik ketenanganku.

 Seorang pria yang duduk di meja dekat kafe menatapku dengan cara yang cukup mengganggu. Ia tersenyum dengan nada bercanda, seolah mencoba menggoda aku. "Hei, ada yang ketinggalan?" pria itu berkata dengan nada yang lebih menggoda, meski aku tahu ia hanya bercanda. Namun, ada sesuatu dalam cara dia tersenyum yang membuatku merasa tidak nyaman.

Aku mencoba mengabaikannya, berusaha tetap tenang meskipun hati kecilku sedikit terkejut dengan sikap pria itu. Tapi sebelum aku sempat merasa cemas lebih jauh, aku melihat Redo sudah kembali. Wajahnya langsung menunjukkan ketegasan, dan aku bisa melihat kilatan perlindungan di matanya.

"Hey, ada apa?" tanya Redo dengan suara yang penuh ketegasan, langsung menghampiri kami.

Pria itu dengan cepat merendahkan suaranya, tampak canggung karena merasa telah melakukan sesuatu yang tidak tepat. "Ah, tidak apa-apa, hanya bercanda kok," katanya, mencoba meredakan ketegangan.

Namun, aku bisa melihat betapa Redo sangat ingin melindungiku, bahkan dalam situasi sekecil ini. Dia tidak suka ada yang menggangguku, bahkan dengan candaan yang tidak tepat. Aku, yang bisa melihat kecemasan di matanya, langsung menahannya dengan lembut. "Biarkan saja, Redo. Mereka hanya bercanda," kataku, berusaha menenangkan suasana yang mulai tegang.

Redo menatapku sejenak, masih terlihat tidak senang dengan sikap pria itu, tetapi akhirnya dia mengangguk pelan, melepaskan ketegangan yang ada. "Baiklah," jawabnya, meskipun matanya tetap memancarkan perlindungan. Aku tahu, baginya, aku adalah hal yang sangat berharga, dan dia tak ingin ada yang menyakitiku, bahkan sekecil apapun.

 Setelah pria itu pergi, Redo kembali duduk di sampingku. Meski suasana sedikit mereda, aku bisa merasakan bahwa di dalam dirinya masih ada kekhawatiran yang terpendam. "Aku tidak suka ada yang menggodamu seperti itu," katanya, suaranya lembut namun penuh ketegasan. "Aku ingin selalu ada untuk melindungimu."

Aku tersenyum dan menggenggam tangannya erat. "Aku tahu, Redo. Tapi tidak perlu khawatir. Aku baik-baik saja. Aku percaya pada kita," kataku dengan lembut, berusaha menenangkan hatinya yang penuh dengan kecemasan.

 

 Keprihatinan dan perhatian Redo kepadaku sangat terasa. Dia memang selalu ada untukku, menjaga dan melindungiku dalam setiap kesempatan. Bahkan luka kecil pun tak boleh menyentuhku, dan aku tahu bahwa dia akan selalu berusaha untuk memastikan aku merasa aman dan dicintai, di mana pun kami berada.

 Kami melanjutkan duduk bersama, menikmati waktu sebelum aku balik ke jawa. Tak banyak kata yang keluar dari mulut kami, hanya senyum dan tatapan penuh makna yang saling bertukar. Dalam diam, kami berdua tahu bahwa meskipun jarak akan memisahkan kami, cinta kami akan terus bertumbuh. Redo menyandarkan kepalanya di bahuku, dan aku bisa merasakan detak jantungnya yang tenang, seolah meyakinkanku bahwa apapun yang terjadi, kami akan selalu bersama dalam hati.

"Jangan lupa, kita sudah berjanji untuk saling menunggu," kata Redo dengan penuh keyakinan, mengingatkan janji yang telah kami buat sebelumnya.

Aku mengangguk, merasakan setiap kata yang keluar dari mulutnya. "Aku tidak akan lupa. Aku akan menunggumu, Redo. Setiap langkah yang aku ambil, aku akan membawa cinta kita bersamaku."

 Saat pengumuman untuk naik pesawat terdengar, kami saling berpandang dengan penuh harapan. Ini adalah perpisahan, namun juga sebuah awal. Sebuah awal dari perjalanan panjang yang akan kami jalani bersama. Redo memberikan pelukan yang begitu hangat, dan meskipun perpisahan ini terasa begitu berat, aku tahu bahwa cinta kami akan tetap ada, bahkan ketika jarak memisahkan kami. Akupun pamit dan mencium tangan Redo.

...

Meluapkan Rindu Bersama Ibu

 Tiga minggu berlalu begitu cepat, dan akhirnya, hari yang kutunggu-tunggu tiba juga. Penerbangan dari Sorong menuju Bandara Juanda Surabaya terasa jauh lebih lama dari biasanya. Rindu yang menggebu-gebu kepada Ibu membuat setiap detik di dalam pesawat terasa begitu lama. Aku sudah tidak sabar untuk meluapkan kerinduan yang membara. Dengan mata yang sedikit sayu, pikiranku melayang jauh, membayangkan pelukan hangat yang akan kuterima begitu menginjakkan kaki di rumah. Aku membayangkan Ibu yang pasti sudah menungguku, dengan senyum lebar dan tangan yang siap menyambutku. Tentu saja, rindu itu semakin terasa saat pesawat akhirnya mendarat dengan lembut di landasan pacu, membawa aku lebih dekat ke rumah, ke Ibu.

 Begitu melangkah keluar dari pesawat, hawa hangat Surabaya menyambutku, dan tanpa ragu, langkahku semakin cepat. Aku langsung menuju tempat pengambilan bagasi, dengan satu tujuan: bertemu Ibu. Di antara kerumunan orang yang menunggu, mataku langsung menangkap sosok familiar yang membuat jantungku berdebar. Ibu! Senyumnya yang lebar dan tangan yang terangkat tinggi menyambutku dengan penuh antusias. Ia melambaikan tangannya seolah mengajakku berlari ke pelukannya.

 Saat aku mulai berlari menuju Ibu, semua beban yang selama ini menumpuk di pundakku terasa menghilang. Rindu yang begitu dalam terasa seolah terangkat seiring dengan langkahku yang semakin mendekat. Ketika akhirnya aku berada dalam pelukannya, "Akhirnya, kamu pulang!" Ibu berkata dengan suara penuh haru. Aku hanya bisa mengangguk sambil merasakan air mata menetes tanpa bisa kuhentikan. Semua kerinduan yang terpendam selama tiga minggu ini tumpah begitu saja dalam pelukan itu.

 Setelah kami melepaskan pelukan, perjalanan menuju rumah terasa lebih indah dari sebelumnya. Ibu mengemudi dengan penuh ceria, sesekali menatapku dengan senyum hangat yang tak pernah lepas. Setelah melepas rindu di rumah, kami menuju tempat makan favoritku. Aroma khas masakan Jawa langsung menyambutku begitu kami melangkah masuk ke dalam warung makan kecil itu. Sebuah tempat yang selalu berhasil membuatku merasa pulang. Begitu duduk, Ibu langsung memesan hidangan kesukaanku: nasi goreng jawa yang harum, dengan ayam goreng renyah di sampingnya, dan sambal terasi yang pedasnya pas. Setiap suapan adalah pelukan rasa yang menghangatkan jiwa. Tak perlu banyak kata, aku menikmati makanan itu seperti aku sedang menyantap kebahagiaan.

 Kami bercerita sambil tertawa, mengobrol tentang hal-hal kecil yang sudah lama tidak kami bicarakan. Ibu bercerita tentang segala kegiatan yang terjadi di rumah, tentang tetangga, tentang kabar teman-temannya, dan tentu saja, tentang kehidupan sehari-hari yang terasa sepi tanpa kehadiranku. Semua rindu yang terpendam selama aku berada jauh darinya terasa terobati dengan setiap kata yang kami tukar. Tidak ada yang lebih menyenangkan daripada mendengar suara Ibu tertawa lagi.

 Setelah makan, kami melanjutkan perjalanan menuju rumah. Di dalam mobil, aku duduk dekat jendela, menikmati pemandangan malam yang mulai gelap, namun tetap mempesona. Lampu-lampu kota yang berkelap-kelip di kejauhan seperti memberi semangat baru dalam diriku. Pulau Jawa, dengan segala pesonanya, selalu berhasil menyentuh hatiku. Aku merindukan tanah ini, keramaian kotanya, dan yang paling penting, kehangatan keluarga yang kutemui di sini.

 Saat kami sampai di rumah sekitar pukul 00.00, hati ini terasa lega. Begitu melangkah masuk, aroma rumah yang familiar langsung menyambutku. Rasanya seperti tidak ada yang berubah. Ibu menyalakan lampu, dan suasana hangat langsung terasa, seperti dulu. Rumah sederhana ini, tempat di mana aku dibesarkan, tempat di mana aku belajar banyak hal tentang hidup, tentang cinta, dan tentang keluarga, terasa begitu istimewa. Di sinilah aku dibentuk menjadi diriku sekarang, dan di sini pula aku merasakan kebahagiaan sejati.

 Ibu mengajakku duduk di ruang tamu, tempat kami sering menghabiskan waktu bersama. Saat kami duduk bersama, Ibu mulai bercerita tentang segala hal yang terjadi selama aku tidak ada di rumah. Ia berbicara tentang pekerjaan sehari-hari, tentang perubahan kecil yang terjadi di sekitar rumah, dan tentang kabar teman-temannya yang selalu menanyakan tentang aku. Satu per satu cerita mengalir begitu alami, dan aku mendengarkan dengan penuh perhatian. Tidak ada yang lebih menyenangkan selain mendengar cerita-cerita Ibu. Suaranya yang penuh kasih membuat aku merasa seperti kembali menjadi anak kecil yang selalu merasa aman di pelukannya.

 Menjelang tengah malam, rasa lelah mulai terasa, tetapi kebahagiaan yang mengalir di hatiku membuatku enggan untuk tidur. Waktu seakan melambat saat aku duduk bersama Ibu. Akhirnya, kami berpelukan lagi sebelum tidur.